JAKARTA – Sudah lebih satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Masih adanya menteri-menteri kabinet Presiden ke-7 Joko Widodo dalam pemerintahan membuat publik mempertanyakan sikap Prabowo.
Bagaimana tidak? Banyak kritik publik diarahkan kepada menteri-menteri dari kabinet Jokowi. Namun hingga kini, mereka masih dipertahankan.
Apa Prabowo akan tetap menjalankan Agenda Perubahan? Apa dampaknya jika agenda tersebut dipertahankan?
Podcast Madilog Forum Keadilan berikut ini mengupas pertanyaan-pertanyaan tersebut bersama narasumber terpercaya. Host: Indra J Piliang – Sejarawan. Narasumber: Airlangga Pribadi Kusman – Akademisi Universitas Airlangga
Airlangga Pribadi: Prabowo Pilih Elit Atau Pilih Rakyat
Ketegangan politik di puncak kekuasaan Indonesia hari ini bukan sekadar tarik-menarik kepentingan biasa. Dalam percakapan panjang bersama akademisi Airlangga Pribadi Kusman, PhD, dosen Universitas Airlangga Surabaya dari Murdoch University, muncul satu pertanyaan mendasar yang kini bergema di ruang publik: Apakah Presiden Prabowo Subianto akan memilih elit, atau memilih rakyat?
Airlangga memaparkan situasi dengan lugas. Menurutnya, apa yang tengah terjadi adalah pertarungan di dalam rahang kekuasaan antara dua kekuatan besar: legasi Presiden Joko Widodo dan arah baru yang (seharusnya) ditentukan oleh Presiden Prabowo. Namun alih-alih transisi yang mulus, justru terjadi benturan kepentingan, tumpang tindih otoritas, hingga kelambanan negara dalam merespons krisis—mulai dari bencana Sumatera, kegaduhan Morowali, hingga gejolak politik Agustus.
“Yang akan terbunuh nanti bukan hanya Prabowo, tapi republik,” tegas Airlangga. “Agenda keberlanjutan inilah yang membunuh Prabowo.”
Warisan lama yang menjerat kekuasaan baru
Airlangga melihat bahwa Prabowo telah mengambil jalan politik “melanjutkan” pemerintahan Jokowi tanpa menghitung konsekuensi—baik konsekuensi politik maupun konsekuensi ekologis.
Hal paling berbahaya, menurutnya, adalah meneruskan legasi ekonomi ekstraktif yang memperluas pertambangan, mengikis fungsi ekologis, dan meminggirkan masyarakat sipil. Justru di sinilah akar dari banyak bencana yang hari ini terjadi.
“Ini bukan bencana alam, tapi bencana kekuasaan,” kata Airlangga. “Akumulasi kapital yang begitu masif melampaui daya tahan bumi.”
Ia menyebut contoh konkret: izin korporasi yang mencapai lebih dari 1.900 konsesi di hutan tanaman industri, yang membebani lebih dari 2,5 juta hektar kawasan. Daya regenerasi alam runtuh, dan rakyat menanggung akibatnya.
Dari sinilah ia menyebut rezim sebelumnya menjelma menjadi corak kekuasaan Bonapartis—kekuasaan yang tunduk pada elit, meminggirkan institusi, membatasi ruang kontrol publik, dan memutihkan pelanggaran korporasi lewat produk hukum seperti Omnibus Law.
Prabowo dan lingkaran kekuasaan yang membebaninya
Ketika ditanya apakah pertarungan Prabowo dan Jokowi adalah pertarungan “saling bunuh”, Airlangga menjawab hati-hati:
“Belum. Tapi ketegangan itu nyata. Dan Prabowo masuk ke kekuasaan dengan kontribusi politik Jokowi yang sangat besar.”
Masalahnya, di dalam lingkaran kekuasaan Prabowo sendiri muncul barrier—hambatan dari mereka yang “diwariskan” dari rezim sebelumnya dan masih memiliki akses kendali.
Beberapa kementerian strategis, kata Airlangga, tampak tidak sigap menjalankan perintah Presiden. Ia menunjuk area kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan, hingga sosial sebagai sektor-sektor yang terbebani persoalan lama sekaligus tidak menunjukkan langkah tegas saat bencana melanda.
“Saya menduga, kontrol terhadap kementerian-kementerian itu belum sepenuhnya di tangan Prabowo.”
Akibatnya, negara bergerak lambat bahkan dalam situasi krisis besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Respons kementerian minim, dan Presiden tampak berdiri sendirian.
Ada Sosok ‘Lebih dari Partai’ di Tubuh Jokowi
Dalam salah satu bagian paling krusial wawancara, Airlangga menyebut adanya “sosok lebih dari partai” dalam tubuh Jokowi—figur dengan pengaruh kuat yang membentuk konfigurasi kekuasaan era sebelumnya.
Meski tidak menyebut nama, gurat analisanya jelas: ada aktor yang mengendalikan jalannya kebijakan, mengatur konsesi, dan menjaga kesinambungan kepentingan oligarki.
Dan itu kini menjadi beban Prabowo.
Republik, bukan oligarki: Kembali ke Tan Malaka dan cita-cita awal
Airlangga berulang kali mengembalikan diskusi pada fondasi republik. Ia mengutip Tan Malaka dan cita-cita pembentukan Republik Indonesia sebagai antitesis dari kolonialisme—negara yang melindungi rakyat, tanah, dan ekosistem; bukan negara yang memfasilitasi akumulasi kapital segelintir golongan.
“WR Supratman menulis ‘Selamatlah rakyatnya, selamatlah tanahnya…’ itu terinspirasi Tan Malaka,” katanya.
“Paradigma republik adalah keselamatan rakyat, bukan pertumbuhan untuk oligarki.”
Baginya, republik hari ini sedang menjauh dari ide tersebut.
Rezim Gemuk dan Kelambanan Negara
Airlangga menyebut struktur pemerintahan saat ini sebagai rezim gemuk—penuh jabatan tidak penting yang lahir bukan dari kebutuhan, melainkan konsesi politik.
Konsekuensinya: penanganan bencana lamban, koordinasi buruk, kementerian tidak adaptif, dan mereka yang seharusnya bertanggung jawab tampak “menghilang”.
Yang paling fatal, menurutnya, adalah bagaimana negara memperlakukan mahasiswa dalam peristiwa Agustus.
“1500 orang ditahan. Untuk apa? Mereka bukan membuat kerusuhan. Mereka memberikan early warning system kepada negara.”
Bagi Airlangga, tindakan itu inkonstitusional dan menunjukkan bahwa kanal politik rakyat telah tersumbat.
Dilema Prabowo: Memutus aliansi atau tenggelam bersamanya
Pada penghujung diskusi, Airlangga menggarisbawahi bahwa warisan lama yang ingin diteruskan Prabowo justru menjadi “baril politik”—beban yang dapat meledakkan legitimasi pemerintahannya sendiri.
“Pertanyaannya, apakah Prabowo cukup decisif? Apakah ia berani memutus aliansi yang justru menghambat kepemimpinannya?” kata Airlangga.
Hingga kini, Airlangga mengaku masih “menunggu”—karena performa Prabowo tampak jauh lebih kuat dibanding kemampuannya mengeksekusi keputusan tegas.
Ia memberi tenggat moral.
“Dua minggu sejak bencana itu cukup untuk menilai siapa yang tidak mampu bekerja. Presiden bisa melihat siapa yang lamban, siapa yang bingung, dan siapa yang tidak tahu harus melakukan apa,” ungkap Airlangga.
Pada akhirnya, kata Airlangga, bangsa ini menghadapi pertaruhan eksistensial. Bukan hanya soal kekuasaan, tapi soal keselamatan rakyat dan bumi Indonesia.
Dan di titik inilah pertanyaan besar itu kembali berdiri:
Prabowo akan memilih elit, atau memilih rakyat?
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (13): Membantu Bosnia: Diplomasi Moral dan Dukungan Senjata untuk Muslim Eropa

Bencana Sumatera dan Kegagalan Tata Kelola Kawasan

Kekayaan Keragaman Hayati Tercabut Dari Bumi Sumatra

Banjir Bandang Sumatera: Pembantaian Massif (Saatnya Rakyat Menjadi “Algojo”)

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (11): Pengakuan Dunia, Diplomasi Damai, dan Kiprah Internasional Indonesia di Era Soeharto”

Monumen

Kami Bersama Dokter Tifa

Saatnya Menegaskan Arah, Membongkar Simpang Siur Kekuasaan SDA

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (10): Warisan Stabilitas Makro dan Fondasi Ekonomi Jangka Panjang

Daniel M Rosyid: Bencana Dan Riba Politik



No Responses