Oleh: Zamal Nasution, PhD.
Dosen Unair Surabaya, Peneliti Pemberdayaan Anak dan Perempuan
Perkawinan anak di Indonesia seperti fenomena gunung es, banyak anak yang hamil terpaksa dispensasi kawin. Namun, ternyata lebih banyak lagi yang aborsi dan menjadi korban perdagangan.
Tulisan ini merupakan penelitian kerjasama dosen Universitas Airlangga yakni Zamal Nasution, PhD., dan dr. Annette d’Arqom, PhD.; beserta peneliti Venny Seran, SPd., dari Yayasan Kroman Malaka Nusa Tenggara Timur. Tulisan ini merupakan bagian kedua.
Desa Terdampak Perkawinan Anak
Menurut statistik, mayoritas perkawinan anak terjadi di wilayah pedesaan. Menurut pengamatan kami, wilayah pedesaan paling terdampak derasnya informasi yang membawa kebiasaaan baru. Norma sosial, agama, dan budaya banyak teraneksasi oleh budaya liberal.
Semakin permisifnya masyarakat pedesaan terhadap pola relasi perempuan dan laki-laki, namun di sisi lain, belum mengubah budaya patriarki dimana laki-laki dianggap lebih unggul dari perempuan.
Patron yang bias gender tersebut berdampak pada eksistensi perkawinan anak. Anak perempuan yang paling sengsara karena terpaksa kawin di tahap pertumbuhan disebabkan ego orang tua.
Dalam agama mayoritas di Indonesia, Islam dan Kristen, perkawinan anak ditentang karena kerugian lebih besar dari manfaat. Kerugian tersebut ditanggung hampir seluruhnya oleh anak perempuan.
Baca Juga:
Karena fungsi reproduksi belum siap, kehamilan di usia anak memperbesar potensi kerusakan pada fungsi reproduksi, bayi kurang gizi, dan terganggunya kesehatan mental sang ibu.
Batas minimal usia 19 tahun kawin memberikan kesempatan anak menyelesaikan pendidikan hingga taraf sekolah menengah. Dispensasi perkawinan dan ijin menyelesaikan sekolah hampir tidak mungkin simultan karena tekanan psikologis dari lingkungan.
Akibatnya, anak yang kawin dan hamil di usia sekolah memperbesar kerusakan fungsi reproduksi, putus sekolah, bayi kurang gizi, ketiadaan pekerjaan, dan ketergantungan ekonomi.
Bukan Kesalahan Agama
Moralitas masyarakat pedesaan tiangnya adalah norma agama. Norma agama ditegakkan oleh tokoh agama. Ikatan spiritiual dan emosional masyarakat ke tokoh agama mempengaruhi tingkat perkawinan anak.
Aturan agama yang demikian agung melarang perkawinan anak, luntur pengaruhnya di masyarakat pedesaan akibat kombinasi arus informasi dan ketidaksiapan masyarakat mengambil manfaat dari kemajuan teknologi.
Informasi yang bisa diakses lewat perangkat elektronik semakin gampang dioperasikan, bahkan oleh anak balita. Masyarakat pedesaan dimudahkan oleh semakin terjangkaunya harga paket internet dan telepon genggam.
Dampaknya terasa, masyarakat dapat memilih sumber pengetahuan agama dari media sosial sehingga semakin jarang berinteraksi dengan tokoh agama lokal.
Baca Juga:
Penyampaian pesan keagamaan dan moralitas lebih disukai lewat humor dan semakin populernya sang pembicara. Tak jarang popularitas figur agama dibarengi dengan materi iklan sponsor. Iklan tersebut dibawakan oleh artis yang tersohor, yang diikuti masyarakat, termasuk gaya hidupnya. Masyarakat mengikuti tren di media sosial dengan mengasosiasikan gaya hidup ideal seperti dalam tontonan.
Ketika tokoh panutan tersebut tergelincir akibat gaya hidup, maka pudarlah kepercayaan masyarakat pada absolutisme norma agama.
Meningkatnya kesulitan ekonomi semakin memperluas efek materialisme pada aspek sosial, agama, dan budaya.
Acara keagamaan yang mengundang tokoh populer, tampak mewah, dan sering berderma lebih disukai daripada tokoh lokal yang hidup sederhana.
Situasi ini berdampak pada norma agama di masyarakat yang menjadi semakin permisif termasuk pada pertimbangan perkawinan anak, karena berubahnya keyakinan terhadap nilai-nilai agama.
Ini berlawanan dengan umumnya analisis tentang perkawinan anak yang menghakimi agama sebagai penyebabnya.
Patriarki Dominan
Keluarga yang semakin materialistik karena terjepit himpitan ekonomi dipaksa melonggarkan peran orang tua dan keluarga mendidik anak.
Anak-anak lebih sering dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan mencari jatidiri sendiri, sementara orang tua bekerja dan waktunya habis di luar rumah.
Menjamurnya warung kopi dengan internet gratis di pedesaan adalah simbol absennya peran ayah di rumah.
Sedikit anak yang beruntung menemukan lingkaran pergaulan yang kondusif meskipun tanpa pengawasan orang tua. Pengawasan orang tua dapat mengarahkan pergaulan anak sesuai perkembangan usia. Namun, di desa, semakin banyak anak-anak yang kurang beruntung.
Baca Juga:
Anak-anak itu membuat kelompok-kelompok di luar yang lazimnya dikenal seperti grup sholawat, klub sepak bola, maupun paduan suara. Sering terlihat, kelompok-kelompok tersebut eksis di alun-alun, warung game online, maupun pertunjukan dangdut.
Dalam pergaulan tersebut, anak-anak diterima dengan persyaratan dan konsekuensi biaya, kebiasaan, dan relasi emosional.
Anak-anak kemudian bertemu dengan aktivitas dan lingkaran pertemanan yang longgar norma agama dan sosial. Kekerasan yang dipertontonkan lewat foto dan video, semakin sering jadi peristiwa viral.
Akibat dari pertemanan, sering terjadi kehamilan di antara anak-anak yang merasa senasib, jauh dari perhatian orang tua. Percobaan aborsi dan pembunuhan anak perempuan, merupakan jalan pintas anak-anak lari dari akibat pergaulan.
Mayoritas perkawinan anak (85%) disebabkan hubungan seksual. Hubungan seksual tersebut berlangsung pertama kali dengan orang yang dikenal, secara sengaja maupun terpaksa. Orang tua yang mendapati anak perempuannya hamil, kemudian menutup rasa malu dengan memaksakan perkawinan.
Perkawinan di usia anak memperbesar peluang terjadinya perceraian sebanyak dua kali lebih tinggi daripada di usia dewasa.
Perceraian di usia anak merupakan beban tambahan bagi keluarga, sehingga tidak jarang orang tua mendorong anak perempuan merantau.
Beban ekonomi tersebut menjadi potensi keuntungan bagi pedagang orang.
Kehamilan yang disebabkan kurangnya perhatian orang tua, perkawinan anak, perceraian di usia muda, menjadi korban perdagangan orang; adalah rangkaian setan di masyarakat pedesaan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global

Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama

Asap di Sekolah: Potret Krisis Moral Dalam Dunia Pendidikan

Presiden Prabowo Terima Pengembalian Rp13,5 Triliun dari Kejagung: Purbaya Datang Tergopoh-gopoh, Bikin Presiden Tersenyum

Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah

Pengaduan Masyarakat atas Dugaan Korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung: KPK Wajib Usut Tuntas

Daniel M Rosyid: Reformasi Pendidikan



No Responses