JAKARTA – Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung yang dikenal dengan merk “Whoosh” kini menjadi sorotan tajam karena bukan hanya soal pembengkakan biaya dan utang besar, tetapi juga munculnya dugaan aliran dana ke pejabat Indonesia berinisial “P” dan “R” saat pemilihan kontraktor beralih dari Jepang ke China. Isu ini memantik pertanyaan serius mengenai integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam proyek infrastruktur strategis nasional.
Fakta Proyek: Jepang sudah di depan, lalu “beralih” ke China
Studi kelayakan proyek sudah dilakukan oleh konsorsium Jepang sejak era Joko Widodo (periode pertama).
Namun akhirnya pemerintah memutuskan untuk memilih mitra dari China dan konsorsium Chinese firm memimpin konstruksi (melalui PT Kereta Cepat Indonesia China / KCIC) dengan pembiayaan dominan dari China Development Bank.
Biaya awal proyek dilaporkan sekitar US$ 6 miliar, kemudian membengkak menjadi sekitar US$ 7,3 miliar atau lebih akibat pembengkakan, land acquisition, dan lainnya.
Kelemahan kontrak dan utang China menimbulkan kekhawatiran akan beban keuangan jangka panjang bagi Indonesia.
Dugaan Aliran Dana ke Pejabat “P” dan “R”
Menurut informasi yang beredar di lingkaran media dan sumber internal di Tiongkok (China) dalam persidangan terkait proyek ini, disebutkan bahwa ada pejabat Indonesia dengan inisial “P” dan “R” yang menerima aliran dana dalam rangka negosiasi pemindahan proyek ke China.
Meskipun belum ada nama resmi yang diumumkan dalam publik Indonesia, tetapi langkah penyelidikan ini menimbulkan beberapa implikasi penting:
Pemilihan China sebagai mitra padahal Jepang menawarkan paket yang lebih murah dan sudah siap secara FS (studi kelayakan). Hal ini menimbulkan pertanyaan kuat kenapa keputusan beralih.
Aliran dana ke pejabat menunjukkan potensi kolusi dan nepotisme dalam peralihan keputusan strategis tersebut.
Bila terbukti, maka ini bukan hanya soal pembengkakan biaya namun korupsi struktural dalam proyek infrastruktur yang dibiayai luar negeri.
Mengapa “beralih” ke China padahal Jepang lebih murah?
Sejumlah analis mencatat bahwa tawaran Jepang diklaim lebih favourable baik dalam harga maupun teknologi. Namun, Indonesia memilih China. Beberapa poin yang mencuat:
Jepang di awal sudah melakukan FS dan memiliki pengalaman teknologi tinggi kereta cepat.
China menawarkan paket pembiayaan besar dan penguasaan teknologi yang lebih cepat — tapi dengan risiko tinggi dari segi biaya serta utang.
Analis menyoroti adanya markup biaya dalam proyek Whoosh yang jauh lebih besar dibanding proyek sejenis di China sendiri. “Nilai proyek ini jauh lebih tinggi … dugaan markup sangat kuat” tulis Monitor Indonesia.
Monitor Indonesia
Dampak ke Negara dan Publik
Konsekuensi dari keputusan ini dan dugaan aliran dana terhadap pejabat adalah sangat besar:
Beban utang luar negeri yang membengkak, beban bunga dan risiko finansial ke negara.
Potensi kerugian publik — pembangunan infrastruktur strategis seharusnya memberikan manfaat maksimal, bukan menjadi ajang pemborosan dan aliran dana gelap.
Tumbuhnya persepsi bahwa proyek infrastruktur di Indonesia bisa “dijual” oleh segelintir kepentingan kuat — merusak kepercayaan publik.
Risiko hukum dan kerugian nasional: Menko Polhukam Mahfud MD memperingatkan bahwa kontrak Whoosh bisa mengandung pasal yang merugikan Indonesia dan potensi korupsi.
Jakarta Daily – Indonesia News Portal
Apa yang Harus Dilakukan?
Pengungkapan terbuka identitas pejabat “P” dan “R” yang disebut dalam persidangan di Tiongkok — agar publik tahu siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban.
Audit independen atas proses pemilihan mitra China versus Jepang, termasuk FS, nilai tawaran, dan kenapa terjadi perubahan.
Penyidikan ke dalam dugaan aliran dana, kolusi dan markup biaya – agar tidak hanya menjadi rumor publik.
Transparansi penuh oleh pemerintah terhadap kontrak proyek, utang, risiko dan biaya tersembunyi.
Peninjauan ulang proyek infrastruktur besar lain agar tidak terulang skema serupa.
Penutup
Proyek Whoosh memang bisa menjadi ikon kemajuan transportasi Indonesia di Asia Tenggara. Namun bila dibalik itu terdapat keputusan strategis yang tak transparan, aliran dana ke pejabat, dan beban keuangan negara yang besar, maka proyek tersebut justru bisa menjadi simbol kemunduran integritas publik.
Identitas pejabat “P” dan “R”, jika benar terlibat, harus segera diungkap agar hukum ditegakkan dan publik mendapatkan kejelasan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Edan! Sekdes Terpilih Desa Tirak Ternyata Masih Nyabu

“Bau Amis KKN di Balik Seleksi Perangkat Desa Tirak: Ketika Jabatan Dibeli, Hukum Dikhianati”

Miss Invoicing 1.000 Triliun di Era Jokowi: Negara Rugi Lebih 100 Triliun Pajak Tak Masuk Kas

Masyarakat Tolak Hasil Seleksi Perangkat Desa Tirak, Minta Proses Diulang: Terpidana Narkoba Lolos Jadi Sekdes dengan Nilai 90

Setelah Penantian Panjang, Timor-Leste Resmi Anggota Penuh ke-11 ASEAN

Selidiki Kasus Korupsi Ekspor POME, Kejagung Geledah Kantor Bea Cukai

Kejagung Periksa Nicke Widyawati dan Anak Buah Riza Chalid dalam Kasus Tata Kelola Minyak Mentah

Ridwan Hisyam: Soeharto Layak Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Dr. Anton Permana: “Soliditas TNI Masih Terjaga, Konflik Internal Itu Wajar Tapi Tak Mengancam”

Lebih Mudah Masuk Surga Daripada Masuk ASEAN



No Responses