Rihlah Peradaban, Perjalanan Penuh Makna Di Turki Dan Spanyol (Seri-24): Masjid Cordoba, Dari Katedral Kembali Menjadi Katedral

Tulisan berseri ini diambil dari buku menarik berjudul “Rihlah Peradaban, Perjalanan Penuh Makna di Turki dan Spanyol” yang ditulis oleh Biyanto, Syamsudin, dan Siti Agustini. Ketiganya adalah fungsionaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.

Buku ini mengisahkan perjalanan di Turki dan Spanyol, dua tempat yang penuh dengan memori kejayaan Islam dimasa lalu. Buku ini sangat menarik. Selamat mengikuti serial ini.

Buku ini mengisahkan perjalanan di Turki dan Spanyol, dua tempat yang penuh dengan memori kejayaan Islam dimasa lalu. Buku ini sangat menarik. Selamat mengikuti serial ini.

Cover buku Rihlah Peradaban

SERI-24

Takjub sekaligus sedih. Kondisi ini yang dirasakan rombongan Rihlah Peradaban saat menyaksikan Masjid Cordoba. Satu-satunya masjid di Cordoba itu sudah berubah menjadi katedral.

Jika dulu dipenuhi umat untuk berjamaah shalat, kini di tengah masjid itu ada katedral. Di katedral inilah pelaksanaan misa jamaah gereja diselenggarakan.

Di samping itu, setiap hari ada puluhan ribuan pengunjung berjubel untuk melihat jejak peradaban Islam masa lalu di Cordoba.

Kami dibuat takjub melihat bangunan masjid yang besar, indah, luas, dan dipenuhi dengan ornamen ukiran ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tampak sekali ada gambaran kemajuan peradaban Islam saat itu.

Perasaan seperti teraduk-aduk dan sedih tatkala melihat lukisan-lukisan dan ornamen-ornamen katedral di dalam masjid.

Suara lonceng gereja berulang kali berbunyi. Mana suara adzan dan
lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dulu bergema. Semua itu kini tak
bisa didengarkan lagi di Masjid Cordoba.

Sebenarnya perasaan itu juga sama tatkala memasuki Masjid Hagia Sophia di Istanbul, Turki. Kebalikan dari Masjid Cordoba, di
Hagia Sophia kami takjub dan bersyukur karena sebuah katedral
berubah menjadi masjid.

Di antara ornamen-ornamen gereja yang masih ada, salah satunya adalah patung Bunda Maryam. Patung ini berada di mihrab. Di Masjid Hagia Sophia juga ada kaligrafi bertuliskan Allah dan Muhammad.

Di Masjid Hagia Sophia, kaum Muslim bisa menunaikan shalat berjamaah dengan syahdu. Sedih, karena melihat masjid yang seharusnya menjadi tempat suci khusus untuk ibadah shalat, dimasuki oleh siapa pun. Masjid digunakan sebagai destinasi wisata turis, dari berbagai umat di dunia.

Pembangunan Masjid Cordoba

Koran Republika telah memaparkan sejarah pembangunan Masjid Cordoba melalui laman resmi website-nya. Masjid besar yang mampu menampung puluhan ribu jamaah ini dibangun oleh Abdurrahman ad-Dakhil atau Khalifah Abdurrahman I pada 785 M.

Pada awalnya luas masjid diperkirakan hanya 70 meter persegi. Bangunan awal ini berdiri di atas lahan seluas 5000 meter persegi. Sang khalifah memilih bahan dari batu pualam. Didatangkan langsung dari Narbonne, Sevilla, dan Konstantinopel.

Dua abad lamanya proses pembangunan dan penyempurnaan masjid
Cordoba ini. Kondisi masjid terus diperbaiki dan diperluas oleh para khalifah keturunan Khalifah Abdurrahman I.

Khalifah Hisyam I (788-798 M) memperluas masjid berupa bangunan utama dan menara. Selanjutnya putranya, Khalifah Hakam I, juga membangun dua serambi besar di bagian arah kiblat yang selesai pada 796 M.

Masjid Cordoba dibangun oleh Khalifah Abdurrahman I pada 785 M.

Masjid Cordoba dibangun oleh Khalifah Abdurrahman I pada 785 M.
Keturunan berikutnya, Khalifah Abdurrahman II (822-852M) meneruskan penyempurnaan masjid. Ia menambah ruangan besar masjid dan 200 tiang yang bergaya hypostyle. Penyempurnaan bangunan masjid dimulai 832 M dan selesai 848 M.

Tidak hanya itu, Khalifah juga menggeser arah mihrab sedikit ke tenggara, sehingga tepat menghadap ke arah kiblat. Hal ini disebabkan
mihrab sebelumnya menghadap ke arah selatan pada zaman Khalifah Abdurrahman I.

Dalam hal ini, sejarawan memperkirakan bahwa Abdurrahman ad-Dakhil berpikir dirinya masih di Damaskus, sehingga arah kiblat disamakan dengan masjid-masjid di pusat kekhalifahan Umayah tersebut.

Penyempurnaan masjid pun dilanjutkan oleh Khalifah Abdullah yang menduduki tahta pada 888 M. Ia membangun lori-lori (arcade) yang beratap lengkung, menghubungkan istana dan masjid. Jadilah 32 lorong dan mihrab di bawah atap kubah yang berbentuk
segi delapan.

Penggantian menara lama (zaman Khalifah Hisyam I) ke yang baru, berbentuk segi empat dengan tinggi 34 meter. Perombakan ini dilakukan oleh Khalifah Abdurrahman III (912- 961 M). Al-Muntasir, seorang ahli mozaik dari Constantinopel atau Istanbul Turki, ditunjuk sebagai pengawasnya.

Tidak cukup di situ, perluasan aula masjid ke arah barat daya juga dilakukan khalifah ini. Akhirnya, pada masa Khalifah Al-Hakam II (961-976M) dilakukan penyempurnaan masjid yang terakhir. Arsitektur masjid diberikan sentuhan monumental.

Baca Juga:

• Rihlah Peradaban, Perjalanan Penuh Makna Di Turki Dan Spanyol (Seri-22): Toledo Jatuh ke Tangan Kristen
• Rihlah Peradaban, Perjalanan Penuh Makna Di Turki Dan Spanyol (Seri-23): Kampung Ibn Rushd di Cordoba, Dulu Toleran, Kini Tinggal Kenangan

Bentuk ruangan shalat di depan mihrab diubah. Semula berupa ruangan terbuka biasa, kemudian diubah menjadi satu jalur yang membujur. Panjangnya 115 meter, lebar 70 meter, dan memiliki 320 tiang.

Sejarah mencatat Masjid Cordoba diperbaiki dan diperluas selama dua abad oleh kekhalifahan Islam. Panjang masjid 175 meter membujur dari
arah utara ke selatan. Lebarnya 134 meter dari arah timur ke barat.
Untuk tinggi sekitar masjid 20 meter.

Dengan kemegahan dan kebesarannya itu, Masjid Cordoba dulu mampu menampung 80.000 orang jamaah.

Dari Katedral Kembali Menjadi Katedral

Masjid Cordoba yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada 15 Desember 1994 ini, ternyata bermula dari bangunan katedral.

Katedral ini dibangun oleh bangsa Visigoth. Saat Andalusia dikuasai oleh kekhalifahan Muslim, gereja katolik ini tidak diubah seluruhnya menjadi masjid.

Bangunan katedral ini dibagi menjadi dua bagian. Sebagian bangunan menjadi masjid untuk ibadah kaum Muslim. Sebagian lagi tetap menjadi
gereja untuk tempat beribadah kaum Katolik. Inilah bukti sejarah mengenai toleransi yang dipraktikkan para khalifah dari kekhalifahan Islam di Andalusia.

Tamhid dan Biyanto di depan Katedral Masjid Cordoba.

Dalam perkembanannya setiap khalifah sukses memperluas bangunan masjid. Hingga pada akhirnya seluruh bangunan menjadi masjid. Semua ini dilakukan para khalifah dengan cara membeli lahan katedral tersebut.

Ketika Kekhalifahan Islam di Andalusia jatuh ke tangan penguasa Kristen, maka masjid dikembalikan fungsinya sebagai katedral. Masjid Cordoba direbut oleh Raja Ferdinand III dan diberi nama La Mesquita.

Masjid Cordoba sebagian bangunannya diganti atau ditambahkan. Misalnya, menara untuk adzan ditambahkan lonceng layaknya di gereja. Dari 900 pilar masjid tersisa 856 karena adanya perombakan tersebut.

Suasana katedral memang terkesan kental sekali. Banyak patung Yesus dan Bunda Maria, kursi-kursi untuk jemaat Katolik, alunan musik untuk misa, bunyi lonceng, dan sebagainya, kini menjadi pemandangan yang mengiris hati di dalam bangunan yang dulunya adalah Masjid Cordoba tersebut.

Kaligrafi dalam La Mesquita

Alhamdulillah Allah tetap menunjukkan kebesaran-Nya. Ukiran kaligrafi ayat-ayat Allah yang berada di atas mihrab dan atap masjid masih utuh hingga kini. Walaupun penguasaannya sudah berada di tangan kaum Katolik, tulisan ayat-ayat Allah tetap terjaga dengan baik.

Ukiran kaligrafi ayat-ayat Allah yang berada di atas mihrab.

Apabila mencari referensi, mungkin sulit untuk menemukannya. Kaligrafi yang terbuat dari emas itu sebenarnya nukilan beberapa ayat Al-Qur’an. Pak Yasin, sang tour guide Rihlah Peradaban, menunjukkan rangkaian huruf-huruf hijaiyah dalam kaligrafi. Terbacalah ayat-ayat Surat Al-Fatihah dan Ali ‘Imran.

Perlu dipastikan lagi dari berbagai sumber yang ada, mengapa khalifah
mengabadikan semua itu di masjid. Namun bila memahami arti dari ayat-ayat surat tersebut, sang khalifah ingin mendakwahkan ajaran tentang ketauhidan kepada Allah SWT. Ukiran kaligrafi ayat-ayat Allah yang berada di atas mihrab.

Semoga jejak sejarah Masjid Cordoba dapat menjadikan pelajaran bagi kita. Walau tidak ada masjid, Islam tetap harus berjaya di muka bumi. Hingga bagaimana kaum Muslim bisa terus memperjuangkan ketauhidan di Andalusia, Spanyol.

Takjub sekaligus sedih, menjadikan kita selalu berdoa kepada Allah. Semoga saudara-saudara Muslim di daratan Eropa ini dikuatkan Allah untuk berdakwah dan menyebarkan Islam yang dulu pernah berjaya dan mencapai masa keemasan. Hingga tidak mengherankan jika peradaban Islam yang membanggakan pun pernah dicapai umat Islam di bumi Andalusia. !

EDITOR: REYNA

Related Posts