JAKARTA – Dalam waktu hampir bersamaan, tiga peristiwa politik penting mengguncang lanskap kekuasaan nasional. Pertama, instruksi Presiden Joko Widodo kepada jaringan relawannya untuk menjaga dan mempertahankan pasangan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka agar bertahan dua periode. Kedua, pengangkatan Qudori sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), posisi strategis yang selama era Jokowi diisi sosok kepercayaan penuh. Ketiga, langkah mengejutkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang mendeklarasikan pembentukan Tim Reformasi Polri, meski Presiden lebih dahulu membentuk tim serupa di bawah kendali pemerintah.
Tiga peristiwa ini tampak seolah berjalan sendiri-sendiri, namun bila ditarik dalam satu garis, terbaca sebuah pola: tarik-menarik pengaruh, upaya mengamankan warisan, dan gejala pembangkangan yang menandai perubahan rezim.
Jokowi dan Bayangan Dua Periode Prabowo-Gibran
Instruksi Jokowi kepada relawan agar menjaga duet Prabowo–Gibran untuk dua periode bukan sekadar pesan loyalitas. Itu adalah sinyal bahwa Jokowi tidak ingin warisan politiknya hanya bertahan lima tahun. Dengan menegaskan komitmen dua periode, Jokowi sedang menanam jangkar politik agar arah pemerintahan tetap dalam orbit pengaruhnya.
Di sini, peran relawan kembali dihidupkan sebagai mesin politik non-formal. Mereka adalah “pasukan cadangan” yang bisa mengimbangi partai politik. Jokowi seakan berkata: jangan biarkan mesin kekuasaan ini diganggu, kawal Gibran, kawal kesinambungan.
Qudori di KSP: Penjaga Loyalitas Istana
Masuknya Qudori sebagai Kepala KSP meneguhkan pola tersebut. KSP sejak era Moeldoko bukan sekadar kantor staf, melainkan pos komando komunikasi politik presiden. Qudori, sosok yang dikenal dekat dengan lingkar relawan, ditempatkan untuk memastikan jalur komunikasi Jokowi dengan Prabowo–Gibran tetap steril dari gangguan.
Pengangkatan ini bisa dibaca sebagai manuver: meskipun Jokowi tidak lagi presiden, ia ingin memastikan orang kepercayaannya duduk di ruang strategis yang bisa mengawal agenda. KSP berfungsi sebagai telinga dan mulut yang peka, mampu membaca arah politik sekaligus mengintervensinya bila diperlukan.
Kapolri Membangkang?
Di titik ini, muncul peristiwa ketiga: Kapolri mengumumkan pembentukan Tim Reformasi Polri sendiri, meski Presiden telah lebih dulu memutuskan pembentukan Tim Reformasi Polri versi pemerintah. Secara formal, langkah Kapolri bisa dianggap inisiatif internal. Namun secara politik, ini menciptakan kesan pembangkangan.
Mengapa? Karena reformasi Polri adalah agenda sensitif, menyangkut institusi yang paling sering dikritik soal transparansi, penyalahgunaan kekuasaan, hingga korupsi. Presiden ingin mengawal agenda ini dengan tim resmi agar kredibilitasnya terjaga. Kapolri justru meluncurkan tim tandingan, seakan ingin menunjukkan: “Kami bisa berjalan sendiri, tanpa arahan istana.”
Dalam tradisi birokrasi Indonesia, langkah semacam ini jarang dilakukan tanpa pertimbangan politik. Artinya, Kapolri sedang mengirim sinyal: Polri bukan sekadar alat negara, melainkan entitas yang bisa mengambil inisiatif politik sendiri.
Membaca Garis Sejajar
Jika tiga peristiwa ini ditempatkan dalam satu garis, terbaca ketegangan yang semakin jelas.
Jokowi: memastikan kesinambungan kekuasaan lewat relawan dan mengunci loyalitas dengan menempatkan orang dekat di KSP.
KSP Qudori: menjadi benteng transisi, menjembatani kepentingan Jokowi dengan pemerintahan baru Prabowo–Gibran.
Kapolri: mulai menguji batas, seakan ingin keluar dari bayang-bayang presiden dengan membangun agenda reformasi sendiri.
Garis ini membentuk pola tarik-menarik. Jokowi ingin memastikan orbitnya tidak terputus. Kapolri mulai mengisyaratkan otonomi. Sementara pemerintahan Prabowo–Gibran berada di tengah, dituntut menjaga harmoni antara patron lama (Jokowi) dengan mesin kekuasaan yang mulai menuntut ruang sendiri.
Pertarungan Simbolik
Peristiwa ini bukan hanya teknis birokrasi, tapi juga simbolik. Jokowi menggunakan relawan, simbol kekuatan rakyat sipil. Qudori di KSP melambangkan loyalitas istana yang dipertahankan. Kapolri dengan tim reformasinya melambangkan institusi negara yang mulai melawan dominasi politik eksekutif.
Jika situasi ini terus berkembang, publik akan melihat wajah baru politik pasca Jokowi: pergeseran dari kepatuhan penuh ke arah kontestasi institusional.
Akhir yang Terbuka
Tiga peristiwa ini membuka babak baru. Jokowi ingin memastikan jejaknya tidak dihapus. Qudori menjadi “penjaga gawang” transisi. Sementara Kapolri, sadar akan momentum, berusaha menunjukkan posisi independen.
Pertanyaannya, siapa yang akan menang dalam tarik-ulur ini? Apakah Prabowo–Gibran akan tunduk sepenuhnya pada orbit Jokowi, ataukah akan memanfaatkan “pembangkangan Kapolri” untuk membangun kemandirian politiknya?
Jawabannya masih menggantung. Namun yang pasti, tiga peristiwa ini bukan kebetulan. Ia adalah tanda bahwa dinamika kekuasaan pasca Jokowi sudah mulai bergerak—pelan tapi pasti—menuju konstelasi baru yang lebih penuh gesekan.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Handuk Putih untuk Jokowi
Yahya Zaini: Ahli Gizi Harus Jadi Garda Depan Cegah Keracunan MBG
Pak Purbaya, Pertamina Harus Dibenahi: Dari Kilang Mangkrak Hingga Skandal Kapal Tanker
Syahganda Nainggolan: SBY Layak Diusulkan Jadi Sekjen PBB
Syahganda Nainggolan Yakin Menkeu Purbaya Mampu Jaga Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Kilang Tuban, Harapan Baru Energi Nasional
Menkeu Purbaya Kritik Pertamina Malas Bangun Kilang, Ini Faktanya
Q&A: Penolakan BBM Pertamina Oleh SPBU Swasta
Geger SPBU Swasta Tolak BBM dari Pertamina: Apa Yang Terjadi?
Api di Ujung Agustus (Seri 22) – Duel Senyap di Rumah Sakit
No Responses