Oleh: Madi Saputra
(Ketua Persada DIY, KorWil MPUII, KorWil ASKIN)
Mengurai Polemik Pilkada: Demokrasi atau Efisiensi?
Wacana yang dilontarkan Presiden Prabowo Subianto mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui musyawarah di DPRD telah memantik perdebatan hangat di tengah masyarakat. Pro dan kontra mengemuka, dengan masing-masing pihak membawa argumen kuat untuk mendukung atau menolak gagasan tersebut.
Di satu sisi, pemilihan langsung sering dianggap sebagai simbol demokrasi modern. Rakyat secara langsung memiliki hak untuk menentukan pemimpin mereka. Namun, sisi gelapnya adalah biaya politik yang sangat tinggi, maraknya politik uang, dan lemahnya partisipasi rasional masyarakat. Sebuah pemilihan yang diharapkan murni mencerminkan suara rakyat, justru sering kali terdistorsi oleh berbagai manipulasi, mulai dari serangan fajar hingga kampanye politik berbasis bansos yang penuh kepentingan.
Sebaliknya, sistem musyawarah melalui DPRD menawarkan efisiensi biaya dan waktu. Namun, pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa sistem ini juga tidak kebal terhadap praktik suap-menyuap. Bagaimana mungkin aspirasi rakyat bisa terwakili jika anggota DPRD lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kepentingan masyarakat luas?
Merenungkan Kembali Esensi Demokrasi Pancasila
Dalam kerangka diskusi ini, penting untuk mengingat bahwa demokrasi yang kita jalankan sejatinya bukanlah demokrasi liberal ala Barat, melainkan demokrasi Pancasila. Prinsip ini tercermin dalam sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Berbeda dengan demokrasi liberal yang berbasis pada one man, one vote, demokrasi Pancasila menekankan musyawarah sebagai mekanisme pengambilan keputusan. Para pendiri bangsa merancang sistem yang berakar pada kearifan lokal masyarakat Indonesia, di mana keputusan diambil secara kolektif melalui kebijaksanaan, bukan sekadar berdasarkan suara terbanyak.
Namun, perjalanan bangsa menunjukkan bahwa semangat musyawarah ini belum sepenuhnya terwujud dalam praktik. Sistem pemilu yang kita terapkan saat ini lebih menyerupai demokrasi liberal, dengan fokus pada perebutan suara rakyat melalui kampanye besar-besaran yang sering kali mengorbankan substansi dan moralitas.
Menimbang Pilkada melalui Musyawarah:
Gagasan Pilkada melalui musyawarah di DPRD sebenarnya dapat menjadi refleksi untuk kembali kepada esensi demokrasi Pancasila. Dalam musyawarah, keputusan diambil melalui dialog dan pertimbangan kolektif, bukan sekadar akumulasi suara. Namun, agar mekanisme ini berjalan sesuai dengan semangat aslinya, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi:
1. Peningkatan Integritas Anggota DPRD:
Anggota DPRD harus benar-benar menjadi representasi rakyat yang memiliki integritas tinggi, bukan sekadar perpanjangan tangan elite partai. Proses seleksi caleg perlu diperketat untuk memastikan hanya individu-individu berkompeten yang lolos.
2. Pengawasan Ketat terhadap Proses Musyawarah:
Transparansi dalam proses musyawarah sangat penting untuk mencegah praktik suap atau pengambilan keputusan yang tidak demokratis. Peran lembaga pengawas, masyarakat sipil, dan media harus diperkuat untuk mengawal proses ini.
3. Kembali ke Nilai-Nilai Pancasila:
Musyawarah dalam demokrasi Pancasila tidak boleh dimaknai secara sempit sebagai keputusan sepihak oleh elite. Sebaliknya, musyawarah harus menjadi ruang dialog yang melibatkan aspirasi masyarakat melalui wakil-wakil mereka di DPRD.
Belajar dari Pengalaman Bangsa
Sejarah menunjukkan bahwa berbagai sistem pemilu pernah kita jalankan, mulai dari pemilihan oleh DPRD hingga pemilu langsung. Masing-masing memiliki kelemahan yang perlu diatasi. Namun, akar permasalahan sebenarnya terletak pada implementasi yang tidak konsisten dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 asli.
Sistem pemilu langsung, meskipun memberikan ruang partisipasi luas, telah menciptakan budaya politik transaksional yang jauh dari semangat gotong-royong. Di sisi lain, pemilihan melalui DPRD pada masa lalu gagal karena praktik korupsi yang merajalela. Oleh karena itu, tantangan utama kita adalah menciptakan sistem yang berakar pada nilai-nilai bangsa, sekaligus mampu mengatasi kelemahan dari pengalaman masa lalu.
Mengembalikan Kejayaan Sistem Musyawarah
Dalam pandangan saya, wacana Pilkada melalui musyawarah di DPRD dapat menjadi momentum untuk mengembalikan sistem tata kelola negara kepada rel yang benar. Namun, keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada sejauh mana kita dapat mewujudkan beberapa hal berikut:
1. Pendidikan Politik bagi Rakyat dan Wakil Rakyat:
Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami pentingnya keterwakilan yang sejati. Sementara itu, wakil rakyat harus dididik untuk menjadi pemimpin yang bertanggung jawab dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.
2. Reformasi Partai Politik:
Partai politik sebagai institusi yang mengusung calon kepala daerah dan anggota DPRD harus melakukan reformasi besar-besaran untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.
3. Sinergi dengan Nilai-Nilai Keagamaan:
Musyawarah yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan juga mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti syura (musyawarah) dan amanah (kepercayaan). Dengan memadukan nilai-nilai agama dan Pancasila, sistem ini dapat menjadi solusi atas berbagai permasalahan bangsa.
Langkah Strategis Menuju Implementasi Musyawarah
Untuk memastikan wacana musyawarah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) dapat diterapkan dengan baik, perlu dilakukan langkah-langkah strategis yang komprehensif. Musyawarah bukan hanya sekadar mekanisme teknis, tetapi juga merupakan manifestasi dari semangat kebangsaan dan kearifan lokal yang harus dikelola dengan prinsip kebijaksanaan dan akuntabilitas. Berikut adalah beberapa langkah yang perlu dilakukan:
1. Meningkatkan Kualitas Representasi di DPRD
Kualitas musyawarah sangat ditentukan oleh kualitas para wakil rakyat di DPRD. Oleh karena itu, diperlukan sistem seleksi dan pengkaderan yang memastikan anggota DPRD memiliki integritas, kompetensi, dan komitmen tinggi terhadap kepentingan rakyat. Reformasi dalam proses rekrutmen partai politik menjadi hal mendesak. Partai harus memastikan bahwa calon yang diusung benar-benar memahami prinsip kerakyatan, bukan sekadar memiliki kekuatan modal atau kedekatan dengan elite politik.
Selain itu, pelatihan khusus bagi anggota DPRD perlu dilakukan secara berkala untuk memperkuat kapasitas mereka dalam menjalankan tugas legislasi, pengawasan, dan musyawarah yang berkualitas.
2. Reformasi Pengawasan dan Penegakan Hukum
Untuk mengatasi potensi penyimpangan seperti suap atau praktik politik transaksional, diperlukan pengawasan ketat oleh lembaga independen. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lembaga masyarakat sipil harus diperkuat perannya untuk memastikan proses musyawarah berjalan transparan dan bebas korupsi.
Selain itu, perlu ada penegakan hukum yang tegas bagi pelaku korupsi politik, baik dari pihak calon kepala daerah maupun anggota DPRD yang terlibat. Hukuman yang tegas dan transparan akan menjadi langkah preventif untuk mencegah pelanggaran di masa depan.
3. Membentuk Forum Musyawarah Terbuka
Untuk menjamin musyawarah di DPRD tetap mencerminkan aspirasi rakyat, perlu dibentuk forum musyawarah terbuka yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Forum ini dapat berfungsi sebagai wadah konsultasi publik, di mana rakyat dapat menyampaikan aspirasi, masukan, dan kritik terkait pemilihan kepala daerah.
Forum ini juga berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara rakyat dan wakil rakyat di DPRD. Dengan begitu, keputusan yang diambil dalam musyawarah benar-benar berdasarkan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
4. Mengembangkan Sistem Teknologi Pendukung
Teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk mendukung transparansi dalam proses musyawarah. Sistem daring yang memungkinkan masyarakat memantau jalannya musyawarah di DPRD secara langsung dapat meningkatkan akuntabilitas. Selain itu, teknologi juga dapat digunakan untuk mendokumentasikan seluruh proses musyawarah, sehingga keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
5. Menanamkan Nilai-Nilai Pancasila dalam Pendidikan Politik
Musyawarah sebagai nilai luhur bangsa harus ditanamkan sejak dini melalui pendidikan. Kurikulum pendidikan politik di sekolah dan perguruan tinggi harus menekankan pentingnya musyawarah sebagai mekanisme pengambilan keputusan yang mencerminkan semangat gotong royong dan kebijaksanaan.
Pendidikan politik ini juga perlu dilakukan di tingkat masyarakat melalui program-program sosialisasi yang melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan. Dengan memahami nilai-nilai Pancasila, masyarakat akan lebih siap untuk mendukung dan mengawal sistem musyawarah yang berkualitas.
6. Menata Sistem Partai Politik yang Berkeadilan
Sistem politik yang sehat adalah kunci keberhasilan musyawarah. Partai politik harus menjadi sarana perjuangan aspirasi rakyat, bukan alat kepentingan kelompok tertentu. Oleh karena itu, perlu ada regulasi yang lebih tegas untuk memastikan partai politik berfungsi sebagaimana mestinya, termasuk dalam proses pencalonan kepala daerah.
Partai politik juga harus bertanggung jawab dalam mendidik kader-kadernya untuk menjadi pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebijaksanaan.
Menuju Demokrasi Bermartabat
Musyawarah sebagai mekanisme pemilihan kepala daerah bukanlah langkah mundur, melainkan upaya untuk kembali kepada jati diri bangsa yang berlandaskan Pancasila. Namun, keberhasilan sistem ini tidak hanya ditentukan oleh konsepnya, tetapi juga oleh pelaksanaannya yang harus didukung oleh integritas, transparansi, dan pengawasan yang ketat.
Presiden Prabowo Subianto telah membuka ruang diskusi yang penting bagi masa depan demokrasi Indonesia. Kini, tanggung jawab kita bersama adalah memastikan bahwa wacana ini diimplementasikan dengan benar, sehingga mampu menjawab tantangan demokrasi modern tanpa kehilangan akar budaya dan filosofi bangsa.
Semoga dengan kembali kepada nilai-nilai musyawarah, kita dapat membangun sistem politik yang lebih adil, transparan, dan bermartabat untuk Indonesia yang lebih baik.
Wallahu a’lam bishawab.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Kerusakan besar ekosistem Gaza, runtuhnya sistem air, pangan, dan pertanian akibat serangan Israel
Ilmuwan Gunakan AI untuk Ungkap Rahasia Dasar Laut Antartika
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Kepala Desa Tirak, Suprapto, Membisu Soal Status Anaknya Yang Diduga Pembebasan Bersyarat (PB) Kasus Narkoba, Lolos Seleksi Calon Perangkat Desa
Jerat Jalur Merah: Ketika Bea Cukai Jadi Diktator Ekonomi
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Mahfud MD Guncang Kemenkeu: Bongkar Skandal 3,5 Ton Emas dan TPPU Rp189 Triliun di Bea Cukai!
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Skandal Tirak: Dinasti Narkoba di Balik Kursi Perangkat Desa Ngawi
No Responses