Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 3: Fatwa Ulang Tahun

Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 3:  Fatwa Ulang Tahun
Gambar ilustrasi Pondok Pesantren

Ditulis Ulang Oleh: Ir HM Djamil, MT

 

Paidi terbangun hanya beberapa menit menjelang berkumandangnya adzan subuh. Tidak biasanya demikian. Biasanya dia terbangun sedikitnya satu jam menjelang subuh. Padahal waktu tidur tidak kemalaman dan tubuhnya tidak terlalu capai.

Namun keterlambatan bangun pagi ini tetap disyukuri, dia juga tidak berusaha mencari sebab musabab mengapa dia sampai karipan (bangun kesiangan). Kelambatan bangun pagi ini tidak terlampau mengganggu pekerjaan wajibnya, yaitu bersih bersih pondok dan menyiapkan keperluan Pak Kyai.

Hanya saja kali ini dia tidak Sholat tahajud yang merupakan kebiasaan dan semacam kuwajiban baginya. Biasanya kalau dia kehilangan sholat tahajud karena awal tudur yang terlalu malam atau karena kecapaikan, dia menggatinya dengan sholat dhuha yang lebih dari 8 roka’at, namun kali ini dia tidak lakukan.

Seperti biasa setelah menyelesaikan semua pekerjaan wajibnya di pagi hari, wali Paidi tidak ke kamarnya tapi dia lebih senang cangkruk di dekat ndalem pak Kyai, menunggu barang kali ada orderan baru atau biasanya ketemu dan gojek (bercanda) dengan Gus Mursyid.

Baca seri sebelumnya: Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 2: Hafidz Hilang Apalannya

Sambil duduk dia melafat ayat-ayat Al Qur’an yang biasanya baru diajarkan oleh Gus Mursyid. Suaranya ‘mbrengengeng’ nadanya ndak jelas antara moco-pat dengan ndangdut. Kalau kita mendengarkan dengan serius sesungguhnya baca’an wali Paidi ini cukup bagus, mahroj dan tajuwidnya benar, hanya saja bila dikeraskan lagunya terasa tidak enak di telinga.

Di tengah wali Paidi bersenandung serius, tiba-tiba abah Kyai membuyarkan konsentrasi wali Paidi…. “Al… sekarang tambah lagi tugasmu… abah kemarin dikasih burung ini sama tamu, katanya ini burung Murai jantan… katanya harganya mahal…ini makanannya… nanti kamu tanya Gus Mursyid di mana beli makanan burung”, kata pak Kyai sambil menyerahkan sangkar burung dan satu blek makanan burung.

Mungkin mendengar namanya di sebut-sebut, gus Mursyid ikut nimbrung mendekat.

“Sih coba lihat makanannya,” tanya gus Mursyid sambil melongok isi blek tadi…

”Oh.. ini namanya pur hijau, kurang cocok untuk Murai, tapi ndak apa apa, nanti saya tanyakan teman, makanan apa yang cocok untuk Murai”.

“Sangkar ini gantungen di sana yang sudah ada centelannya, makanan ini nyimpennya di lemari jangan banyak tercecer nanti dimakan semut” kata gus Mursyid lagi.

Tugas tambahan baru dijalaninya dengan riang dan santai. Burung itu tiap pagi bernyanyi-nyanyi dan berteriak-teriak “manusia jahat… manusia jahat… ya Allah ampunilah daku… manusia jahat.. manusia jahat” begitu teriak burung ini yang oleh telinga manusia seperti kicau yang merdu.

Wali Paidi mendengar dan mengerti kicau burung itu, tapi dia tak bisa berbuat apa apa kecuali menuruti perintah Kyainya untuk selalu memberi makan dan minum burung itu.

Baca seri sebelumnyaSerial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 1: Menerima Lampu Petromaks

Di kala wali Paidi memberi tambahan makanan dan minuman di dekat sangkar burung kadang wali Paidi membisik kata “sabar ya… sabar ya… ini mungkin sudah takdir mu yang demikian”… kata-kata itu kadang diucapkan dengan bahasa manusia kadang diucapkan dalam bahasa burung yang oleh telinga awam terdengar seperti siulan.

Lebih dari seminggu wali Paidi selalu mendengar cacian dari Murai jantan itu. Di suatu pagi dhuha waktu ia akan memberi makan dan memandikan murai itu, di atas dahan pohon tak jauh darinya ada kicau burung yang sangat merdu terdengar telinga.

Nampaknya ada murai lepas dan sedang bersuka ria, tiba-tiba si Murai yang sedang dimandikan wali Paidi berteriak nyaring, “Aduh sayang… pergilah dengan merdeka… kalau memang Allah menjodohkan kita… pasti Allah akan membebaskan aku… dan pasti kita ketemu sayang…huk.. huk…,” nampaknya Murai jantan itu menangis dan berdzikir.

Walaupun lagu yang disuarakan burung adalah kesedihan, namun terdengar indah bagi telinga manusia, dan yang mendengarkannya pun tampak gembira.

Namun bagi wali Paidi yang dikaruniahi mengerti bahasa Murai, tangis burung itu sangat menyentuh hatinya maka dengan segera dia buka pintu sangkar itu dan dia biarkan si Murai jantan itu terbang bebas merdeka.

Tanpa terasa tangan wali Paidi melambai mengiringi Kemerdekaan sang Murai.

Peristiwa Pelepasan Murai jantan ini ternyata diamati oleh Pak Kyai, tidak tahu darimana datangnya tiba-tiba pundak wali Paidi dielus oleh pak Kyai sambil berkata…, “Ndak apa apa yang lepas biarkan lepas berarti itu bukan rejeki kita, sisa makanan burung itu berikan pada ayam, kalau burung mau, ayam pasti mau… yang penting tidak mubadzir.”.

Gus Mursyid nimbrung, dan beliau banyak cerita tentang makan burung termasuk kesukaan burung Murai.

Enak-enaknya mereka berdiskusi masalah burung dan makanannya, ada yang uluk salam…

”Eh, Gwan… janur gunung datang ndak tilpun dulu”… sapa pak Kyai pada Cina mualaf yang baru datang…

“Ada yang penting… perlu masuk ke dalam atau tetap disini?” sambung pak Kyai.

“Di sini saja pak Kyai… ndak penting-penting amat… Muraiku barusan lepas kabur, Murai betina… padahal sengaja tak beli untuk tak ternak, jarang lho ada yang jual Murai betina”…

“Murai jantanku juga barusan dilepas,” potong pak Kyai.

Baca seri sebelumnyaSerial Wali Paidi (Bagian 1, Seri 4), Episode: Mengislamkan Jin Gunung Arjuno

“Masalah burung ndak penting, sebenarnya saya mau tanya, anakku yang paling kecil, si Hwa itu kan mau ulang tahun ke tujuh belas, dia kan Muslimah, dia minta diulang tahuni cara Islam, aku kan belum ngerti caranya, Cuma tanya itu tok”… cerocos Hong Gwan.

“Oh.. kalau masalah ulang tahun itu urusannya anak muda, tanya sama mereka berdua saja” kata Kyai sambil menunjuk ke Gus Mursyid dan Paidi, “cuman itu saja apa ada yang lain ? kalau tidak ada tak tinggal masuk dulu yaa, kalau bicaranya perlu di dalam, ya pakai saja ruang tamu,” kata pak Kyai sambil menjabat tangan Hong Gwan dan ngeloyor masuk ndalem.

Entah dengan maksud ngetes atau memang belum tahu, gus Mursyid menunjuk Paidi sambil berkata, “Kang, tolong jelaskan sejelas-jelasnya… dan pak Gun, tolong penjelasannya dicatet”.

“Tidak usah dicatet … ndengerin saja gua sudah hafal,” jawab Hong Gwan agak sombong.

Sejak kecil gus Mursyid kalau panggil orang ini dengan pak Gun. Dulu sebelum masuk Islam gus Mursyid memanggilnya yuk Gun.

Baca seri sebelumnya: Serial Wali Paidi (Bagian 1, Seri 3), Episode: Jin Korek Api

Pak Hong Gwan adalah Pengusaha Mebel di pinggir jalan raya dekat pondok. Nama cinanya Hong Gwan dan nama naturalisasinya Gunawan, karena berteman lama dengan pak Kyai bahkan pak Kyai yang meng Islamkan nya, sampai sekarang Kyai tetap memanggilnya Gwan.

Paidi agak gelagepan juga menerima amanah untuk menjelaskan tata cara Ulang Tahun secara Islam, padahal sepengetahuannya tidak ada aturannya. Tapi karena ini juga termasuk dakwah, maka tiba saat tiba akal,

Paidi menjelaskan sekenanya… , “Yang penting jangan mubadzir”… seru Paidi.

“Mubadzir itu yang kaya apa yaa,” tanya pak Gun ingin memperjelas.

Baca seri sebelumnya: Serial Wali Paidi (Bagian 1, Seri 2), Episode: Melipat Bumi (Kesasar)

“Misalnya ada kue Tart, jangan dipakai lempar-lemparan, kue tart ya harus dimakan. Kalau tidak suka makan Tart, ya sebaiknya tidak usah pakai kue… Dan tidak usah nyumet lilin, kalau terpaksa harus ada lilin, yaa caranya dibalik.”

“Dibalik bagaimana,” potong pak Gun.

”Maksudnya jangan lilin dinyalakan, lantas ditiup. Tapi nyanyi ulang tahun lilin mati, baru setelah itu lilin dinyalakan. .. Artinya dari gelap terbitlah terang… Kemudian tidak usah cipika cipiki dari pacarnya,… haram itu…”.

“Belum punya pacar,” potong pak Gun lagi.

“Sebaiknya tamu laki-laki dan perempuan dipisah tempat duduknya…. Memotong kue kalau bisa dengan tangan kiri, memberikan ke tamu dengan tangan kanan. Dan yang penting harus dijelaskan kepara tamu agar makan-minum dengan tangan kanan…. Ini ulang tahun yang ke berapa sih”.

Baca seri sebelumnyaSerial Wali Paidi (Bagian 1, Seri 1) Episode: Pertemuan Tahunan

.”Tujuh belas” jawab pak Gun,

“Kalau bisa sebelum pesta ulang tahun, putrinya suruh membebaskan 17 satwa.“

“Maksudnya bagaimana,“ tanya pak Gun,

“Yaa melepaskan 17 ekor ikan Koi, atau melepaskan 17 ekor burung perkutut, atau apa saJa yang biasa dikurung bisa dibebaskan sejumlah ulang tahun ke berapa”.

“Oh… begitu… jadi bulan depan gua yang ulang tahun juga harus melepaskan 68 Koi ke sungai ?”.

“Ya ialah,” jawab Paidi enteng.

EDITOR: SETYANEGARA

Last Day Views: 26,55 K

4 Responses

  1. Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 4: Melompat Wuwung - Berita TerbaruFebruary 15, 2022 at 7:11 am

    […] Baca kisah sebelumnya: Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 3: Fatwa Ulang Tahun […]

  2. Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 5: Mantra Jin - Berita TerbaruFebruary 25, 2022 at 8:33 pm

    […] Serial Wali Paidi (Bagian 2): Sejarah Wali Paidi, Episode 3: Fatwa Ulang Tahun […]

  3. chat with girlsJanuary 5, 2025 at 12:47 am

    … [Trackback]

    […] Read More on to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/serial-wali-paidi-bagian-2-sejarah-wali-paidi-episode-3-fatwa-ulang-tahun/ […]

  4. Diyala InfoJanuary 24, 2025 at 3:57 pm

    … [Trackback]

    […] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/serial-wali-paidi-bagian-2-sejarah-wali-paidi-episode-3-fatwa-ulang-tahun/ […]

Leave a Reply