Oleh: Yudhie Haryono
Jok. Engkau bekerja di seluruh pekerjaan kecuali pekerjaan dengan landasan konstitusi dan Pancasila. Tentu karena engkau bukan kepala negara. Engkau hanya petugas para taipan merampok harta warganegara.
Di tangan menteri keuangan yang disebut Anwar Nasution sebagai “menteri dengan modal batok kelapa,” dan menkeu terbaik di akhirat versi Romo Pupung dan Puji, utang pemerintah sekarang tumbuh rata-rata 20 persen per tahun. Sedangkan pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) hanya 5 persen setiap tahun. Ini berarti utang pemerintah tumbuh 4 kali lebih cepat dari pertumbuhan PDB.
Saat bersamaan, semua Anggota DPR, Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati itu waktu pemilihan biayanya habis sampai puluhan hingga ratusan milyar. Padahal, gajinya kalau dihitung sampai matipun tidak akan cukup untuk mengembalikanya. Pasti tak balik modal.
Kalau begitu, bagaimana mereka bisa hidup bermewah-mewah seperti yang sudah-sudah? Apakah yang bisa dijualnya agar mereka bisa mendapatkan uang kalau bukan menjual peraturan dan kebijakan (UU) kepada para konglomerat hitam?
Saat bersamaan, rakyat Indonesia kebanyakan tergolong bodoh massal dan dibodohi terus-terusan sepanjang hidupnya.
Jok, kawanku. Jika ada hal terjahat di alam raya ini, tak ragu kujawab: mereka para pelaksana ide neoliberalisme. Mereka pengiman kerakusan. Karena itu, janji neoliberal persis proklamasi para penjual kecap: mengiming-iming kenikmatan rasa. Di sorga mereka, katanya ada kesetaraan, kenikmatan; demokrasi dan kebahagiaan.
Mereka juga berfatwa, “individu berdaulat,” karenanya kitab-kitab tak lagi penting, orang suci dan orang ideal nilainya sama dengan lainnya. Pesta dirayakan mirip doa istighosah. Malaikat libur. Syaitan tidur.
Keadaannya antropocentris. Karena manusia pusat pengendali segalanya. Prestasi masa lalu tak penting. Rekam jejak jadi mubazir.
Tetapi, lama kelamaan neoliberal kini mirip perempuan berumur 75 tahun. Dicium bau, dibuang sayang. Sebab ia menghidupi oligarki dan para penjilatnya.
“Kalian tahu mengapa neoliberal tumbuh subur di negaramu? tanya Ben Anderson padaku suatu kali.” Aku diam menyimak, tidak berusaha menjawab. Sebab lebih baik terus mencatat hipotesa-hipotesanya.
Lalu, Ben menjawab sendiri pertanyaannya. “Karena kalian terlalu banyak memproduksi pengkhianat. Betapa berat tantangan kalian. Punya banyak warganegara yang malas baca buku tetapi rajin mengkhianati saat dapat kursi.”
Para pengkhianat itu berniat korupsi di pikirannya jauh sebelum berkuasa, itulah elite ngendonesia. Memang tidak semua elite korupsi tapi setiap koruptor jadi elite.
Karenanya, kata kamus postkolonial: yang dimaksud elite Indonesia adalah seseorang yang mencintai sesuatu dengan cara harus memiliki, mengkomodifikasi dan mengeksploitasi segala kelebihan sesuatu tersebut sampai sesuatu itu tak terjangkau oleh orang lain.
Tapi kita bisa apa? Sebab, KINI FANTASI ITU DITERNAK DI ISTANA. DI JANTUNG NEGARA.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri
Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global
Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama
Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan
Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas
Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan
Budaya Kita Perwakilan Musyawarah, Mengapa Pilpres Mesti One Man One Vote
Keseimbangan Sistemik: Membaca Kritik Ferri Latuhihin Kepada Purbaya
No Responses