JAKARTA – Wacana penetapan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional kembali mengemuka dan memicu perdebatan publik. Bagi sebagian pihak, Soeharto adalah Bapak Pembangunan yang membawa Indonesia menuju stabilitas dan kemajuan ekonomi. Namun, bagi pihak lain, nama Soeharto masih dikaitkan dengan otoritarianisme dan praktik KKN yang melahirkan Reformasi 1998.
Namun, politisi senior dan anggota Dewan Pakar Partai Golkar Ridwan Hisyam memandang bahwa sudah saatnya bangsa Indonesia menilai sosok Soeharto secara objektif dan proporsional.
“Saya ini aktivis 77–78, salah satu mahasiswa yang dulu juga meminta Pak Harto mundur. Tapi setelah saya masuk ke sistem dan menjadi anggota DPR, saya melihat dari dalam: negara ini banyak terbantu karena kepemimpinan beliau yang tegas,” ujar Ridwan saat diwawancarai, Sabtu (26/10/2025).
Ridwan menilai bahwa setelah lebih dari dua dekade reformasi, Indonesia justru menghadapi banyak tantangan baru dalam tata kelola pemerintahan dan ekonomi.
“Sudah 30 tahun reformasi berjalan, tapi justru makin banyak masalah. Saat zaman Pak Harto, ada pembangunan nyata, stabilitas, dan kedisiplinan,” lanjutnya.
Menurutnya, jasa besar Soeharto terhadap pembangunan nasional tidak bisa dihapus hanya karena kontroversi masa lalu. Ia menyebut, banyak kebijakan Soeharto yang menjadi fondasi ekonomi dan ketahanan pangan bangsa hingga kini.
“Lihat dari sisi obyektif. Program pertanian, infrastruktur, dan stabilitas politik zaman Pak Harto menjadi pondasi kuat. Banyak rakyat yang merasakan hasilnya,” jelasnya.
Selain itu, Ridwan juga menepis anggapan bahwa TAP MPR No. XI/MPR/1998 masih menghalangi pengusulan gelar tersebut. Ia menegaskan bahwa aturan itu telah dicabut pada 2024, sehingga tidak ada lagi dasar hukum yang melarang pengajuan Soeharto sebagai pahlawan nasional.
“Tidak ada satu pun keputusan pengadilan yang menyatakan Soeharto bersalah atau korupsi. SKP3 sudah keluar tahun 2006. Jadi, beliau secara hukum bersih,” tegasnya.
Ridwan menutup dengan menyerukan agar bangsa Indonesia tidak terus terjebak pada luka masa lalu. Menurutnya, menilai Soeharto sebagai pahlawan nasional bukan berarti melupakan sejarah, melainkan mengakui jasa besar seorang pemimpin dalam membangun negeri.
“Kita perlu berdamai dengan sejarah. Pahlawan bukan berarti tanpa salah, tapi seseorang yang jasanya besar bagi bangsa,” pungkasnya.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Santri Bergerak, Indonesia Berbenah: Makna Hari Santri di Era Modern

Puisi Tazbir: Sumpah Pemuda

Pembangunan Pabrik PT Japfa Comfeed Indonesia, Diduga Ada Transaksi Penjualan Tanah Hitam, Terancam Dilaporkan ke Polda Jatim

Masjid Al-Aqsa Terancam Roboh akibat Penggalian Bawah Tanah Israel

Komunitas Muslim Berutang Budi Kepada Zohran Mamdani

Edan! Sekdes Terpilih Desa Tirak Ternyata Masih Nyabu

“Bau Amis KKN di Balik Seleksi Perangkat Desa Tirak: Ketika Jabatan Dibeli, Hukum Dikhianati”

Pejabat “P” dan “R” di Tengah Polemik Proyek Whoosh: Aroma Korupsi Besar di Balik Pemilihan China

Miss Invoicing 1.000 Triliun di Era Jokowi: Negara Rugi Lebih 100 Triliun Pajak Tak Masuk Kas

Masyarakat Tolak Hasil Seleksi Perangkat Desa Tirak, Minta Proses Diulang: Terpidana Narkoba Lolos Jadi Sekdes dengan Nilai 90



No Responses