Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-12): Perang Salib di Front Pertama

Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-12): Perang Salib di Front Pertama
Dr Muhammad Najib, Duta Besar RI untuk Kerajaan Spanyol dan UN Tourism

Novel “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” karya Masterpiece Dr Muhammad Najib ini terinspirasi dari kisah Jalur Sutra atau Tiongkok Silk Road, yang kini muncul kembali dalam bentuk baru: One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI).

Penulis yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO ini meyakini, Indonesia sebagai Jamrud Katulistiwa ini sebenarnya juga memiliki warisan sejarah yang bernilai. Sayangnya, kita belum mampu mengapitalisasi warisan leluhur yang dimiliki, seperti yang dilakukan Tiongkok, meski peluang Indonesia sama besarnya.

Novel ini sendiri merupakan fiksi murni. Di sini, penulis mencoba mengangkat fakta-fakta sejarah, diramu dengan pemahaman subjektif penulis sendiri terhadap situasi terkait.

Ada berbagai peristiwa sejarah di masa lalu, yang seakan terjadi sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan. Maka dalam novel ini, penulis berupaya merangkai semua dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Sehingga Novel ini menjadi sangat menarik. Ceritanya mengalir, kaya informasi, dan enak dibaca. Selamat membaca dan menikmati.

Foto Ilustrasi: Jalur Sutra (garis merah), jalur Rempah (garis biru)

**********************************************************

SERI-12

Perang Salib di Front Pertama 

Sesuai jadwal, pada kuliah pertama Alfonso bertugas memaparkan makalahnya.

“Paus Urbanus II, selaku pemimpin Takhta Suci Roma, mengumumkan Perang Salib dalam sidang Majelis Gereja, Council of Clermont, pada 27 November 1095. Ada alasan internal dan eksternal yang melatarbelakangi perang besar ini. Pertama, alasan internal. Paus ingin menyatukan umat kristiani di Eropa yang ada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Kristen. Saat itu, umat Kristen terpecah-belah. Kondisi ini disebabkan adanya perbedaan paham keagamaan, alasan politik, perebutan kekuasaan, serta persaingan mendapatkan koloni. Semua ini melemahkan persatuan umat Kristen yang harus berhadapan dengan kekuatan Islam saat itu.”

“Selain itu, ada faktor eksternal. Kaisar Bizantium, Alexios I Comnenos, menghimbau para penguasa di Eropa untuk membantunya menghalau Turki Seljuk, yang berhasil merebut wilayah Anatolia atau Asia Kecil dari Bizantium. Turki Seljuk memang kerap membuat Bizantium tak berdaya. Dinasti Islam ini berhasil mengambilalih wilayah-wilayah penting yang semula diduduki Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium. Pertempuran fenomenal terjadi pada 26 Agustus 1071, ketika Alp Arslan, Sultan Turki Seljuk, berhasil memukul mundur kekuatan Bizantium yang bercokol di Palestina dalam pertempuran Malazgirt atau Manzikert. Kekalahan itu meningkatkan konfrontasi antara Kristen dan Islam. Tentara Seljuk terus merambah masuk ke wilayah Bizantium lainnya, termasuk Anatolia. Akhirnya, Kaisar Alexios I Comnenos memohon bantuan Eropa untuk membantunya mendepak Turki Seljuk dari wilayah Bizantium. Negara-negara Kristen di Eropa lantas membentuk aliansi untuk menyerang Timur Tengah. Maka meledaklah Perang Salib mulai tahun 1095 dengan tujuan utama membebaskan Yerusalem. Perang di wilayah ini berlanjut selama hampir dua abad dan menghancurkan wilayah Timur Tengah.”

Alfonso berhenti sejenak, kemudian melanjutkan paparannya.

“Selain itu, ada faktor eksternal kedua, yang sebenarnya lebih penting, yakni munculnya keluhan dari para peziarah Kristen Eropa, yang merasa diganggu atau dihalang-halangi saat berkunjung ke tempat-tempat suci kristiani di Palestina. Perlu diingat, sejak tahun 1071 Palestina menjadi bagian dari Dinasti Turki Seljuk. Paling tidak ada dua tempat suci umat Kristen di wilayah ini. Pertama, Gereja Makam Kudus di Bukit Golgota, yang letaknya di kota tua Yerusalem. Situs ini juga kerap disebut Holy Sepulchre, tempat Yesus disalib. Di wilayah Palestina juga ada Gereja Kelahiran atau Gereja Nativitas, yang terletak di Kota Bait Lahm atau Betlehem, di wilayah Tepi Barat. Di kolong gereja terdapat Gua Kelahiran, yakni gua yang diyakini umat Kristen sebagai tempat lahirnya Yesus Kristus.”

Aku memotong pemaparan Alfonso karena kurasa ada yang perlu diluruskan, meski sesi tanya-jawab belum dimulai.

“Setahu saya, sejak masa Khalifah Kedua, Umar bin Khattab, yang mengambil alih Palestina dari tangan Romawi, umat kristiani diperlakukan dengan baik. Justru penguasa Romawi yang bersikap tidak ramah, baik terhadap Nasrani maupun Yahudi. Umar sebaliknya. Ia memberikan perlindungan kepada mereka yang berbeda keyakinan. Hal ini juga dilakukan oleh para penerusnya,” ujarku setengah protes.

“Ya, secara umum hal itu benar. Tetapi, pada masa Dinasti Fatimiyah – yang mengendalikan Palestina dari Kairo, Mesir – muncul konflik internal. Para pemimpin dinasti tampaknya memolitisir agama untuk memperkuat kekuasaan. Salah satu caranya dengan mendukung faksi garis keras atau kelompok fundamentalis tertentu. Sebenarnya hal serupa juga terjadi pada kerajaan-kerajaan Kristen Eropa di masa itu,” jelas Alfonso merespons balik.

Van Basten tidak ketinggalan ikut berkomentar. “Di era demokrasi sekarang ini, saat kebebasan berpendapat dijamin undang-undang, kebebasan itu terkadang disalahgunakan oleh elite tertentu. Politisi yang ingin segera populer kerap meniupkan isu agama sebagai instrumen untuk mencapai kepentingannya.”

“Apakah islamophobia masuk dalam kategori ini?” tanyaku menoleh ke Van Basten.

“Ya, jelas!” jawabnya tegas.

“Apakah tindakan membuat karikatur yang melecehkan Islam atau pembakaran Al-Qur’an yang kadang terjadi di Eropa merupakan bagian dari itu?” tanyaku mencecar.

“Hal tersebut hanyalah tindakan sekelompok politisi atau ulah media yang berafiliasi dengan kelompok ekstrem tertentu. Jumlah mereka sangat kecil sehingga tidak bisa dipandang mewakili mayoritas yang bersikap toleran, moderat dan ingin hidup berdampingan secara damai dalam dunia yang semakin plural ini,” ujar Van Basten datar.

Baca Juga:

“Silakan jika ada komentar atau pertanyaan lain,” kata Usted menyudahi diskusi kami yang agak menyimpang.

“Selain ke Yerusalem, ke mana lagi Anda melakukan riset lapangan?” tanya Van Basten ke Alfonso.

“Saya mulai dari Kairo, lalu ke kota pelabuhan Aqabah – yang kini masuk wilayah Yordania. Sesudah itu saya ke Beirut, kemudian ke Utara menuju Antakya, Turki. Lalu saya ke timur menuju Damaskus, baru masuk ke Yerusalem. Saya mengunjungi beberapa benteng dan istana yang pernah digunakan tentara Salib agar bisa menghayati semangat juang mereka, termasuk dalam menyusun strategi dan taktik, sehingga akhirnya mereka bisa merebut Yerusalem. Di saat yang sama, saya juga ingin merasakan suasana batin ketika mereka kemudian kalah dan terusir kembali dari Yerusalem,” urai Alfonso.

“Menurut Anda, apa rahasia kemenangan tentara Kristen di Perang Salib pertama sehingga mampu merebut Yerusalem? Kita tahu dari sejarah, pada Perang Salib berikutnya boleh dikatakan tentara Salib selalu gagal, bahkan terusir dari wilayah-wilayah yang semula dikuasainya, termasuk Yerusalem,” tanya Usted untuk menggali lebih dalam pemahaman Alfonso.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:

Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra
https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ

Judul Novel: Safari
https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ

Judul Novel: Bersujud Diatas Bara
https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ

Buku-buku novel karya Dr Muhammad Najib juga bisa dibeli di Shopee melalui link: https://shp.ee/ks65np4
Last Day Views: 26,55 K