JAKARTA – Di tengah rentetan tragedi—mulai dari kebakaran besar hingga bencana alam—isu mengenai distribusi bantuan dan pengelolaan narasi publik kembali menjadi sorotan. Dalam sebuah rapat antara Komisi I DPR RI dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Komdigi), anggota DPR Endipat Wijaya melontarkan kritik keras terhadap pemerintah terkait strategi komunikasi penyaluran bantuan negara.
Pernyataan Endipat mencuat setelah muncul fenomena donasi individu dan kelompok swasta yang ramai diperbincangkan di media sosial. Beberapa di antaranya viral karena jumlahnya yang mencapai miliaran rupiah. Sementara itu, bantuan pemerintah yang nilainya jauh lebih besar—bahkan mencapai triliunan rupiah—dinilai kurang menonjol di ruang publik.
“Orang-orang cuma nyumbang Rp 10 miliar, negara sudah triliunan ke Aceh itu, bu,” tegas Endipat dalam rapat yang berlangsung tegang. Ia menyoroti bahwa pemerintah seharusnya tidak kalah dalam membangun narasi positif, terutama ketika sumber daya negara untuk bantuan jauh lebih besar dan lebih terstruktur. Baginya, komunikasi pemerintah seharusnya mampu menunjukkan skala dan dampak bantuan sehingga publik memperoleh gambaran yang lebih seimbang.
Kritik tersebut memicu reaksi luas. Di media sosial, komentar masyarakat terpecah. Sebagian netizen setuju bahwa pemerintah sering kali kalah cepat dan kalah menarik dibandingkan narasi donasi viral yang mudah menyebar. Banyak yang menilai bahwa Kementerian Kominfo seharusnya memperkuat strategi komunikasi publik, bukan hanya sekadar responsif terhadap isu-isu yang viral, tetapi juga mampu mengangkat kerja pemerintah secara konsisten dan transparan.
Namun, kelompok lain mengingatkan bahwa perdebatan seharusnya tidak berfokus pada siapa yang lebih “viral”, melainkan pada akuntabilitas dan efektivitas bantuan. Menurut mereka, pemerintah tidak perlu berlomba dengan donatur individu dalam hal perhatian publik, tetapi berkewajiban memastikan bahwa bantuan benar-benar tepat sasaran dan dikelola secara profesional. Banyak komentar menegaskan bahwa donasi swasta menjadi viral justru karena publik menganggap tindakan itu spontan, tulus, dan menyentuh sisi emosional masyarakat.
Konteks politik dan sosial menambah rumit situasi. Isu donasi viral sering berkembang di tengah krisis, di mana masyarakat sensitif terhadap transparansi anggaran dan efektivitas birokrasi. Di sisi lain, pemerintah memiliki tantangan besar dalam mengomunikasikan program bantuan yang jumlahnya besar tetapi prosesnya formal, berlapis regulasi, dan tidak selalu mudah divisualisasikan di media sosial.
Endipat menutup kritiknya dengan menegaskan perlunya pemerintah memperbaiki sistem komunikasi informasi, terutama dalam situasi krisis. Menurutnya, publik harus mampu melihat peran negara secara proporsional, bukan hanya fakta yang muncul di permukaan media sosial.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa dalam era digital, narasi sering kali sama pentingnya dengan kebijakan, dan pemerintah perlu menyesuaikan diri dengan dinamika baru tersebut. Pada akhirnya, publik bukan hanya ingin melihat angka bantuan, tetapi juga ingin merasakan hadirnya negara pada saat paling dibutuhkan.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Istana Yang Kehilangan Pendengaran Negara

Jakarta Terbakar: Tragedi Ledakan dan Kebakaran di Gedung Kantor Kemayoran, 22 Meninggal

Debat Panas Soal “Scan Ijazah Asli”: Pengacara RRT Soroti Dugaan Pembohongan Publik dan Disparitas Penegakan Hukum

Untuk Memperkuat Ketahanan Ekonomi Masyarakat, Baznas Sumenep Bantu Modal Usaha UMKM Masalembu

Forensik Digital, Transparansi Publik, dan Ujian Integritas Ilmu

Pemburu Diburu Buruan

Banjir Besar: Alarm Krisis Tata Kelola Nasional

Bencana Itu: Siapa Penanggung Utama?

Eksepsi Jokowi Ditolak, Kuasa Hukum Penggugat Akan Hadirkan Roy Suryo cs

Elegi NKRI



No Responses