Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-3): Menjadi Jamaah Pengajian

Novel Muhammad Najib, “Bersujud di Atas Bara” (Seri-3): Menjadi Jamaah Pengajian
Dr Muhammad Najib, Duta Besar RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Tulisan berseri ini diambil dari Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.

Novel dengan judul: Bersujud di Atas Bara ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata, dengan latar belakang Perang Afghanistan tahun 1979- 1989. Pada saat itu, di tingkat global bertarung antara dua super power, Amerika dan sekutunya NATO didukung oleh sejumlah negara Muslim, bertempur melawan Uni Soviet yang didukung Pakta Warsawa. Sementara di medan laga terjadi pertarungan antara Rezim Boneka Afghanistan dukungan Uni Soviet melawan Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya.

Karya: Muhammad Najib

Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Kamis sore, udara Surabaya sangat cerah. Matahari mulai condong ke Barat saat Mujahid berjalan kaki meninggalkan rumahnya menuju Terminal Wonokromo yang berjarak sekitar lima ratus meter. Ia berjalan di antara becak dan pejalan kaki yang sangat padat, melewati lintasan rel kereta api yang menyebabkan jalanan sering macet. Sesampainya di Terminal, ia menuju tempat dimana bus kota berjajar. Setelah memperhatikan tulisan di atas bus kota dengan trayek yang ditujunya, Mujahid lantas naik. Ia mengambil tempat duduk di belakang sopir. Kebetulan ada satu kursi yang kosong di situ. Setelah bus penuh, sopir menempati tempat duduknya lalu menyalakan mesin bus.

Bus meninggalkan Terminal Wonokromo menuju Terminal Jembatan Merah. Perjalanan melewati jantung Kota Surabaya yang sangat padat, sehingga perjalanan bus agak merayap. Belum lagi bus harus berhenti di setiap halte untuk menaikan dan menurunkan penumpang yang biasanya cukup padat di sore hari. Untuk mengisi waktu kosong di perjalanan, Mujahid membuka majalah Sabili dan membacanya.

Tanpa terasa, bus tiba di Terminal Jembatan Merah yang merupakan terminal terakhir rute bus itu. Seluruh penumpang turun. Sesuai saran Yazid padanya, Mujahid berjalan kaki melewati jembatan bercat merah. Sebuah jembatan bersejarah saat arek-arek Suroboyo mengusir penjajah dalam peristiwa Sepuluh November tahun 1945. Di seberangnya berjajar rapi becak-becak yang antre menanti penumpang. Ia mendekati becak yang berada paling ujung.

“Cak! Ngerti Masjid Syuhada di Ampel?”, Mujahidbertanya dengan logat Surabaya.

“Opo seng cedak Sasak iku mas?”, tanya tukang becak balik.

“Iku lho, seng ono pengajian ben malem Jumat”, jawab Mujahid menjelaskan, pura-pura tahu.

“Yo bener, wes…!”, sahut tukang becak yakin sambil mengangkat bagian belakang becaknya agar Mujahid mudah menaikinya.

“Monggo…!”, katanya mempersilahkan.

“Piro Cak?”, tanya Mujahid tentang ongkos becaknya.

“Biasa, Mas. Sepolo ewu!”, sahutnya sambil menggenjot becaknya.

Becak berhenti persis di mulut gang yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor. Di atasnya terpampang papan berwarna hijau bertuliskan: “Masjid Syuhada” bercat putih yang sudah agak lapuk digerus air hujan dan panasnya matahari. Mujahid mengamati papan itu, ia berpikir sejenak. “Insha Allah tidak salah”, ucapnya dalam hati. Ia lalu berjalan memasuki gang itu. Hanya tiga puluh meter dari jalan besar, di sebelah Kiri jalan terdapat sebuah masjid sederhana yang tidak terlalu besar. Dalam hatinya ia bertanya, “Apakah ini masjid yang dimaksud?”. Ia menatap berbagai sudut dan dinding masjid itu. Matanya kemudian tertuju pada sebuah tulisan dalam bahasa Arab yang berbunyi: Masjid Syuhada.

“Alhamdulillah akhirnya sampai”, pikirnya lega. Ia membuka sepatu, meletakkannya di rak sebelah tangga masuk. Beberapa orang sedang mengambil wudhu, sementara sebagian lagi tampak duduk melingkar sambil berdiskusi. Mujahid lalu mengambil wudhu, kemudian melakukan shalat tahiyatul masjid sebanyak dua rakaat. Setelah selesai, Ia berdoa dan berzikir.

Cover Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.

Terdengar suara azan Magrib yang dikumandangkan oleh Muazin. Sementara azan berkumandang, Mujahid memperhatikan suasana ruangan. Para jamaah berangsurangsur terus bertambah. Saat Ikamah dikumandangkan, para jamaah mengatur saf dengan rapi. Beberapa orang mengambil inisiatif memeriksa saf yang ada. Saat menemukan saf yang renggang, meminta jamaah untuk merapatkannya. Begitu juga saat ada saf yang bengkok, mereka segera meluruskannya. Sang Imam menghadapkan wajahnya kepada jamaah sambil menunggu saf betulbetul rapat dan lurus.

“Halas…!”, aba-aba petugas pemeriksa saf terdengar dari baris paling belakang. Sang Imam membalikkan wajahnya ke arah Kiblat, kemudian memulai shalat. Bagi Mujahid, adanya petugas pengatur saf merupakan pemandangan yang unik yang tidak Ia temukan di tempat lain. “Kayak baris-berbaris saja”, pikirnya.

BACA JUGA:

Setelah mengucapkan salam, sang Imam membaca doa dengan pelan. Masing-masing jamaah juga berdoa. Ada yang mengangkat kedua telapak tangannya setinggi dada, ada pula yang mengangkat tangannya hampir setinggi kepalanya. Tapi ada yang hanya menghitung jarijarinya dengan menggunakan ibu jari sembari mengucap zikir. Suasana tertib, tenang, dan khusyuk sangat dominan di masjid ini.

Sang Imam lalu berdiri dan melaksanakan shalat Sunnah Ba’diah dua rakaat diikuti para jamaah. Mujahid menoleh ke belakang. Ternyata masjid penuh sampai baris paling belakang dan tidak satu pun jamaah yang meninggalkan tempatnya seusai shalat Sunnah. Seorang pemuda berjenggot lebat, mengenakan baju koko panjang hampir sampai ke lututnya, dengan kopiah putih di kepalanya, mengambil mike yang ada di mimbar.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, katanya memberi salam. Sesudah mengucapkan beberapa kalimat doa sebagai pembuka, Ia kemudian mengumumkan, “Saudara-saudara sekalian. Topik kajian Kita malam ini adalah tentang Tauhid. Alhamdulillah, Ustaz Za’far sudah berada di tengah-tengah Kita. Untuk mempersingkat waktu, kepada beliau waktu dan tempat kami persilahkan“, Ia memberi Isyarat tanda mempersilakan.

Ternyata yang dimaksud Ustaz Za’far tidak lain tidak bukan adalah Imam yang baru saja memimpin shalat. Rambut dan jenggot lelaki itu mulai memutih. Kopiah hitam menutupi kepalanya. Wajahnya tampak bersih dan teduh. Perlahan Ia berdiri dan bergerak dari tempat imam ke podium yang berada di sebelahnya, sambil menggantungkan sorban yang tadi digunakan sebagai alas sujud ke pundaknya. Suaranya pelan dan datar. Walau bahasa dan kalimat-kalimat yang dipilihnya sangat santun, tapi sangat tajam dan penuh makna.

¨Saudara-saudara sekalian, tahukah Kita makna dari dua kalimat syahadat yang berulang kali kita baca?”, katanya dengan nada tanya. “Bagian pertama dari kalimat syahadat itu berbunyi, Lailaha illa Allah, yang makna harfiahnya adalah tidak ada tuhan selain Allah. Kalimat yang meniadakan, sekaligus menegaskan. Tuhan mengandung makna bukan saja sesuatu yang patut dan harus Kita sembah, tetapi Tuhan bisa juga sesuatu yang Kita patuhi dan Kita takuti. Kalau ada benda atau makhluk lain yang Kita takuti atau Kita ikuti selain Allah, maka itu berarti menyekutukan Allah atau syirik dalam bahasa Arab”.

“Karena itu berhati-hatilah dalam kehidupan ini, karena uang bisa menjadi Tuhan Kita, kekuasaan bisa menjadi Tuhan Kita, istri bisa menjadi Tuhan Kita, anak bisa menjadi Tuhan Kita, bahkan tidak jarang seorang pegawai menempatkan bosnya sebagai tuhannya”.

“Kalau hal ini sampai terjadi, berarti tauhid Kita belum benar”, katanya dengan kalimat yang sangat tegas, sementara wajahnya terus menatap hadirin dengan sorot mata yang tajam”. “Jadi!”, katanya meneruskan, “Semua itu bukan Tuhan, bukan yang harus Kita patuhi dan taati, kecuali Allah. Jadi Allahlah satu-satunya zat yang patut Kita sembah, Kita patuhi dan Kita taati”.

“Bagian kedua dari kalimat syahadat itu berbunyi: Muhammad Rasulullah. Artinya Nabi Muhammad itu adalah contoh atau teladan satu-satunya dalam hal sikap, ucapan maupun perilaku Kita dalam mengamalkan ajaran-Nya yang tertuang dalam Al-Quran. Karena itu berbagai interpretasi yang tidak sejalan dengan apa yang dicontohkan Rasulullah harus ditolak”, katanya lagi dengan suara tegas.

Mujahid yang duduk di antara jamaah pengajian, dengan penuh seksama mendengarkan kata demi kata dari sang Ustaz. Ia juga memperhatikan mimik dan gaya bicaranya. “Luar biasa Ustaz ini, belum pernah Aku bertemu dengan seorang guru seperti Dia”, puji Mujahid dalam hati.

“Tahukan Saudara sekalian kenapa umat Islam walaupun jumlahnya besar tapi tidak diperhitungkan? Bahkan cenderung diremehkan oleh umat-umat lain? Apa yang terjadi di Palestina, di Kashmir, di Chechnya, di Thailand Selatan, di Filipina Selatan dan di Afghanistan? Umat Islam menjadi semacam daging empuk yang menjadi rebutan para srigala”, suara Ustaz Za’far terdengar lagi dengan kalimat yang mantap. “Kalau Kita ingin diperhitungkan, disegani dan dihargai, maka rahasianya hanya satu, mari Kita perbaharui Tauhid Kita. Tidak boleh lagi ada yang Kita takuti, Kita taati, Kita ikuti kecuali Allah. Semua yang bertentangan dengan perintah Allah harus ditentang dan dilawan”.

Mujahid terus mengikuti dengan tekun kalimat demi kalimat yang mengalir dengan lancar dari lidah Ustaz Za’far. Ia seolah menemukan sebagian jawaban dari pertanyaanpertanyaan yang menggumpal di kepalanya. Diam-diam Ia mulai mengagumi sang Ustaz.

(Bersambung…)

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K