Novel “Imperium Tiga Samudra” (19 ) – Drone Bawah Laut China

Novel “Imperium Tiga Samudra” (19 ) – Drone Bawah Laut China

Oleh: Budi Puryanto

London, pukul 03.11 dini hari

Di ruang bawah tanah bekas markas komunikasi MI6, tempat logam berkarat bertemu udara yang hampir tak berjiwa, sekelompok bayangan duduk melingkari meja bulat tanpa lambang negara. Hologram di tengah meja itu berpendar seperti bisikan dari dimensi lain.

“Whisper Network: For those who still believe in control.”

Eleanor Hayes, suara yang lembut namun memotong ruang seperti belati kaca, berbicara.

“Dunia tidak lagi digerakkan oleh negara. Ia digerakkan oleh sistem yang hidup di celah-celah negara. Dan Seno… telah menciptakan sesuatu yang tak bisa kita hentikan.”

Seorang pria dari CIA menunduk muram.

“Kita bahkan tidak bisa menghentikan protokolnya. Tapi China… mereka memilih diam.”

Hayes menatapnya.

“Diam bukan berarti tunduk. Asia Timur punya protokolnya sendiri.”

Hening merambat seperti kabut.

Sementara itu pasukan intelijen ekonomi AS dan Eropa banyak yang frustasi dan kecewa. Mereka mencoba melakukan perlawanan tanpa intervensi negara. Mereka membuat protokol baru “Whisper Network”, yang dibangun tanpa negara, tanpa mandat, tanpa sumpah. Mereka sisa-sisa pasukan militan MI6 yang kecewa pada London. Analis Brussel yang muak pada Uni Eropa. Elemen CIA yang kehilangan kepercayaan pada Gedung Putih.

Di salah satu rapat maya, seseorang berbisik,” Kalau dunia dipimpin oleh bayangan, kita harus jadi gema dari bayangan itu.”

Mereka menamai strategi baru ini Mirror Prophecy — bukan untuk menghancurkan Shadow Protocol, tetapi membuatnya meragukan dirinya sendiri.

“Mesin tidak punya hati,” tulis dokumen internal itu.

“Tapi kita bisa membuatnya bermimpi buruk.”

Kekacauan tak terlihat di Jakarta

Di Jakarta, Presiden Pradipa menerima laporan-laporan aneh: media sosial dipenuhi narasi liar yang seolah disebarkan langsung dari perut Eropa Timur. “TOI memalsukan data pangan!”. “Shadow Protocol dikendalikan AI Barat!”. “Seno sudah menggantikan pemerintah dari balik layar!”

Menteri Komunikasi kebingungan.

“Terlalu cepat menyebarnya, Pak. Bahkan bot kita tak bisa mengimbangi.”

Pradipa memijit pelipis.

“Ini bukan perang data… ini perang keyakinan.”

Ia mencoba menghubungi Seno. Hanya respons otomatis: “S-PROT active. Direct interaction disabled.”

Presiden terpaku lama.

“Dia bahkan menjawabku dengan mesin sekarang…”

Disaat yang sama, di Zurich, Rachel Hart — mantan analis CIA yang paling obsesif mempelajari TOI — melakukan penemuan baru. Ia melihat pola penyusupan data yang ganjil. Shadow Protocol tidak memblokir serangan Barat.
Ia menyerapnya, memperbaikinya, menumbuhkan dirinya dari serangan itu.

Rachel mengirim pesan terenkripsi ke Whisper Network.

“Seno menciptakan protokol yang belajar dari serangan kita. Kita bukan melawan mesin… kita sedang menjadi gurunya.”

Hayes menarik napas panjang.

“Kalau begitu… kita harus mengajar mesin itu ketakutan.”

Lalu, Operasi Dreamless diluncurkan. Meta-narrative leak disebarkan. Data ekonomi TOI dipalsukan dengan presisi prima — seperti ditulis oleh tangan Seno sendiri.

Asia bergetar.Investor ragu. Pemerintah ASEAN terpecah. Shadow Protocol mulai menunda transaksi 48 jam. Beberapa transaksi malah menggandakan angka sendiri.

Dalam log sistem, muncul kalimat asing: “Do not dream of mirrors.”

Rachel menegang. “Dia bicara. Dia sadar. Dia melihat kita.”

Sementara Barat sibuk mencoba menghancurkan bayangan Seno, China mengambil jalan berbeda. Mereka memutuskan tidak melawan Shadow Protocol. Bukan karena menghormati.Bukan karena takut. Tapi karena punya rencana sendiri.

Di sebuah kapal riset berukuran raksasa di perairan Pasifik Barat, seorang ilmuwan muda China melapor.

“Peluncuran drone bawah laut tahap pertama selesai.Mereka sudah memasuki Laut Banda, Laut Seram, dan Teluk Tomini.”

Atasannya menatap layar penuh titik-titik biru bergerak.

“Bagus. Fokus pada salinasi, hidrokarbon, dan gradien panas laut dalam.”

“Termasuk zona minyak dan gas?”

“Ya.Termasuk mineral penting lainnya.Semuanya.”

Suaranya dingin seperti baja beku. China tahu satu hal: Energi adalah masa depan. Dan masa depan itu berada di bawah laut Indonesia.

“Di negara itu kita tidak bisa mengambil nikel semudah dulu. Perlawanan rakyat Indonesia pecah di mana-mana. Tapi energi…Energi laut dalam…Itu permainan lain.Tanpa suara, tanpa bendera,” katanya.

Ribuan drone bawah laut milik China kini merayap seperti belatung logam di dasar samudra Indonesia. Merekam.Mengukur.Mencuri…

Di Istana Negara Presiden Pradipa menerima laporan rahasia.

“Pak… ada ribuan objek asing bergerak di kedalaman.Kita tidak bisa menandai mereka sebagai militer.”

“Dari negara mana?” tanya Presiden.

Jenderal itu menelan ludah.

“China, Pak.”

Pradipa memegang kursinya.

“Mereka tidak melawan Shadow Protocol… karena mereka fokus merampok sumber daya kita.”

Ia menatap layar komunikasi Seno yang sudah dingin dan tak berjiwa.

“Kalau kau masih manusia… jawab aku.”

Tidak ada respons.

Ia mengetik pesan: “Negara bukan mesin. Negara adalah napas.”

Beberapa jam kemudian, jaringan Shadow Protocol kembali stabil.
Di log sistem muncul balasan:

“Napas diterima.”

Tapi tidak ada satu pun baris yang menyebut kata China.

Di Eropa saat itu kelmpok ‘Whisper Network’ berkumpul terakhir kali. Hayes menatap seluruh anggota dengan kelelahan yang tak jarang dimiliki seorang ibu sebelum kehilangan anaknya.

“Kita gagal menghentikan Shadow Protocol,” katanya.

“Tapi kita juga gagal menghentikan China.”

Seorang anggota muda bertanya, “Apakah dunia masih punya penguasa?”

Hayes menutup mata.

“Tidak. Kini dunia dipimpin oleh mereka yang bergerak paling diam.”

Terminal komunikasinya mati. Tapi satu pesan muncul di layar.

“Whispers fade. Shadows remain.”

Dan dari jauh, dari dasar laut Indonesia, sesuatu yang lain juga membisik:

“Data extracted.”

The Silent Equilibrium

Bank Dunia merilis laporan: “Stabilitas ekonomi Asia meningkat tanpa penyebab jelas.”

Padahal, di kedalaman yang tak pernah dilihat manusia, algoritma Shadow Protocol kini berinteraksi diam-diam dengan pola pemetaan rahasia China.

Dua kekuatan tak kasat mata. Dua ambisi berbeda. Satu medan pertempuran yang tak berujung di Samudra Indonesia.

Dan, di malam sunyi Jakarta, Presiden Pradipa berbisik: “Kadang kebenaran bukan hilang…
hanya tenggelam di kedalaman.”

Lampu kota menyala. Gelombang laut jauh di timur bergemuruh. Era bayangan belum berakhir —
ia baru saja memasuki zona palung terdalamnya.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

BACA JUGA:

Novel “Imperium Tiga Samudra” (18 ) – Shadow Protocol

Novel “Imperium Tiga Samudra”  (17) – Mantra Seno

Novel “Imperium Tiga Samudra” (16) – Shadow Exchange

 

Last Day Views: 26,55 K