Zamal Nasution, PhD.
Dosen Unair Surabaya, Presiden Alumni Mahidol University di Indonesia
Sejak tahun 2018, penulis mengikuti proses akulturasi orang Indonesia di Thailand. Orang Indonesia lebih fleksibel beradaptasi karena kemampuan menyesuaikan diri. Orang Indonesia mayoritas tinggal berdekatan, dan mendekati masjid serta lokasi makanan halal. Sebagian besar migran yang masuk ke Thailand tinggal di Bangkok dan Pattaya. Ini yang memiliki ijin tinggal. Namun, penulis sempat mendatangi wilayah Thailand selatan yang cenderung jauh dari pemberitaan terkait komunitas orang Indonesia. Dalam perjalanan ke Propinsi Songkla 23 Oktober 2023, dalam pesawat Air Asia sekitar 30 orang penumpang berbahasa Madura.
Pekerja Madura Berevolusi
Sejak di ruang boarding, siang jam 1 hingga jam 3 sore, penulis mendapati sekumpulan orang berbahasa Madura. Mereka penumpang transit dari Surabaya bandara Juanda. Tujuan mereka berangkat ke bandara Hatyai di Thailand selatan. Dari sekitar 30 orang, ada 4 perempuan. Dari cara mereka bercengkrama dengan laki-laki Madura lain, mereka cenderung diam dan sesekali bicara. Mereka lebih fokus menonton dan memainkan ponsel.
Penulis yang duduk di barisan depan, memulai pembicaraan dengan sapaan dalam bahasa Madura “Beremma kaberre?” Dari tiga penumpang yang duduk sebaris, penumpang laki-laki usia 27 tahun bersemangat merespon. Dia yang minta dipanggil “Mat” bercerita sudah bekerja di Malaysia sekitar 6 tahun. Dia mahir di bidang konstruksi. Pekerjaannya disukai majikan sehingga selalu diajak di proyek perumahan.
Hari itu, dia akan ke Trengganu Malaysia. Rute yang dilalui, Surabaya menuju Kuala Lumpur, transit beberapa jam untuk lanjut ke Hatyai di Thailand selatan. Dari Hatyai, agen akan menjemput untuk dibawa naik bis ke Trengganu Malaysia.
Pesawat terlambat berangkat, sehingga tiba di bandara Hatyai menjelang jam 3 sore. Di dekat konter imigrasi, penulis sempat diminta polisi menuju barisan orang Madura. Penulis yang merespon dalam bahasa Thai, lalu dialihkan ke jalur kedatangan umum. Barisan orang Madura, setelah semua lengkap, dibawa ke jalur imigrasi tersendiri. Mereka melalui pengecekan dokumen seperti biasa, namun dengan petugas berbahasa Melayu. Orang Madura ternyata berhasil membuat petugas imigrasi Thailand belajar bahasa Melayu.
BACA JUGA:
- Zamal Nasution: Santri Amanatul Ummah Memukau Mahidol University Thailand
- Zamal Nasution: Mengantar Pak Kyai Ke Negeri Gajah Putih
- Zamal Nasution: Merevolusi Program Revolusi Mental
Benarkah Jalur Ilegal Pekerja Dipertahankan?
Selama penerbangan hampir 1,5 jam, penumpang di sebelah penulis ada 2 Madura. Orang Madura yang usianya hampir 50 tahun punya istri juga di Malaysia, etnis Madura. Istrinya sudah tinggal di Malaysia belasan tahun. Dia pulang sendiri menemui keluarganya yang menetap di Sampang Madura. Melihat paspornya, yang diterbitkan bulan Mei 2023, menunjukkan perjalanan pertama ke luar negeri. Berbeda dengan pengakuannya yang sudah belasan tahun di Malaysia.
Penulis membandingkan dengan temuan dari penelitian awal tahun 2019. Jalur penyeberangan tidak resmi di perbatasan Thailand selatan dan Malaysia sejauh ratusan kilometer. Oknum petugas imigrasi Thailand sudah begitu terkenal di media karena meminta uang dari imigran tidak berdokumen resmi. Pekerja migran Myanmar, Kamboja, Laos, dan Vietnam merupakan korban tetapnya. Pemerasan itu akan semakin sadis jika mereka bekerja tanpa dokumen resmi. Namun, modus pemerasan tersebut kemudian dialami orang Indonesia yang ternyata dari etnis Madura.
Pekerja Madura sudah bermukim di Malaysia utara puluhan tahun. Ini terbaca dari berita di media online asli Madura. Orang Madura yang bekerja dan kemudian sebagian menjadi penduduk permanen di Malaysia, populasinya 800-ribuan. Hampir 70% tinggal dan bekerja tanpa dokumen. Generasi awal datang dengan dokumen, disusul beberapa generasi dengan peningkatan mereka yang tanpa dokumen. Mereka yang sukses, pulang ke Madura dan membawa rekannya bekerja di Malaysia.
Bekerja di Malaysia berbekal dokumen lengkap dirasa sangat membebani. Hal ini dikeluhkan, sebab petugas pemerintah di Indonesia dan Malaysia selalu meminta dokumen untuk dilengkapi. Proses ini bisa memakan waktu setahun. Jalan pintas yang minimum biaya dan waktu yakni lewat jalur tanpa dokumen.
Resiko Berbanding Lurus Keuntungan
Penulis menghubungi peneliti asli Thailand selatan. Dia bercerita bahwa biaya stempel imigrasi minimal 1.000 Baht per paspor. Ini biaya suap agar petugas Thai tutup mata. Petugas imigrasi sudah dikondisikan oleh agen pekerja di Hatyai. Orang Madura tenang saja, karena semua ada biaya.
Biaya yang seharusnya digunakan untuk membuat kelengkapan dokumen resmi di Indonesia dan Malaysia, masih lebih besar daripada tanpa dokumen lengkap. Mereka yang menyeberang dengan rute udara Thailand selatan dan dilanjutkan lewat darat ke Malaysia hanya membayar biaya perjalanan tiket tanpa potongan agen. Mereka bisa langsung bekerja, berkumpul di komunitas Madura. Sebagian bisa memanggil istrinya tinggal di Malaysia. Rombongan orang Madura ke Hatyai menghidupkan kembali jalur pesawat AirAsia Kuala Lumpur – Hatyai. Petugas imigrasi Thailand, majikan Malaysia, dan penerbangan AirAsia, beradaptasi dengan orang Madura.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global

Dr. Anton Permana: 5 Seruan Untuk Presiden Prabowo, Saat Rakyat Mulai Resah dan Hati Mulai Luka

Menyikapi UUD 18/8/1945

Rocky Gerung: 3 Rim Karatan di Kabinet Prabowo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global

Syahadah: Menjadi Saksi Dari Cahaya Yang Tak Bernama



No Responses