Catatan Muhammad Chirzin
Media sosial paling familiar bagi para pengguna handphone tentulah WhatsApp yang menghimpun mereka dalam grup-grup WA. Masing-masing Grup mempunyai karakter dan dinamika tersendiri.
Berikut sebagian dari pro-kontra di grup WA PROFESOR PTKIN yang dimaksud tentang Jokowi dan Cak Nun.
Salah seorang anggota grup WA mengunggah meme berikut.
“Kebencian pada Jokowi bukan karena Jokowi jahat. Tapi karena Jokowi kerjanya menghalangi orang jahat untuk berbuat jahat.” Pengunggah pun menyertakan komentar: Nah kan …. !!!
Penulis merespons: Percaya??? Ini mah deskripsi buzzer Istana, Prof.
Spontan penulis mendapat respons pengunggah: Ngeyel ….
Prof. X menimpali: Kalau buzzer non-istana kayak apa Prof?
Penulis merespons dengan mengunggah meme:
“Pancasila itu benar secara formal dan sangat padat berisi, mengapa dipadatkan lagi jadi Trisila, bahkan Ekasila?”
Pengunggah meme tentang Jokowi pun merespons kembali: ini kerjaan buzzer juga…
Penulis jawab: Iyaa… kerjaan Buzzer Non-Istana, Prof.
Penulis lanjutkan dengan pernyataan Adhie M Massardi: Era Jokowi Intelektualitas Dihancurkan Jadinya Politik Akal-akalan!
Dari rezim ke rezim terdapat perbedaan mencolok dan karakteristik kepemimpinan nasional. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), perpolitikan tanah air seperti kehilangan modal sosial. Sementara rezim Joko Widodo (Jokowi), perpolitikan nasional cenderung menghabisi intelektualitas.
Begitu disampaikan Jurubicara Gus Dur, M Adhie Massardi dalam serial diskusi yang diselenggarakan Kantor Berita Politik RMOL bertajuk “Perppu Ciptaker & Ribut-ribut Murid Gus Dur”, di Kopi Timur, Jakarta Timur, pada Kamis (12/1).
Atas dasar itu, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) ini menilai perseteruan antara Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli dengan Menko Polhukam Mahfud
MD di Twitter terkait penerbitan Perppu Cipta Kerja menjadi momentum bahwa intelektualitas benar-benar dihabisi.
“Dalam konteks itu saya melihat bahwa Pak Mahfud modal intelektualnya tergerus oleh rezim ini. Yudi Latief juga pernah bilang bahwa rezim Jokowi anti-intelektualisme,” kata dia.
Menurut Adhie, Rizal Ramli mengkritik pemerintah melalui Mahfud MD agar para intelektual sekalipun dia di pemerintahan tetap menjadi intelektual sejati yang menjunjung tinggi intelektualisme.
“Bang Rizal Ramli melihat di situ (pemerintah) kan ada sahabatnya dia, harusnya dia mengingatkan tapi Pak Mahfud kan dia ada di dalam pemerintahan kan enggak mungkin menyalahkan bos. Nah, pandangan inilah yang kemudian digugat oleh RR dengan mazhab intelektual yang menjunjung tinggi kebenaran dan moral,” pungkasnya.
Salah seorang anggota grup yang lain merespons: Hoax
Penulis balas: XAOH
Penanggap melanjutkan komentar: Lha Adhie Massardi temasuk madzhab apa Prof?
Penulis: Adhie Massardi termasuk madzhab intelektual kritis, Prof.
Anggota yang lain menyambung: Seharusnya Adhie Massardi daftar menjadi Ketua KPU.
Penulis: Kalau Adhie Massardi menjadi Ketua KPU, ia harus bisa bekerjasama dengan Ketua MK, Prof.
Jawabnya: Betul, jadilah aktor, jangan sekadar jadi komentator.
Penulis: “Yang komentar-komentar kritis itu karena belum kebagian jabatan saja… klo sudah dapat jabatan …. … ” (‘an Mahfud MD hafizhahullah).
Sambut anggota terdahulu: Komentar kritis penting Prof, sebagai media kontrol, persoalannya bagaimana kritik itu sampai dan direspons oleh orang/lembaga yang kita kritik (hukum formil); itu juga tdk kalah pentingnya.
Penanggap terdahulu melanjutkan: Yang kritis di grup ini masuk apa tidak Prof?
Penulis: Sejumlah kritik Rizal Ramli, Rocky Gerung, Syahganda Nainggolan, Marwan Batubara, Jumhur Hidayat, Radhar Tribaskoro, Anton Permana, Ubedilah Badrun, dll, tentu sampai kepada pihak-pihak yang dikritik, tetapi apakah kritik mereka ditindaklanjuti atau tidak, itu hal lain… Alhamdulillah, kritis atau tidak kritis, sejak menjadi PNS 1990 sampai sekarang saya tidak pernah mendapat jabatan yang melalaikan.
Anggota yang lain komentar: Belum teruji integritasnya.
Penulis: Beda dengan Prof. Integritas: kejujuran, ketulusan, kredibilitas, akhlak, karakter, kelakuan, kepribadian, moralitas, perangai, perilaku, tabiat …
Selanjutnya penulis unggah catatan Pierre Suteki: Hasil Kerja Tim PPHAM Sebagai Ajang “Bersih-bersih” Rezim dan Moderasi Komunisme?
Presiden Joko Widodo menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara pada Rabu (11/1/2023). Jokowi mengakui bahwa pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia.
Tugas awal Tim PPHAM seharusnya dilakukan oleh Panitia Ad Hoc Komnas HAM untuk menentukan mana peristiwa masa lalu dari tahun 1965 sampai tahun 2020 yang merupakan pelanggaran HAM berat. Barulah kemudian atas penetapan Komnas HAM Tim PPHAM melakukan upaya penyelesaian secara NON Yudisialnya.
Di sisi lain, muncul pertanyaan apakah pengakuan Jokowi itu bisa kehilangan makna karena tidak mengakui hilangnya nyawa Laskar FPI Peristiwa KM50 sebagai pelanggaran HAM berat, termasuk ratusan terduga teroris, baru diduga sudah dibunuh. Apakah ini seperti pepatah “gajah di depan mata tidak terlihat, semut dikejauhan tampak besar”?
Perlu kembali ke prinsip “due process of law”-nya. Pengakuan Presiden Jokowi juga tergantung temuan dan penetapan status pelanggaran HAM oleh Panitia Ad Hoc Komnas HAM yang secara keliru dilakukan oleh Tim PPHAM. Menurut PPHAM peristiwa pembunuhan 6 laskar FPI bukan merupakan pelanggaran HAM berat, dan dengan demikian mustahil Presiden yang berkuasa (Jokowi) akan menyatakan dan mengakui peristiwa tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.
Atas temuan Tim PPHAM dan pengakuan Jokowi atas tragedi 1965, apakah ada potensi untuk menghidupkan NEO-PKI? Adakah penunggang gelap yang berupaya membangkitkan komunisme? Menkopolhukam yang sekaligus Ketua Tim PPHAM, Mahfud MD, menegaskan agar khalayak tidak lagi menuduh bahwa kerja Tim PPHAM sebagai upaya untuk mengerdilkan umat Islam atau menghidupkan kembali komunisme.
Semua sangat mungkin, baik dengan kembali mengaktifkan organisasinya atau menunggangi kendaraan ormas dan orpol yang ada. Apa pun harus dipegang Tap MPRS No. XXV Tahun 1966 masih berlaku, begitu pula UU No. 27 Tahun 1999, dan KUHP Baru juga menegaskan larangan penyebaran ideologi komunisme.
Maka, di negeri ini tetap tidak ada tempat untuk persemaian komunisme, dan bangkitnya organisasi PKI.
Komunisme yang pernah mengejawantah ke dalam PKI telah terbukti melakukan makar, baik terhadap ideologi Pancasila maupun kekuasaan pemerintahan yang sah. Jika kita tidak waspada, pasti ideologi ini akan bangkit kembali melalui kebijakan publik yang makin menguatkan posisinya.
Kewaspadaan tetap harus digalakkan oleh siapa pun yang peduli terhadap kelestarian negeri ini berbasis Religious Nation State. Hukum tidak boleh dipakai sebagai alat melegitimasi ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, baik ideologi kiri (komunisme) maupun ideologi kanan (liberal kapitalisme). Keduanya bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai religious nation state.
Kembali ke persoalan pengakuan Presiden Jokowi atas 12 pelanggaran HAM berat periode 1965 s/d 2020, yang terpenting justru aspek yudisialnya harus dibereskan dulu agar generasi sekarang dan yang akan datang mempunyai kepastian. Bagaimana bisa sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat belum diadili lalu sudah dilakukan penyelesaian secara non yudisial? Bukankah ini terkesan hanya sebagai lips service dalam penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu sebelum rezim ini berkuasa, sekaligus sebagai media “bersih-bersih” atas semua dugaan pelanggaran HAM berat?
Komnas HAM dan Tim PPHAM tidak pernah menetapkan satu pun peristiwa terbunuhnya banyak orang di masa pemerintahan Presiden Jokowi (2014 s/d 2024). Lalu siapa yang akan mengoreksi, dan menyelidiki untuk menetapkan ada atau tidak adanya pelanggaran HAM berat dalam periode tersebut?
Salah seorang anggota grup menulis: Luar biasa paparan dan analisisnya. Problemnya kita sekarang pelanggaran HAM berat periode lalu tidak kunjung diselesaikan, namun malah justru ditambah lagi dengan yang baru yang tidak kalah beratnya dan tidak kalah banyaknya? Sayang, periode sudah mau berlalu…baru teringat dosa besar sejarah belum terlunasi?
Mungkinkan bisa diselesaikan?
Penanggap terdahulu pun merespons: Melihat penulisnya saya paham arahnya.
Penulis balas: Saya juga paham arah komentar Prof ini.
Prof. Z pun mengunggah tulisan tentang Cak Nun berikut.
Beberapa waktu lalu beredar petikan rekaman video Cak Nun yang menyatakan bhw Indonesia dikuasai oleh sosok Firaun bernama Jokowi, Qorun bernama Anthony Salim & 9 Naga, & Haman bernama Luhut. Ringkasnya, mereka bisa mengatur apa hasil pemilu 2024 dll. Saya segera kontak Sabrang, putera Cak Nun. Benarkah itu statemen CN, kapan & apa konteksnya?
Kami kopi darat tadi siang. Dia menjelaskan benar itu statemen yg disampaikan CN beberapa waktu lalu di Surabaya. Namun, dia bilang, dirinya & sejumlah tim inti jamaah Maiyah keberatan & protes keras dg pernyataan itu. Akhirnya CN membuat video klarifikasi & minta maaf berjudul “Mbah Nun Kesambet” (terlampir).
Setelah menyimak video yang dimaksud penulis komentar: Ksatria Cak Nun* *Ksatria: elegan, jantan, jatmika, jentelmen; berani mengakui kesalahan
Prof. X komentar: Itulah kalau agama dijadikan alat.
Penulis: Agama itu alat untuk menggapai kebahagiaan dunia-akhirat…
Prof. X: Kalau menyebut orang dengan nama Firaun itu bagaimana Prof? Apa dengan melabeli Presiden dengan Firaun, lantas dia bahagia dunia akhirat? Kalimatu haqqin yuradu biha batil.
Penulis ulang: Ksatria Cak Nun*
Prof. X: Gitu ya. Gampang sekali ya
Penulis: Perlu pertobatan di depan Prof?
Cak Nun telah melakukan kesalahan, tetapi sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan ialah yang mau mengaku salah, lalu memohon ampun kepada Tuhan dan minta maaf kepada semua pihak atas kesalahannya.(m)
EDITOR: REYNA
Related Posts

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 3) – Penjajahan Tanpa Senjata

Perang Dunia III di Ambang Pintu: Dr. Anton Permana Ingatkan Indonesia Belum Siap Menghadapi Guncangan Global

Dr. Anton Permana: 5 Seruan Untuk Presiden Prabowo, Saat Rakyat Mulai Resah dan Hati Mulai Luka

Menyikapi UUD 18/8/1945

Rocky Gerung: 3 Rim Karatan di Kabinet Prabowo

Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Setahun Rezim Prabowo, Perbaikan atau Kerusakan Menahun?

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Dalam Semangat Sumpah Pemuda Mendukung Pemerintah dalam Hal Pemberantasan Korupsi dan Reformasi Polri

Anton Permana dan Kembalinya Dunia Multipolar: Indonesia di Persimpangan Sejarah Global



ไม้เทียมNovember 27, 2024 at 8:43 pm
… [Trackback]
[…] Here you will find 64771 more Info on that Topic: zonasatunews.com/tokoh-opini/muhammad-chirzin-gado-gado-guru-besar/ […]