Oleh Agus Wahid
Penulis: analis politik dan pembangunan
Sebuah keterpanggilan empatif. Itulah reaksi berbagai elemen masyarakat saat menjumpai bencana alam. Tragedi yang menerjang Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, pun terjadi gerakan empatif kemanusiaan: menolong para korban yang lagi nestapa. Di antara mereka tergerak memberikan bantuan secara personal ataupun kolektif. Juga, sejumlah lembaga organisasi sosial-keagamaan dan lembaga-lembaga lainnya. Bantuannya dalam bentuk dana, pangan ataupun sandang, meski bukan baru. Jumlahnya pun variatif. Yang perlu kita catat, empati itu sungguh konstruktif.
Belum lama ini, anak muda profesional (Irwandy) berhasil mengajak sejumlah sahabatnya. Terkumpul nilai sekitar Rp 10 miliar. Maasya Allaah. Tapi, sungguh aneh ketika kepedulian Irwandy disikapi nyinyir oleh salah seorang anggota DPR RI. Disebutnya, “angka itu tak seberapa jika dibandingkan bantuan pemerintah yang bernilai triliunan rupiah”.
Aneh juga reaksi anggota DPR itu. Tak semestinya, anggota DPR itu bersikap nyinyir. Memang, bantuan Irwandy Cs tak seberapa, jika diperbandingkan nilai yang siap dikucurkan Pemerintah. Namun, sikap nyinyir itu sungguh tidak proporsional. Harusnya acung jempol. Karena, di tengah saudara-saudara kita yang sedang menjerit, masih ada yang ikhlas dan tergerak membantu. Nilainya pun – jika dibandingkan non pemerintah – tergolong besar.
Harus kita garis-bawahi, gerakan Irwandy tergolong besar maknanya. Dan tak bisa dipungkiri, itulah pengaruh Irwandy, sosok muda yang magnetik. Begitu dirinya mengajak, banyak elemen tergerak untuk mengikuti ajakannya. Sebuah pertanyaan, apakah anggota DPR tersebut melakukan aksi nyata seperti yang dilakukan Irwandy? Belum ada konfirmasi yang jelas.
Kini dan hal ini jauh lebih krusial untuk dipertanyakan lebih spesifik, tampakkah bantuan empatif itu dari sejumlah korporat yang jelas-jelas merupakan biang-kerok terjadinya alam yang mengamuk itu? Di mana wajah-wajah Salim Group, Sinas Mas Group, bahkan Luhut Binsar Panjaitan selaku pemilik tambang di sana?
Harusnya, mereka tunjukkan sikap proaktif dan menjadi barikade terdepan untuk melakukan donasi terbesar terhadap para korban bencana alam itu. Harusnya, mereka jauh lebih besar perhatiannya dalam bentuk donasi atau lainnya dibanding Pemerintah, apalagi masyarakat biasa? Sebab, selama ini mereka penikmat terbesar dari kekayaan alam selama ini yang dikeruknya. Konsekuensinya, sebagai perusak ekosistem, mereka harusnya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab. Bukan diam, apalagi sembunyi dan menyelamatkan diri di Singapura atau lainnya, at least di Jakarta.
Dengan mencermati ketiadaan empati konkret dari para pemilik korporat itu, maka masyarakat yang menjadi korban tak pada tempatnya hanya menunggu uluran tangan masyarakat lain dan Pemerintah Pusat. Para korban berhak secara sosiologis dan hukum untuk menuntut ganti rugi material dan imaterial kepada para korporat.
Mereka harus berani menunjukkan class action di hadapan publik dan negara, menunut secara terbuka atas kerugian material dan imaterial. Tindakan ini merupakan langkah hukum yang proporsional. Selanjutnya, mereka juga perlu pasang police line dan bendera setengah tiang terhadap wilayah yang dikuasai korporat itu. Jika para korporat memperhadapkan para cecunguk yang berseragam militer atau polisi, maka rakyat harus kerahkan kekuatan dalam jumlah ribuan orang.
Perlawanan massa – meski secara moral – akan menciutkan nyali para “centeng” itu, apalagi disiarkan secara massif di media sosial. Akan menggema, tidak hanya sebatas negeri ini. Namun, masyarakat pun harus siap jaga-jaga. Jika para “centeng” menggunakan kekerasan, apa boleh buat, masyarakat juga perlu melakukan tindakan perimbangan kekuatan, meski dengan senjata primitif: ketapel, misalnya. Kekuatan ribuan massa bersenjata primitif akan mudah meluluh-lantahkan barikade kekuatan yang bersenjata pistol ataupun tank sekalipun. Yakinlah…
Jika bentrol sosial itu terjadi, pasti dan pasti, para bandit (penguasa lingkungan) tak akan berani mengerahkan pekerjanya untuk menjalankan tugasnya, terkait olah pertanian ataupun tambang. Para pekerja pun tak berani memasuki wilayah itu. Berarti, ribuan ha akan kosong, sepi dari kegiatan bisnis. Para bandit itu akan gigit jari. Akan muncul kesadaran tentang kerugian material karena tiada penghasilan dari lahan yang telah dikuasai selama ini. Satu hal yang lebih bermakna, pemandangan tanah kosong itu perlu diset up sebagai tanah negara dan dibagikan hak kelolanya kepada rakyat. Akan segera hadir perkebunan rakyat atau milik rakyat. Inilah timing yang tepat untuk mengakuisisi lahan yang selama ini dikuasai para bandit lingkungan secara melawan hukum.
Dan yang terakhir, mereka (para korban) – secara administratif – perlu menyusun tuntutan material dan imaterial yang dikompilasikan secara prosedural hukum. Masing-masing bisa menyampaikan tuntutannya. Semuanya tercatat. Dan itulah yang perlu ditindaklanjuti ke ranah hukum. Sebagai kepastiannya, mereka melarang kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang dikuasainya sepanjang tuntutannya belum diputuskan pengadilan dan inkrag.
Perlu kita catat, sikap tegas terhadap biang kerok korporat itu untuk menyadari adanya hak dan kewajibannya sebagai pengelola sumber daya alam. Bukan hanya menikmati hasilnya (profit taking) semata, tapi juga harus bertanggung jawab atas risiko bisnis yang dihadapi. Inilah prinsip managemen yang harus diterapkan. Karena itu, Pemerintah juga perlu menguatkan prinsip managemen. Tak selayaknya menjadi pembela atau penopang para biang kerok itu. Sebab, tindakan Pemerintah, terutama terkait dana, sama artinya bersumber dari rakyat.
Mengapa rakyat harus ikut menanggung atas kejahatan yang dikakukan para korporat itu? Lucu. Logika inilah yang kini harus direkonstruksi dalam prinsip managemen administrasi publik yang tepat atau benar.
The last but not least, rakyat yang menjadi korban keganasan alam itu sudah saatnya memikirkan dengan serius: seperti apa hukuman badan yang tepat bagi para penjahat lingkungan. Jika korporat tetap abai atas kejahatan lingkungannya, maka tidaklah berlebihan jika rakyat menerapkan gerakan senyap. Kalau perlu, terbang ke Jakarta atau Singapura, tempat para bandit bersembunyi.
Pengejaran itu untuk menciptakan ketidaknyamanan hidup para bandit lingkungan itu. Mereka merasa selalu dibayang-bayangi seseorang yang siap melayangkan nyawanya. Dan inilah cara elegan untuk mengindahkan hak hidup masing-masing umat manusia. Tak ada yang boleh angkuh dan kebal hukum hanya karena mendapatkan privilege dan lisensi pengelolaan hutan serta dekat dengan kuasaan.
Untuk memaksakan sistem baru penindakan hukum ala “the dark justice” itu, maka negara harus memberikan payung hukum, setidaknya toleransi kepada sapapun dari komponen masyarakat yang menuntut keadilan itu. Lampu hijau pemerintah ini akan berandil besar dalam upaya maksimal bagaimana menciptakan sistem yang menghargai alam semesta.
Dan inilah – jika ditarik lebih jauh ke konstitusi kita – akan menumbuhkan proses politik kesejahteraan bagi rakyat. Maksimalisasi (pemanfaatan sumber daya alam) sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945) akan berjalan efektif, karena negara memberikan lisensi atau perlindungan terhadap komponen rakyat yang bersama-sama menegakkan hukum dan keadilan di arena sumber daya alam itu.
Kini saatnya, bencana yang menerjang Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat yang harusnya tercatat sebagai bencana nasional dijadikan momentum untuk merekonstruksi sistem hukum yang prolingkungan dan hak-hak dasar umat manusia terkait alam ini.
Akhirul kalam, ketika korporat diminta sebagai penanggung utama atas bencana alam yang melanda, maka rakyat bahkan pemerintah terkurangi beban berat. Implikasinya, segudang program Pemerintah yang telah diset up tidak terganggu atau tersendat akibat kondisi force majeur itu. Kiranya, cukup siginifkan. Itulah makna krusial dari political will yang on the track dan berkeadilan. Proporsional.
Jakarta, 09 Desember 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

DPR Sentil Pemerintah: “Bantuan Triliunan Jangan Kalah Viral dari Donasi Swasta”

Jakarta Terbakar: Tragedi Ledakan dan Kebakaran di Gedung Kantor Kemayoran, 22 Meninggal

Debat Panas Soal “Scan Ijazah Asli”: Pengacara RRT Soroti Dugaan Pembohongan Publik dan Disparitas Penegakan Hukum

Untuk Memperkuat Ketahanan Ekonomi Masyarakat, Baznas Sumenep Bantu Modal Usaha UMKM Masalembu

Forensik Digital, Transparansi Publik, dan Ujian Integritas Ilmu

Pemburu Diburu Buruan

Banjir Besar: Alarm Krisis Tata Kelola Nasional

Eksepsi Jokowi Ditolak, Kuasa Hukum Penggugat Akan Hadirkan Roy Suryo cs

Elegi NKRI

Sarang Judi Sabung Ayam di Sugihwaras Merasa Kebal Hukum, Polsek Bagor dan Polres Nganjuk Harus Bertindak Tegas



No Responses