Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata

Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata

Oleh: Budi Puranto

Lorong istana terasa semakin sempit. Jenderal itu masih menatap tajam ke arah tempat Maya bersembunyi. Tangannya sudah menyentuh gagang pistol. Maya tahu, detik ini bisa jadi akhir baginya.

Namun, nalurinya bergerak cepat. Ia merogoh saku jas, menekan tombol kecil di alat protokolnya—sebuah pemancar darurat yang biasa dipakai staf untuk memanggil pengawal jika ada insiden tamu negara.

Dalam hitungan detik, suara sepatu berderap mendekat. Dua pengawal istana muncul dari ujung lorong.

“Lapor, Pak, kami mendengar sinyal darurat. Ada apa?”

Jenderal itu sempat tertegun. Tatapannya beralih ke Maya yang kini keluar dari bayangan, wajahnya dibuat tenang, penuh senyum protokoler.

“Ah, maaf Jenderal,” suara Maya terdengar ringan, “tadi saya tak sengaja menekan tombol ini saat berjalan di lorong. Untung pengawal sigap.”

Mata Jenderal itu sempit, mencurigai, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa di depan pengawal resmi. Ia hanya mengangguk kaku lalu berbalik, meninggalkan lorong dengan langkah berat.

Maya menahan napas sampai tubuh Jenderal itu menghilang. Ia berhasil selamat—untuk saat ini.

Sementara itu, di ruang kendali bawah tanah, Seno menerima laporan dari tim teknis: ada anomali dalam jaringan komunikasi aman mereka.

“Komandan,” ujar analis dengan wajah tegang, “seseorang dari dalam tim sempat membuka akses log eksternal. Itu berarti… ada yang melaporkan kegiatan kita ke pihak luar.”

Seno menatap layar, rahangnya mengeras. Pengkhianat.

“Siapa?” tanyanya pelan.

“Jejak digital samar. Tapi pola kodenya sama dengan salah satu operator komunikasi kita—Sandhi.”

Nama itu membuat ruangan hening. Sandhi adalah orang yang sudah tiga tahun bersama Seno, ikut dari operasi ke operasi. Setia. Atau setidaknya terlihat begitu.

Malam itu, Seno memanggil Sandhi secara pribadi. Mereka duduk berhadapan dalam ruang sempit.

“Aku hanya ingin kau jujur,” kata Seno, suaranya rendah tapi dingin. “Ada akses tidak sah keluar dari jaringan kita. Jejaknya mengarah padamu.”

Sandhi pucat. “Komandan… bukan saya. Saya bersumpah. Tapi…” ia ragu, lalu melanjutkan, “…mungkin akun saya dipakai orang lain. Atau perangkat saya diretas.”

Seno menatap lekat, mencoba membaca sorot mata anak buahnya. Tapi di balik kegugupan itu, ia tak bisa memastikan apakah Sandhi benar-benar panik karena bersalah… atau karena difitnah.

Di sisi lain kota, Maya melaporkan rekamannya ke Seno. Ia menyampaikan percakapan penting antara Menteri dan Jenderal tadi.

“Mereka tahu kau sedang mencium jejak mereka, Sen,” kata Maya dengan suara berat. “Dan yang lebih parah… mereka bilang punya orang di sekelilingmu.”

Seno terdiam. Kata-kata Maya itu seakan menegaskan kecurigaannya terhadap Sandhi.

Sementara itu, meski Maya berhasil selamat dari jebakan lorong, tapi kini tahu Jenderal curiga padanya.

Seno mulai menghadapi kenyataan pahit: di dalam tim kecilnya sendiri mungkin ada mata Garuda yang menyamar sebagai orang kepercayaannya.

Bayangan Kudeta

Lorong-lorong rahasia istana mulai terasa sesak oleh intrik yang kian tak terkendali. Maya menutup komunikatornya setelah berbicara dengan Seno, matanya kosong sejenak. Ia selamat dari jebakan Jenderal, tapi ia tahu taruhannya makin tinggi.

Di tempat lain, Seno menatap Sandhi dengan mata tajam. Ruangan itu sunyi, hanya suara kipas pendingin mesin yang berdengung.

“Aku tak punya waktu untuk permainan,” ujar Seno akhirnya. “Kalau kau bersih, buktikan. Malam ini kita lakukan operasi kecil. Kau akan berada di garis depan. Jika kau setia, itu akan terlihat. Jika tidak—aku sendiri yang akan mengakhirimu.”

Sandhi hanya bisa menunduk, rahangnya mengeras, keringat mengalir di pelipis.

Operasi jebakan pun digelar. Targetnya sederhana: sebuah gudang logistik di pinggiran kota yang kabarnya dipakai Garuda menyimpan senjata. Informasi ini sengaja dibiarkan bocor lewat jalur Sandhi, untuk melihat apakah Garuda akan menyiapkan penyergapan.

Saat tim Seno menyusup, suasana gudang terlalu sunyi. Benar saja—beberapa detik kemudian, kilatan senapan otomatis menyambar dari kegelapan. Garuda sudah menunggu.

“Turun!” teriak Seno, berguling ke balik kontainer. Ia menoleh cepat, menatap Sandhi. Pemuda itu terlihat ragu, sempat terpaku seolah menimbang ke arah mana harus menembak.

Namun di detik berikutnya, Sandhi mengangkat senjatanya dan menembak ke arah musuh dengan akurat. Ia bahkan menutupi posisi Seno dari sergapan lawan.

Pertempuran berlangsung singkat, tapi brutal. Saat debu mereda, gudang terbakar, Seno mendekati Sandhi.

“Kalau kau pengkhianat, kau takkan melindungiku tadi,” kata Seno datar. “Tapi jangan salah—aku masih akan mengawasi setiap gerakanmu.”

Sandhi hanya mengangguk, masih terengah. Seno tahu jawaban ini belum final, tapi ia tak punya waktu lagi.

Sementara itu di lingkaran dalam istana, tekanan terhadap Presiden Pradipa semakin berat. Laporan intelijen menyebut Garuda telah mempersiapkan “Operasi Cahaya Merah” —sebuah gerakan besar yang bukan lagi sekadar serangan simbolik, melainkan langkah nyata untuk merobohkan kepemimpinan Pradipa.

Di ruang-ruang rapat rahasia, faksi militer yang mendukung Garuda sudah menyalakan mesin kudeta. Mereka menyusun garis serangan: menguasai stasiun televisi, mengendalikan media-media sosial, menekan parlemen, dan merebut markas militer kunci di ibu kota.

Maya, dengan wajah lelah, menyampaikan pesannya pada Seno:

“Sen, waktunya sudah dekat. Mereka menyebut tanggal itu sebagai ‘hari cahaya’. Kudeta bukan lagi bayangan—ini rencana yang siap dieksekusi. Kau harus memilih: tetap jadi bayangan Pradipa, atau membuka permainanmu sepenuhnya.”

Seno menatap peta operasi di mejanya. Jalur kudeta mulai terlihat jelas, dan ia sadar bahwa permainan intelijen kecil ini sudah selesai.

Waktu-waktu yang akan datang bukan lagi sekadar manuver politik. Yang akan datang adalah perang perebutan kekuasaan negara.

Seno mulai menutup buku kecil pengkhianatan internal, mengarahkan fokus penuh pada kudeta yang akan segera meledak.

Kudeta Garuda kini nyata di depan mata, “Operasi Cahaya Merah” hanya tinggal menunggu detik untuk meletus.

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi

Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi

Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana

Last Day Views: 26,55 K