Mengapa Indonesia Tidak Lagi Bisa Mengandalkan Narasi “Bencana Alam”
Slamet Sugianto
Gelombang banjir dahsyat yang melanda berbagai wilayah di Sumatra pada akhir 2025 kembali menegaskan bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis ekologis nasional. Korban jiwa mencapai ratusan, ribuan rumah hancur, dan lebih dari satu juta warga terdampak langsung.¹ Namun, tragedi ini bukan sekadar urusan cuaca ekstrem. Ia adalah cermin telanjang dari kegagalan tata kelola lingkungan, ruang, dan pembangunan yang telah berlangsung lama.
Akar Kerusakan : Alih Fungsi Lahan & Deforestasi Sistemik
Salah satu penyebab utama banjir besar adalah deforestasi masif dan alih fungsi kawasan hulu. Analisis organisasi lingkungan menunjukkan bahwa kawasan resapan di berbagai daerah—termasuk Jabodetabek—menyusut drastis akibat izin pembangunan yang longgar dan lemahnya pengawasan AMDAL.²
Laporan investigatif di Sumatra juga mengungkap bahwa degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) berperan signifikan dalam memperparah daya rusak banjir bandang.³ Kerusakan hulu ini menghilangkan fungsi ekologis hutan sebagai penyangga, penyerap air, dan pengendali erosi.
Tanpa hutan yang sehat, setiap hujan lebat berubah menjadi ancaman.
Pola Banjir Berulang: Bencana yang Menjadi “Normal Baru”
Data BNPB menunjukkan peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi dalam lima tahun terakhir.⁴ Di Jabodetabek saja, kerugian banjir 2025 mencapai Rp 1,7 triliun, terutama akibat buruknya sistem drainase dan berkurangnya daerah resapan.⁵
Sementara itu, banjir dan longsor Sumatra 2025 disebut sebagai salah satu bencana paling mematikan dalam satu dekade terakhir.⁶ Polanya jelas: banjir bukan lagi insiden, tetapi fenomena struktural akibat kerusakan ekologis dan tata ruang.
Kerugian Ekonomi yang Menguras Negara
Lembaga riset ekonomi menghitung bahwa total kerugian ekonomi banjir Sumatra 2025 mencapai Rp 68,67 triliun.⁷ Kerugian itu mencakup: hancurnya rumah dan infrastruktur publik, terganggunya aktivitas ekonomi, hilangnya produktivitas pertanian, terputusnya layanan dasar seperti transportasi, kesehatan, dan pendidikan.
Penelitian tentang green victimology bahkan menunjukkan bahwa bencana ekologis seperti banjir menyebabkan viktimisasi berlapis—di mana korban harus menanggung penderitaan jangka panjang dari kerusakan lingkungan yang mereka tidak ciptakan.⁸
Risiko Nasional: Dari Infrastruktur Lumpuh hingga Migrasi Iklim
Jika banjir besar terus terjadi tanpa reformasi mendasar, Indonesia berpotensi menghadapi serangkaian ancaman serius:
1. Kerusakan Infrastruktur Berulang
Jalan, jembatan, irigasi, dan jaringan listrik semakin rapuh. Anggaran pemerintah terkuras untuk perbaikan rutin alih-alih pembangunan baru.
2. Krisis Pangan dan Gangguan Logistik
Daerah pertanian yang terendam berulang akan kehilangan daya produksi, memicu kenaikan harga pangan secara nasional.
3. Migrasi Iklim Internal
Warga dari daerah rawan banjir akan pindah ke kota-kota besar, memicu urbanisasi tak terkendali, konflik ruang, dan tekanan sosial baru.
4. Erosi Kepercayaan Publik
Ketika bencana terjadi berulang dan negara gagal melindungi rakyat, legitimasi pemerintah dapat terkikis, memunculkan instabilitas politik.
Kegagalan Tata Kelola Negara : Titik Nol yang Tidak Boleh Terulang
Laporan hukum lingkungan 2025 menunjukkan bahwa banyak bencana ekologis adalah hasil kebijakan yang membiarkan eksploitasi ruang dan sumber daya tanpa mempertimbangkan keselamatan ekologis masyarakat.⁹
Izin alih fungsi hutan, pembangunan di sempadan sungai, reklamasi yang tidak direncanakan dengan matang, serta lemahnya penegakan hukum telah menciptakan lingkaran setan kerentanan.
Konsep structural ecological harm menjelaskan bahwa ketika kebijakan negara merusak fondasi ekologis, rakyat akan menjadi korban dalam jangka panjang.¹⁰ Ini adalah tanda bahwa mitigasi bencana harus melampaui pendekatan teknis dan masuk ke wilayah reformasi tata kelola.
Agenda Reformasi : Jalan Keluar dari Krisis Banjir Nasional
Untuk memutus siklus bencana, Indonesia harus melakukan transformasi tata kelola lingkungan yang menyentuh akar persoalan :
1. Konsolidasi Tata Ruang Nasional
Melarang pembangunan di kawasan risiko tinggi; mengembalikan fungsi DAS sebagai wilayah lindung.
2. Rehabilitasi Ekologis Massif
Reforestasi, restorasi DAS, dan pembatasan izin baru untuk konsesi di wilayah sensitif.
3. Penegakan Hukum Tanpa Kompromi
Izin tanpa AMDAL harus ditolak; pelanggar tata ruang harus dikenai sanksi administratif, perdata, dan pidana.
4. Asuransi Wajib Bencana Nasional
Skema perlindungan untuk mengurangi beban fiskal negara dan memastikan pemulihan korban berjalan cepat.¹¹
5. Perencanaan Pembangunan Berbasis Risiko Iklim
Setiap proyek harus memiliki asesmen risiko ekologis jangka panjang, bukan sekadar kelayakan ekonomi.
6. Pelibatan Masyarakat dan Komunitas Adat
Mereka adalah penjaga kearifan ekologis yang selama ini terbukti lebih efektif menjaga lanskap.
Penutup : Banjir sebagai Peringatan — Negara Tidak Bisa Diam di Titik Nol
Banjir besar 2025 adalah pesan keras bahwa Indonesia sedang berdiri di ambang krisis ekologis nasional. Jika negara terus mengabaikan respons sistemik, maka ancaman tidak hanya berupa kerugian materi, tetapi juga : kerusakan ekosistem permanen, runtuhnya infrastruktur, krisis sosial dan ekonomi, migrasi iklim massal, dan erosi legitimasi negara.
Tindakan setengah hati tidak lagi memadai. Kita membutuhkan reformasi tata kelola lingkungan yang menyeluruh — karena masa depan Indonesia bergantung pada keberanian untuk memperbaiki kesalahan kebijakan masa lalu dan membangun fondasi ekologis yang kuat bagi generasi mendatang.[]
CATATAN KAKI
1. Reuters, “Death toll in Indonesia’s floods and landslides hits 753,” 2 Desember 2025.
2. WALHI, “Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan Akar Masalah Bencana Ekologis di Jabodetabek,” 2024.
3. KBA News, “Jejak Hukum di Tengah Bencana: Mengungkap Akar Kerusakan Lingkungan Penyebab Banjir Bandang Sumatera,” 2025.
4. BNPB, “Perkembangan Situasi dan Penanganan Bencana,” 27 November 2025.
5. BNPB, “Dampak Banjir Jabodetabek 2025,” 2025.
6. Wikipedia (dengan referensi sumber primer), “2025 Sumatra Floods and Landslides,” diakses 2025.
7. Tempo, “CELIOS: Kerugian Ekonomi Banjir Sumatra Capai Rp 68,67 Triliun,” 2025.
8. Mahkamah Agung RI – Marinews, “Green Victimology sebagai Dasar Reformasi Kebijakan,” 2023.
9. KBA News, Ibid.
10. Marinews MA RI, Ibid.
11. CNBC Indonesia, “Urgensi Asuransi Wajib Bencana,” 2025.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Untuk Memperkuat Ketahanan Ekonomi Masyarakat, Baznas Sumenep Bantu Modal Usaha UMKM Masalembu

Forensik Digital, Transparansi Publik, dan Ujian Integritas Ilmu

Pemburu Diburu Buruan

Bencana Itu: Siapa Penanggung Utama?

Eksepsi Jokowi Ditolak, Kuasa Hukum Penggugat Akan Hadirkan Roy Suryo cs

Elegi NKRI

Sarang Judi Sabung Ayam di Sugihwaras Merasa Kebal Hukum, Polsek Bagor dan Polres Nganjuk Harus Bertindak Tegas

RUPSLB Bank Mandiri: Ada Apa di Balik Gerak Cepat Yang Terlalu Cepat?

Korban Banjir Sumatera Mulai Terserang Penyakit, Wakil Ketua Komisi IX Yahya Zaini Minta Kemenkes Kirim Dokter dan Obat

Imam Utomo Turun Gunung Kawal RS Pura Raharja Hadapi Konflik Internal



No Responses