Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-5): Mudik Lebaran

Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-5): Mudik Lebaran
Dr Muhammad Najib, Duta Besar RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Tulisan berseri ini diambil dari Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.

Novel dengan judul: Bersujud di Atas Bara ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata, dengan latar belakang Perang Afghanistan tahun 1979- 1989. Pada saat itu, di tingkat global bertarung antara dua super power, Amerika dan sekutunya NATO didukung oleh sejumlah negara Muslim, bertempur melawan Uni Soviet yang didukung Pakta Warsawa. Sementara di medan laga terjadi pertarungan antara Rezim Boneka Afghanistan dukungan Uni Soviet melawan Mujahidin yang didukung oleh Amerika dan sekutunya.

Karya: Muhammad Najib
Dubes RI untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Ramadhan memasuki hari ke-23, saat ITM tempat Mujahid kuliah mengumumkan libur dua minggu. Berarti kuliah kembali aktif seminggu sesudah hari raya. Sebenarnya, liburan seperti ini yang sangat dinanti-nanti oleh Mujahid. Pertama, karena Ia bisa pulang kampung dan menjalankan Ramadhan bersama keluarga. Kedua, temantemannya yang bersekolah atau mondok di berbagai pesantren pasti juga pulang, sehingga Ia bisa bernostalgia sembari bertukar cerita dengan mereka. Tapi ada satu hal lagi, orang-orang di kampungnya memandang anakanak muda yang pergi merantau mencari ilmu sebagai orang-orang sukses dan memiliki masa depan yang cerah. Sehingga tak jarang menjadi incaran para gadis di kampung, atau orang tua yang sedang mencari menantu.

Namun, kali ini yang membuat Mujahid merasa sangat berat untuk mudik karena Ia sulit sekali menghindar Ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti; sudah semester berapa sekarang? Atau, kapan lulus kuliahnya? Kalau lulus nanti mau bekerja dimana? Akan tetapi, Mujahid tidak ingin mengecewakan ibunya. Hanya pada liburan seperti inilah seluruh keluarganya bisa berkumpul, berbuka puasa atau Sahur bersama, serta Tarawih bersama. Akhirnya, walau berat hati, Ia memutuskan untuk pulang.

“Assalamu’alaikum”, Mujahid masuk ke rumahnya. Ia menghampiri sang Ibu yang tengah sibuk melayani para pembeli di warung kecil milik mereka.

“Wa’alaikum salam”, jawab si Ibu sambil mencari-cari asal suara. Ia mengenal betul siapa pemilik suara itu. Ketika Ia melihat wajah putra sulungnya, wajah Bu Bisri kaget bercampur gembira. Mujahid lalu mengambil tangan Kanan ibunya, mencium punggung tangan itu sambil menundukkan kepalanya.

“Aduh, Mujahid, jam berapa sampai, kok Ibu nggak lihat?”, Bu Bisri menggosok-gosokan tangannya yang penuh tepung terigu ke kain sarung yang dikenakannya.

“Baru saja, Bu”, sahut Mujahid takzim. Bu Bisri tersenyum. Wajahnya begitu bahagia menatap Anaknya yang kian hari kian dewasa.

“Kamu istirahat dulu di kamar adikmu. Kamar depan mau Ibu bersihkan dulu”. Mujahid mengangguk.

“Tidak usah, Bu. Biar Mujahid di kamar depan saja. Abah mana, Bu?”.

“Abahmu masih di masjid”, jawab Bu Bisri lalu kembali ke warung melayani pembeli yang tengah menunggu.

Mujahid membawa barang-barangnya ke kamar depan yang sering dipakai untuk tamu-tamu yang bermalam di rumahnya. Ia meletakkan ranselnya, kemudian masuk kamar mandi. Setelah mengenakan baju koko, sarung, dan kopiah, Ia menemui Ibunya di warung.

“Saya ke masjid dulu, Bu!”, pamitnya, lalu meninggalkan rumah. Ibu-ibu yang sedang berbelanja tersenyum pada Bu Bisri.

“Wah senengnya, Jeng, punya Anak pinter, taat lagi”, komentar Bu Sarah.

“Alhamdulillah. Ini semua berkat kasih sayang Gusti Allah. Makanya kalau punya Anak, selain menyekolahkannya di tempat baik, jangan lupa juga selalu didoakan”, jawab Ibu Mujahid dengan nada bangga.

“Assalamu’alaikum!”, Mujahid masuk ke dalam Masjid.

“Wa’alaikum salam”, jawab seorang lelaki setengah baya yang tengah bersandar di salah satu tiang masjid, dikelilingi oleh anak anak yang sedang belajar mengaji. Lelaki itu tidak lain dari Pak Bisri, ayah Mujahid. Nama lengkapnya sebenarnya adalah Ahmad Bisri Afandi. Tapi orang kampung lebih suka memanggilnya dengan panggilan Pak Bisri. Mujahid langsung menghampirinya. Menjabat tangannya, lalu mencium punggung tangan itu dengan penuh hormat, dIsaksikan anak-anak yang secara spontan menghentikan ngajinya.

“Kapan sampai nak?”, tanya Pak Bisri.

“Barusan, Bah”, sahut Mujahid.

“Mujahid shalat dulu, Bah”, sambil mundur perlahan.

Cover Novel “Bersujud di Atas Bara” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store.

Pak Bisri mengangguk.

Mujahid meninggalkan mereka, pergi ke sudut masjid lalu shalat Sunnah Tahiyatul Masjid dua rakaat. Usai salam, Ia berdiri lagi untuk melaksanakan shalat Asar. Setelah shalat Mujahid mengambil sebuah Al-Quran, yang tersusun di rak yang digantung di dinding masjid dan memulai tilawahnya. Diam-diam sang Ayah memperhatikan dengan bangga perubahan Anak sulungnya itu.

“Alhamdulillah, dia semakin dewasa”, kata Pak Bisri dalam hati.

Dari masjid Mujahid kembali ke rumahnya. Ia berjalan melalui gardu yang letaknya di ujung perempatan jalan. Terlihat beberapa pemuda kampung teman lamanya, sedang nongkrong disana.

“Hei, kapan dateng?”, sapa salah seorang dengan nada gembira dan akrab. Mujahid mendekat, lalu menyalami mereka satu persatu. Tampak juga Irfan teman sebayanya yang kuliah di Jakarta. Irfan berambut gondrong, mengenakan t-shirt ketat dengan celana Jeans lengkap dengan rantai kecil di tali sabuknya.

“Apa kabar, ustaz?”, goda Irfan.

“Alhamdulillah”, jawab Mujahid pendek. Anak-anak itu sedang asyik bermain domino.

“Maaf, nih! Saya ke rumah dulu, ya!”, Mujahid meneruskan langkahnya.

“Tumben, biasanya dia suka nongkrong di sini kalau pulang kampung”, ucap Irfan dengan nada heran.

“Masih lelah kali, maklum baru dateng”, sahut yang lain tidak peduli.

“Tapi kalau melihat pakaiannya, nggak biasanya dia kayak ustaz begitu“, timpal Irfan.

“Sudah taubat kali”, sahut teman-temannya sambil tertawa cekikikan.

Usai berbuka puasa, Mujahid hanya duduk-duduk di serambi rumahnya. Menjelang waktu Isya, Ia mengambil kopiah lalu pergi ke masjid untuk shalat Isya dan Tarawih. Usai shalat Ia tidak langsung pulang, tapi Tadarusan dulu dengan beberapa jamaah masjid, sampai larut malam. Lewat tengah malam, barulah Mujahid pulang ke rumah. Hal ini terus dilakukannya beberapa malam berikutnya. Siang hari pun, Ia tidak pergi ke mana-mana. Ia membaca buku di kamarnya, atau membaca Al-Quran sampai berjam-jam.

BACA JUGA:

Masuk hari kelima, Ibunya mulai bertanya-tanya dalam hati.

“Sepeda motor adikmu sudah dibersihkan, barangkali kamu mau pakai”, pancing ibunya suatu pagi.

“Lagi malas, Bu”, jawab Mujahid singkat.

Biasanya kalau pulang Ia sering keluyuran menggunakan motor itu bersama teman-temannya. Dan kalau pergi, Ia selalu minta uang untuk beli bensin dan rokok. Tapi kali ini sudah masuk hari kelima di rumah, belum sekalipun Ia meminta uang. Ia juga tidak tampak merokok lagi. Mujahid sudah cukup puas dengan makanan yang disediakan Ibunya di rumah. Beberapa kawannya yang datang mengajaknya keluar juga ditolaknya. Melihat perubahan sikap Anaknya ini, si Ibu merasa senang. Tapi Ia juga merasa kasihan.

“Mungkin dia sudah mulai sadar betapa tidak mudah sebenarnya mencari uang”, gumam si Ibu dalam hati.

Usai shalat Tarawih dan mengaji di Masjid malam itu, seperti biasanya Mujahid langsung pulang ke rumah. Sampai di tikungan jalan yang agak sepi, tiba-tiba ia mendengar suara salam dari seorang wanita.

“Assalamu’alaikum”.

“Wa’alaikum salam”, sahut Mujahid datar.

Dari kegelapan muncul seorang gadis, dengan badan langsing dan rambut terurai.

“Apa kabar, Mas?”, tanya gadis itu sambil mendekat.

“Baik, Nur!”, jawab Mujahid.

Gadis itu Nur, Nur Jannah lengkapnya. Nur berharap Mujahid mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya. Ternyata hal itu tidak kunjung dilakukannya. Aneh, pikir Nur dalam hati.

“Kapan main ke rumah?”, tanya Nur Jannah dengan nada penuh harap.

“InsyaAllah, nanti, kapan-kapan”, jawab Mujahid kaku.

“Kok tidak seperti biasanya?”, tanya Nur tidak sabar.

“Maksudmu?”.

“Kalau pulang, Mas kan biasanya main ke rumah. Ngajak Aku jalan-jalan. Padahal Mas sudah lima hari kan, di rumah?”, suara Nur mulai terdengar kesal.

“Yah, besok Saya ke rumahmu”, jawab Mujahid pendek sambil meninggalkan Nur Jannah yang berdiri sendiri terpaku seolah tak percaya dengan apa yang dialaminya.

Keesokan harinya setelah berbuka puasa, Mujahid berkunjung ke rumah Nur Jannah. Yang membukakan pintu bukan Nur, tapi ibunya. Ibu Nur Jannah masih saudara sepupu ibunya, karena itu Mujahid mencium tangan perempuan itu.

“Silahkan masuk, Nak. Nur ada di belakang”, kata ibu

Nur yang sudah tahu hubungan Anaknya dengan Mujahid. Tak lama kemudian Nur keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa sambil merapikan rambutnya. Ia berharap Mujahid segera meraih tangannya, seperti yang biasa Ia lakukan dengan penuh canda. Namun harapan itu tak kunjung datang, membuat suasana di antara mereka jadi kikuk dan kaku. Ia terpaksa berdiri membisu di hadapan Mujahid.

“Ambillah kerudungmu”, pinta Mujahid.

“Apa maksudnya, Mas?”, tanya Nur Jannah tak mengerti. Ia mulai merasa ada yang aneh pada diri Mujahid.

“Allah melarang seorang perempuan memperlihatkan rambutnya di depan laki-laki yang bukan muhrimnya. Bagi perempuan, rambut termasuk aurat yang harus ditutupi”, jawab Mujahid tegas.

Di telinga Nur kata-kata itu terdengar seperti ceramah ustaz-ustaz di masjid. Nur tidak punya pilihan selain menuruti permintaan Mujahid. Dengan gugup Ia kembali ke kamar, kemudian keluar mengenakan kerudung Ibunya yang hanya menutupi sebagian kepalanya. Bagian depan rambutnya masih menyembul keluar.

“Duduklah!”, pinta Mujahid sangat formal.

Nur duduk sambil merapikan rok mininya yang tertarik ke atas lututnya. Ia mulai merasa malu di hadapan Mujahid.

“Ibumu seorang janda, Kamu harus banyak membantu beliau! Rajin-rajinlah shalat dan membaca Al-Quran. Hidup di dunia ini ibarat orang transit aja. Sebentar sekali. Hidup di akhiratlah hidup yang kekal”, Mujahid menasihatinya.

BACA JUGA:

Wajah Nur mendadak merah. Matanya mulai berkacakaca. Ia berjuang sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak menetes.

“Apakah sudah ada gadis lain?”, tanya Nur memaksakan dengan nada suara yang terputus-putus.

“Maksudmu apa, Dik?”, tanya Mujahid.

“Laki-laki kan biasa… Kalau sudah ada gadis lain, terus cari gara-gara, cari alasan!”, jawab Nur ketus.

“Yah, memang… Aku sedang jatuh cinta pada sesuatu, melebihi cintaku pada segalanya”, kata Mujahid sambil mendongak ke atas sembari menyatukan kedua tangannya. Mendengar kalimat ini dari bibir kekasihnya, Nur terkesiap. Rasa cemburunya membara. Menyadari gawatnya keadaan itu, Mujahid buru-buru menjelaskan maksudnya agar tidak salah dimengerti.

“Aku mencintai sesuatu yang abadi, yang berada di atas sana, yang memberi Kita kehidupan, kemudian mengambilnya dan membangkitkan Kita kembali”.

Nur yang semula tegang dan emosional, kini mulai terkulai lemas. Mulanya ada perasaan kecewa campur khawatir kalau-kalau Mujahid akan meninggalkannya. Tapi Ia tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Ia hanya diam sembari berharap Mujahid akan berbicara lagi.

“Kalau Kamu ingin tetap menjadi temanku, Kamu harus mencintai Allah lebih dari cinta pada dirimu sendiri. Taatilah semua perintah-Nya dan jauhilah semua larangannya!”

(Bersambung…)

 

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K

3 Responses

  1. Novel Muhammad Najib, “Bersujud Diatas Bara” (Seri-7): Terbang Ke Malaysia - Berita TerbaruDecember 12, 2022 at 3:55 pm

    […] Novel Muhammad Najib,”;Bersujud Diatas Bara”(Seri-5): Mudik Lebaran […]

  2. Lincoln GeorgisDecember 23, 2022 at 8:07 pm

    Lincoln Georgis

    […]that would be the finish of this write-up. Here you will come across some web sites that we feel you’ll appreciate, just click the hyperlinks over[…]

  3. bdsm webcamsNovember 13, 2024 at 4:53 pm

    … [Trackback]

    […] Information to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-bersujud-diatas-bara-seri-5-mudik-lebaran/ […]

Leave a Reply