Zamal Nasution: Merevolusi Program Revolusi Mental

Zamal Nasution: Merevolusi Program Revolusi Mental
Zamal Nasution, PhD.

Oleh: Zamal Nasution, PhD.
Presiden Alumni Mahidol University di Indonesia

Darurat Revolusi Mental

Korupsi berjamaah pembangunan menara stasiun pemancar/BTS oleh kaum terdidik dan figur publik merupakan pertanda kerusakan mental di level darurat sehingga mendesak direvolusi.

Revolusi mental, seperti yang disampaikan Bung Karno sebagai “gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala”.

Hati yang putih bermakna integritas dan hati yang bersih dari tipu muslihat korupsi yang mendorong gerakan kudeta ekonomi. Negara yang diusahakan bersama supaya tetap utuh menjadi negara kesatuan, nyatanya dilemahkan oleh kelompok berkuasa.

Mereka, yang negara sudah berikan insentif sangat layak dan sejahtera, lebih tinggi dari rata-rata pendapatan mayoritas penduduk; celakanya masih juga merampok hak-hak rakyat.

Perintah moral untuk jangan korupsi, direspon seperti slogan jangan membuang sampah ke selokan. Mental rakus para perampok itu berelasi dengan kekuasaan. Mental yang terbentuk perlahan, mengikuti usia, pergaulan, dan kesempatan.

Karena mereka berasal dari berbagai lapisan strata sosial dan ekonomi bahkan aktif di organisasi resmi, dapat dikatakan bahwa mentalnya terbentuk secara bertahap dalam lingkungan yang rusak.

Dulu, Bung Karno merasa perlu menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru. Beliau sadar bahwa karena kerusakan mental sudah telanjur mewabah dan menular sehingga pembaruan harus diproses cepat.

Mereka yang kontra-revolusi segera keluar barisan karena lebih penting menyelamatkan generasi potensial.

Kegagalan Terstruktur

Presiden Jokowi menghidupkan lagi istilah revolusi mental sejak 2014, dengan tujuan untuk lebih memperkokoh kedaulatan, meningkatkan daya saing dan mempererat persatuan bangsa. Revolusi mental tersebut fokus pada aspek integritas, etos kerja, dan gotong royong.

Meskipun umumnya mengukur tingkat kesejahteraan menggunakan Social Progress Index (SPI) yang telah mendunia, namun tetap dimungkinkan ilmuwan memformulasi indikator spesifik tiap negara.

Maka, Indonesia menyusun formulasi yang dinamakan Indeks Revolusi Mental (IRM). Sisi yang aneh dari IRM adalah: metode pengukurannya. Menurut kamus, integritas bermakna konsistensi dan kejujuran antara perilaku dengan nilai moral.

Kemenko PMK mengukur integritas lewat persentase kepemilikan Kartu Indonesia Pintar dan rata-rata lamanya waktu belajar setiap hari. Kepemilikan KIP merupakan instrumen mengukur kewajiban pemerintah meningkatkan akses dan kesempatan belajar bagi masyarakat, bukan mengukur integritas. Ini perbedaan mendasar dengan SPI yang menggunakan Indeks Persepsi Korupsi dari Transparency International sebagai indikator integritas.

Dengan alasan di atas, IRM tergolong produk akademik yang cacat epistimologis karena dasar teorinya lemah. Ia juga abai realitas karena seharusnya setiap instrumen pengukuran baru bersifat reliabel dan bisa direplikasi.

Terbukti bahwa IRM yang dipublikasi pada Desember 2017 belum pernah diseminarkan maupun disitasi di dokumen akademik lain. Lumrahnya, para dosen penemu akan berusaha mempublikasikan bidang kajiannya sehingga dapat mendukungnya meraih gelar guru besar.

Para perumus IRM bahkan tidak tertarik menulisnya untuk buku ajar revolusi mental dan mempromosikan ke para mahasiswa. Anehnya, masyarakat akademik seakan enggan mengungkapnya, selain mengulang-ulang narasi perlunya program revolusi mental.

Namun, Kemenko PMK justru mengglorifikasi IRM dalam bentuk Anugerah Revolusi Mental (ARM). ARM 2022 dibagikan ke pemerintah propinsi, kabupaten/kota, mitra lembaga, dan tokoh masyarakat.
Aktifnya pemerintah melalui proyek Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) versus minimnya gairah insan akademik terhadap persoalan cacatnya IRM menunjukkan kontradiksi keseriusan merevolusi mental.

Kegiatan GNRM oleh kantor pemerintah pusat dan daerah menunjukkan proyek berjalan dari atas ke bawah, dari yang paling berkepentingan yakni pemerintah ke masyarakat. Masyarakat menjadi obyek proyek supaya laporan penggunaan anggaran lolos pemeriksaan (output).

Sisi kemanfaatannya (outcome) kemudian dinilai dengan Indeks Revolusi Mental dan selebrasi Anugerah Revolusi Mental. Korupsi menara BTS adalah bukti gagasan besar revolusi mental tidak berkorelasi dengan kegiatan dan hasilnya.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K