Oleh: Budi Puryanto
Begitu rekaman Wiratmaja mengudara—bukan hanya lewat layar TV yang Maya retas, tetapi juga terpancar simultan ke ponsel, akun-akun berita, dan jejaring sosial—guntur buntut kudeta berubah nada. Dalam hitungan menit, klip berdurasi dua menit itu sudah menyebar liar: cuplikan suara Wiratmaja, potongan peta serangan, dan caption singkat yang memicu kemarahan publik.
Di timeline, #WiratmajaTerbongkar, #BelaNegeri, dan #BukanKudeta menjadi trending. Video amatir muncul dari berbagai penjuru: warga merekam tank melintas, petugas medis membawa korban, warga berkerumun mengutuk. Selebriti dan tokoh masyarakat mulai me-retweet, influencer yang tadinya pasif mengunggah ulang dengan komentar pedas. Bahkan beberapa akun militer nonresmi men-share ulang sambil memberi catatan: “Siapa pun yang berpihak pada pengkhianat, akan kita lawan.”
Di lapangan, perubahan itu terasa seperti tsunami balik. Di beberapa pos pemeriksaan Garuda, prajurit yang semula tegang kini terlihat ragu-ragu melihat ponsel. Polisi yang sebelumnya bingung menerima saldo informasi—antara perintah resmi dan rekaman bukti—mulai membagikan pesan di grup internal mereka: “Perintah kita berubah. Tunggu klarifikasi. Jangan tembak warga.”
Di barisan militer pembelot, getaran yang sama terasa. Sersan hingga kapten yang dilibatkan di front ternyata punya keluarga—anak yang menonton layar ponsel di rumah, saudara yang mengirim pesan video berisi pengakuan Wiratmaja. Beberapa unit kecil melaporkan ke komando bahwa moral menurun; komandan lapangan yang semula garda depan mulai menerima pesan dari atas yang berbalik arah.
Di Istana, Seno memantau aliran informasi yang masuk. Matanya melekat pada panel data: grafik retweet melonjak, peta persebaran video memperlihatkan titik-titik kepedihan—ibu kota, kota pelabuhan, daerah sekitar markas Garuda. Ia tahu ini bukan sekadar opini; ini adalah bahan bakar legitimasi yang bisa menyalakan pemberontakan balik.
Radio di pinggangnya berdering: “Komandan, ada unit Garda 12 di selatan melaporkan mereka mundur dari Garuda. Mereka bilang ‘perintah kami tidak jelas setelah bukti itu’.”
Seno menarik napas dalam. “Beritahu mereka: tahan posisi sampai bantuan tiba, jangan terprovokasi. Kita butuh mereka hidup sebagai bukti bahwa militer masih untuk republik.”
Maya, yang masih di gedung siaran, merasakan getaran teleponnya tak henti. Pesan masuk menumpuk: wartawan meminta wawancara, relawan menawarkan perlindungan, akun-akun lokal memberi koordinat protes damai. Ia menatap layar, melihat wajah-wajah rakyat—marah, takut, berharap. Seketika ia tahu: siaran itu telah menyalakan harapan.
Namun kemenangan informasi tidak menyingkirkan ancaman fisik. Di luar, pasukan Garuda yang tersisa makin brutal. Mereka menutup beberapa jalan, memasang barikade, dan melakukan razia acak. Maya harus keluar dari studio dan melewati rute berlubang, ditemani dua relawan yang ia temui via DM—warga sipil yang kini bersedia membantu.
Pertempuran tak lantas usai. Di sisi barisan loyalis, serangan balik terkoordinasi untuk merebut pusat-pusat informasi dan logistik vital yang semalam direbut Garuda. Pasukan loyalis bergerak lebih terorganisir sekarang; mereka mendapat aliran informasi yang jelas—bukti pengkhianatan di tangan mereka.
Di lapangan, pergeseran terjadi: beberapa komandan lapangan Garuda ditangkap oleh unit yang berbelok arah, sementara massa di jalan menutup akses logistik Garuda dengan aksi spontan—menghadang truk bahan bakar, memblokir jembatan, dan mengangkat panji-panji merah putih. Rekaman aksi-aksi itu, diunggah oleh warga, menjadi bukti nyata bahwa publik menolak kudeta.
Namun malam itu juga membawa saat-saat genting. Di sebuah gang sempit, Maya dan tim relawan disergap; tembakan pecah. Di Istana, Seno terluka oleh serpihan mortir yang menghantam ruang kendali. Kedua sosok itu—penyulut kebenaran dan penjaga simbol negara—bergulat di ambang hidup-mati.
Gelombang balik telah datang; legitimasi Garuda terkikis. Tapi perang belum selesai. Informasi telah memecah belenggu, rakyat bangkit, sebagian militer beralih—tetapi Garuda masih menyisakan taring.
Maya terseret ke dalam kegelapan gang setelah ledakan, ponselnya pecah namun rekaman terakhir sudah masuk ke jutaan timeline; Seno, berdarah, menatap layar yang menampilkan peta pergeseran pasukan—senyum tipis melewati bibirnya yang kelelahan.
Di sudut yang berbeda, malam mengumpulkan nafasnya untuk babak penentuan berikutnya.
Di Balik Tirai Asing
Kudeta gagal. Jalanan ibu kota yang sempat bergolak mulai mereda. Barikade-barikade dibersihkan, tank-tank yang semalam menguasai persimpangan besar perlahan ditarik kembali, sebagian dalam kondisi hancur atau ditinggalkan. Aroma mesiu masih menggantung di udara, bercampur dengan asap ban terbakar. Namun, untuk kali pertama dalam seminggu penuh darah dan ketegangan, rakyat menghela napas lega: republik belum runtuh.
Presiden Pradipa berdiri di balkon Istana, menatap langit yang merona keemasan. Dari jauh ia mendengar sorak-sorai kecil—suara rakyat yang merayakan selamatnya negeri ini. Namun di balik senyum tipisnya, hatinya berat. Ia tahu ini bukan kemenangan akhir.
Dalam ruang rapat terbatas, laporan demi laporan masuk. Kepala intelijen menaruh map tebal di hadapan Presiden. “Pak, ada pola pergerakan dana. Jaringan asing masuk dengan sistematis, menopang operasi Garuda. Nama Wapres Gema muncul di hampir semua simpul.”
Presiden Pradipa membuka map itu perlahan. Foto satelit, catatan transfer rekening, dan kabel diplomatik yang tersadap. Semua mengarah pada satu fakta getir: musuh sebenarnya bukan hanya para pengkhianat di dalam negeri, tapi kekuatan asing yang berdiri tegak di balik layar, menyetir nadi Garuda untuk mengguncang republik dari dalam.
“Gema di mana sekarang?” suara Pradipa tenang tapi dingin.
Kepala intelijen menelan ludah. “Sumber kami bilang, ia sudah terbang keluar negeri… sehari sebelum hari H kudeta dijalankan. Tujuan belum jelas. Ada yang sebut Eropa Timur, ada yang bilang Asia Tengah. Intinya, ia tidak lagi di sini, Pak.”
Pradipa terdiam. Ia menutup map, menekan jemarinya ke meja, lalu berkata lirih: “Jadi, sejak awal ia pion mereka. Pion yang berhasil menyusupkan keraguan, lalu kabur sebelum api padam. Luar biasa.”
Malam itu, setelah rapat bubar, Pradipa kembali ke ruang kerjanya. Lampu remang, hanya suara jarum jam yang terdengar. Ia berjalan ke jendela, menatap siluet kota yang mulai pulih dari luka. Dalam refleksi kaca, wajahnya tampak bukan seperti presiden yang baru saja menggagalkan kudeta, melainkan seorang pemimpin yang baru lahir kembali—baru benar-benar memahami medan perang yang sebenarnya.
Ia berbisik pada dirinya sendiri.
“Kalau ini ujian pertama, maka musuh utamaku bukan lagi pengkhianat dalam negeri. Lawan sejati berdiri jauh di luar batas negeri, menyusup lewat orang-orang seperti Gema. Mereka ingin republik ini tunduk. Tapi aku bersumpah… aku tidak akan menyerah.”
Tatapannya tajam, bukan sekadar marah, tetapi penuh tekad. Seolah malam itu, Pradipa baru saja benar-benar menjadi Presiden—dengan beban penuh, dengan kesadaran bahwa perang ini akan lebih panjang, lebih kejam, dan melibatkan kekuatan yang jauh lebih besar dari yang ia bayangkan.
Di layar televisi nasional, rakyat melihat Pradipa berpidato singkat. Kata-katanya sederhana, tapi menancap.
“Kita selamat dari badai, tetapi badai lain menunggu di ufuk. Negeri ini tidak akan tunduk pada kekuatan asing mana pun. Kita akan bangkit, lebih kuat, lebih bersatu. Karena kedaulatan tidak untuk dijual.”
Pidato itu tersebar luas, dipotong-potong ke media sosial, diunggah ke ribuan akun, dan diulang-ulang oleh rakyat di jalan. Malam itu, republik bukan sekadar selamat—tapi seperti menemukan alasan baru untuk berjuang.
Dan di suatu tempat jauh di luar negeri, Gema menonton cuplikan itu melalui layar kaca sebuah hotel asing. Senyumnya samar, penuh misteri. Ia tahu pertempuran belum usai.
Sementara itu Presiden Pradipa berdiri sendiri di ruang kerjanya, menatap peta dunia yang terbentang di meja. Ia menyadari bahwa babak baru telah terbuka: perang melawan kekuatan asing yang ingin menaklukkan negerinya.
Tekadnya bulat: Tak sudi menyerah kepada siapapun yang ingin menghancurkan negerinya.
BABAK I TAMAT
Bersambung ke Babak II: BAYANG-BAYANG IMPERIUM
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api di Ujung Agustus (Seri 33 ) – Pengkhianat Didalam Istana
Api di Ujung Agustus (32) – Hari Cahaya Merah
Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata
Related Posts
Buzzer Tikus Mewarnai Kabinet Merah Putih
Berstatus Bebas Bersyarat, Ahli Hukum: Terhukum Tidak Dapat Menjadi Calon Perangkat Desa
Purbaya Berdaya Menggempur Tipu Daya dan Politik Sandera
Tokoh Yahudi desak PBB dan para pemimpin dunia untuk menjatuhkan sanksi kepada Israel atas tindakannya di Gaza
Muhammad Chirzin: Predator
Dana Pemerintah Mengendap Rp234 Triliun, Mintarsih: Kejiwaan Masyarakat Pasti Terdampak
Tawaran Tinbergen Rule LBP Mental
Revolusi Sistem Keuangan Presiden Prabowo
Pancasila Sebagai Sumber Moral dan Spiritual Bangsa
Orang Berstatus Bebas Bersyarat Tak Boleh Jadi Calon Perangkat Desa, Ini Penjelasan Hukumnya
No Responses