Oleh: Muhsin Budiono
Penyintas dan Penulis Buku Penanganan Bencana Banjir Bandang Bima 2016.
Tragedi banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November 2025 adalah narasi pilu tentang alam yang marah dan tata kelola yang lalai. Secara faktual, bencana ini telah melampaui ambang batas yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dengan setidaknya 940 orang meninggal dunia dan 521 orang dinyatakan hilang, 5000 lebih luka-luka serta kerugian mencapai Rp 68,67 triliun, dampaknya jauh melampaui kemampuan penanganan daerah. Publik mencatat bahwa respons pemerintah terhadap bencana lintas provinsi ini terasa reaktif, terfragmentasi, dan tak sigap.
Pertanyaan fundamentalnya adalah: mengapa di tengah skala kerusakan yang masif di 50 kabupaten/kota, wewenang penuh Presiden untuk menetapkan status Bencana Nasional (sebagaimana diamanatkan Pasal 51 ayat 2 UU 24/2007) tak kunjung digunakan?.
Berkaca dari Bencana Aceh 2004
Apabila kita menilik sejarah, penanganan Tsunami Aceh 2004, meskipun bersifat bencana alam murni, segera diikuti dengan deklarasi Status Bencana Nasional dan pembentukan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) yang independen. Langkah ini menjamin mobilisasi sumber daya total, akses bantuan internasional, dan komitmen pemulihan jangka panjang yang terintegrasi.
Sementara itu, Bencana Sumatera 2025, yang bersifat antropogenik (dipicu oleh ulah manusia) dan memiliki cakupan geografis yang luas, hanya ditangani di bawah koordinasi BNPB dan BPBD dengan fasilitas terbatas.
Jika bencana tsunami Aceh yang terpusat memerlukan mekanisme luar biasa, patut dipertanyakan mengapa bencana Sumatera yang menyebar dan kompleks ini tak dianggap setara?.
Perbedaan respons ini diduga kuat mencerminkan kegagalan sistematis atau, lebih parah, keengganan untuk menerapkan transparansi dan akuntabilitas total yang melekat pada Status Bencana Nasional.
Meski ada yang berpendapat bahwa sistem kelembagaan saat ini (Badan Penanggulangan Bencana Aceh/BPBA dan juga BPBD) sudah memadai secara regulasi dan otoritas -Tinggal membenahi masalah implementasi dan kapasitas lokal- sehingga tidak diperlukan penetapan bencana nasional yang hanya administratif, namun pendapat tersebut tidak sepenuhnya tepat.
Jika sistem BPBA sudah kuat secara regulasi, mengapa koordinasi dan distribusi bantuan masih bermasalah? Jawabannya karena regulasi kuat, tapi kapasitas operasionalnya kewalahan. Sumatera tetap perlu status Bencana Nasional agar secara cepat dapat mengatasi kekurangan kapasitas operasional ini.
Ingatlah bahwa otoritas di atas kertas tidak sama dengan kapasitas operasional di lapangan. Pengalaman berupa lambatnya pendataan korban, distribusi tak tepat sasaran, dan koordinasi belum tertib justru menunjukkan bahwa kapasitas implementasi lokal saat ini sedang gagal, terlepas dari kekuatan regulasinya.
Status bencana nasional secara otomatis akan mengaktifkan sumber daya tambahan dari lintas kementerian/lembaga nasional (TNI, Polri, BMKG, KemenPUPR, dll.) secara terpusat dengan komando tunggal, yang dibutuhkan ketika koordinasi lokal sudah kewalahan.
Bencana yang terjadi “hampir serempak di seluruh Aceh” dengan “korban jiwa dan kerusakan wilayah yang sangat luas” mungkin sudah melampaui kapasitas maksimum Aceh. Perbaikan implementasi butuh waktu. Yang dibutuhkan saat ini adalah suntikan sumber daya dan koordinasi luar biasa secara instan.
Memperdebatkan penguatan BPBA atau BPBD adalah langkah jangka panjang yang baik, namun tidak menyelesaikan krisis darurat bencana Sumatera saat ini. Status bencana nasional adalah mekanisme tanggap darurat (jangka pendek) yang dirancang untuk situasi yang melumpuhkan, di mana koordinasi cepat dan mobilisasi sumber daya adalah prioritas utama.
Disamping itu, status bencana nasional (diatur dalam UU No. 24 Tahun 2007) secara de jure akan memfasilitasi akses cepat ke Dana Siap Pakai (DSP) BNPB, mobilisasi peralatan dan personel berskala nasional, dan penugasan langsung dari Presiden/BNPB Pusat untuk mengambil alih atau mendukung komando di lapangan.
Ironi Kekayaan Alam dan Asumsi Motif Tersembunyi
Ironi yang paling sakit dirasakan oleh masyarakat adalah diskriminasi kebijakan: Kekayaan alam Sumatera (tambang, kayu, dll) dianggap sebagai kekayaan nasional, namun penderitaan akibat bencananya dianggap sebagai beban daerah dan masalah lokal.
Keengganan menetapkan Status Bencana Nasional memunculkan spekulasi publik mengenai adanya konflik kepentingan yang jauh lebih besar daripada sekadar alasan teknis.
Menurut Pasal 7 ayat (2) UU 24/2007, status bencana ditentukan berdasarkan indikator yang meliputi jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana, cakupan luas wilayah, dan dampak sosial ekonomi. Bencana Sumatera, yang melanda tiga provinsi dan 50 kabupaten/kota, telah memenuhi semua indikator tersebut.
Sudah cukup alasan bagi Pemerintah Pusat untuk segera menetapkan status Darurat Bencana Nasional. Penetapan ini sesuai dengan prinsip penanggulangan bencana yaitu cepat dan tepat serta harus menjadi prioritas sebagaimana mandat UU No. 24/2007, Peraturan Pemerintah No. 21/2008, dan Peraturan Presiden No. 17/2018.
Kelumpuhan Logistik dan Kebutuhan Kepemimpinan Krusial
Penanganan bencana akan kurang maksimal apabila pemerintah pusat belum menetapkan status bencana nasional. Apalagi, terputusnya jalur darat di sejumlah wilayah mengakibatkan kelangkaan kebutuhan pokok yang memperparah kondisi warga.
Dalam menghadapi krisis berskala ini, kepemimpinan Presiden yang tegas dan langsung adalah pilar terpenting. Kepemimpinan ini diperlukan tak hanya untuk menguatkan moral publik, tetapi yang lebih utama: memastikan rantai komando logistik dan respons berjalan cepat tanpa terhambat birokrasi.
Tujuannya agar sumber daya tertinggi dapat dialokasikan dengan segera.
Kritik dalam studi manajemen krisis sering menyoroti adanya ‘Kegagalan Koordinasi Vertikal’ dan ‘Horizontal’ (seperti dijelaskan oleh Comfort atau Quarantelli). Status Bencana Nasional adalah instrumen birokrasi tertinggi untuk mengatasi kegagalan koordinasi ini, karena ia memaksa satu komando terpusat.
Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi. Jangan sampai lambatnya penanggulangan justru akan menambah lagi jumlah korban. Dalam situasi krisis, negara harus mengacu pada prinsip fundamental Salus Populi Suprema Lex Esto. Prinsip ini, yang berasal dari filsafat politik Romawi, menuntut agar segala pertimbangan politik, fiskal, dan administratif harus dikesampingkan demi kecepatan dan efektivitas respons terhadap penderitaan publik.
Akar Masalah Sistemik: Penjarahan Hutan dan Gagalnya Tata Kelola
Bencana longsor dan banjir ini tak lepas dari kewajiban dan tanggung jawab negara, karena penyebabnya tak sekedar tingginya curah hujan, tapi berkaitan dengan aktivitas deforestasi dan masifnya pemberian izin-izin konsesi pada perusahaan pertambangan dan perkebunan. Pemerintah gagal dalam tata kelola kawasan hutan dengan memberikan atau mempermudah izin-izin usaha, dan maraknya alih fungsi lahan.
Menurut studi mengenai transisi pasca-bencana, yang seringkali merujuk pada konsep “Mind the Gap” (Lloyd-Jones et al., 2006), kerentanan tertinggi terhadap korban jiwa sering terjadi pada periode pasca-fase tanggap darurat. Kegagalan logistik, sanitasi, dan manajemen pengungsi di minggu ketiga hingga keempat sering memicu ‘bencana sekunder’ berupa epidemi. Inilah mengapa komitmen sumber daya nasional melalui Status Bencana Nasional sangat krusial.
Musibah ini adalah kerusakan sistemik. Tercatat periode 2020-2024 di Sumatera sebanyak ratusan ribu hektar hutan dirusak. Berlangsung sistemik dan berkelanjutan, terlihat dari citra satelit yang menunjukkan kerusakan di kawasan konservasi dan hutan lindung seperti di wilayah perbukitan Taman Nasional Kerinci Seblat. Deforestasi menyebabkan tidak ada pohon yang berfungsi menyerap air, sehingga limpasan air yang besar berujung pada banjir.
Fakta masifnya gelondongan kayu yang terbawa arus sampai ke hilir dan menyumbat Danau Singkarak secara jelas mengungkap jejak kejahatan kehutanan secara terorganisir. Kayu yang keluar dari kawasan hutan tak mungkin tanpa izin, tanpa pengawasan, atau stempel birokrasi.
Tuntutan Rakyat: Penegakan Hukum dan Moratorium
Penanganan pasca bencana harus dibarengi penegakan hukum terhadap kegiatan ilegal di kawasan hutan. Rakyat harus mendesak Penetapan Darurat Nasional dan Moratorium Izin Kawasan Hutan.
Pemerintah melalui Kementerian Kehutanan, ATR BPN, ESDM, dan Lingkungan Hidup bertanggung jawab memastikan tidak terulangnya kembali peristiwa ini dengan melakukan evaluasi total dan moratorium atau penangguhan izin baru. Khususnya terhadap industri ekstraktif dan penegakkan hukum yang serius terhadap aktivitas illegal logging dan tambang ilegal.
Penyelidikan aparat Polri dan PPNS KLHK harus diperluas, bukan lagi menyasar pelaku kecil, tetapi juga struktur korporasi dan pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kerusakan hutan. Negara masih gagal dalam urusan tiga titik utama berikut: Pengawasan hulu (Dishut, Gakkum KLHK, Polhut), penegakan hukum (Polri, Kejaksaan, PPNS KLHK), dan pemerintah daerah yang menutup mata terhadap aktivitas industri kayu.
Tak ada alasan bagi pemerintah pusat untuk tak menetapkan status Darurat Bencana Nasional dengan dalih semisal potensi terganggunya postur anggaran negara, administrasi birokrasi, atau pun politik.
Pemerintah harus memilih antara kejelasan dan akuntabilitas melalui penetapan status, atau membiarkan asumsi dan ketidakpercayaan publik terus tumbuh: sengaja melindungi jaringan pihak-pihak yang merusak alam demi keuntungan sesaat.
Kita berharap ada tindakan cepat, berani, tegas dan terarah serta transparan dari semua pihak untuk menghentikan perusakan hutan, melindungi publik, dan bertanggung jawab menuntaskan segala akibat atas bencana ekologis ini.
Korupsi Ekologis dan Solusi IWRM
Banjir besar di Sumatra (Aceh, Sumut, dan Sumbar) adalah konsekuensi langsung dari “korupsi ekologis,” yaitu kerusakan lingkungan yang dilegitimasi oleh keputusan politik tanpa integritas. Adanya deforestasi masif—dari hilangnya 290.000 hektare hutan di Aceh (Data Dinas Kehutanan Aceh sejak 2015) hingga 420.000 hektare hutan kritis di Sumut—menunjukkan bahwa fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS) telah dikorbankan sedemikian rupa demi ekspansi tambang dan perkebunan. Di Sumbar sendiri lebih dari 60 lokasi tambang pasir dan batu beroperasi di sekitar cekungan sungai dan daerah hulu (Data Dinas ESDM Sumbar).
Ini bukan semata-mata bencana akibat iklim.
Kalau bukan korupsi ekologis akibat pemberian izin tak berintegritas kira-kira istilah apa yang lebih pantas untuk menggambarkan kondisi bencana di Sumatera ini?.
Ironisnya, maraknya korupsi perizinan yang disorot oleh Transparency International Indonesia (2023) terjadi di tengah provinsi yang kaya nilai luhur moralitas. Kegagalan tata kelola ini melenyapkan daya serap air di hulu, mengubah hujan menjadi banjir bandang yang merusak permukiman di sepanjang sungai.
Sudah waktunya pemerintah daerah Aceh, Sumut, dan Sumbar melakukan evaluasi besar-besaran terhadap seluruh izin tambang, perkebunan, serta penggunaan lahan di hulu sungai.
Untuk menghentikan siklus bencana ini, Pemerintah Daerah di ketiga provinsi dapat mengadopsi kerangka Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Adopsi atau Integrated Water Resource Management (IWRM). IWRM menuntut reformasi total dengan menghapus fragmentasi kewenangan sektoral (Kehutanan, Pertanian, ESDM) dan membentuk satu Otoritas DAS terintegrasi. Model ini akan memastikan bahwa setiap keputusan, mulai dari perizinan tambang hingga perkebunan, didasarkan pada prinsip perlindungan fungsi hidrologis DAS, bukan insentif ekonomi sektoral.
FOTO: Warga melintas di area rumah yang rusak akibat banjir bandang di Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Jumat (28/11/2025(ANTARA FOTO/Yudi Manar/sgd)
Ini juga memerlukan evaluasi terbuka dan partisipatif terhadap seluruh izin di hulu, melibatkan masyarakat Adat dan sipil, guna memberikan kekuatan hukum pada prinsip keberlanjutan yang selama ini hanya berhenti di ruang pidato.
Meski IWRM menawarkan solusi holistik, implementasinya menghadapi dua tantangan besar yang menentukan. Yang pertama adalah kehendak politik (political will): para pemimpin daerah dan pusat harus bersedia melepaskan ego dan otonomi sektoral, mengatasi vested interest, dan memprioritaskan lingkungan di atas kepentingan ekstraktif yang sudah mapan.
Yang kedua adalah kapasitas dan pendanaan: IWRM memerlukan investasi besar dalam pemetaan, teknologi, dan pelatihan staf yang mampu bekerja secara lintas sektor.
Tanpa komitmen politik kuat dan tanpa memastikan pendanaan yang memadai, maka IWRM hanya akan menjadi cetak biru tanpa implementasi yang efektif. Dan siap-siap saja bila “korupsi ekologis” akan terus berlanjut sebagai pemicu utama bencana di Sumatera.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Airlangga Pribadi: Prabowo Sedang Hadapi Tirani Jokowi, Pilih Elit Atau Pilih Rakyat

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (13): Membantu Bosnia: Diplomasi Moral dan Dukungan Senjata untuk Muslim Eropa

Kekayaan Keragaman Hayati Tercabut Dari Bumi Sumatra

Banjir Bandang Sumatera: Pembantaian Massif (Saatnya Rakyat Menjadi “Algojo”)

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (11): Pengakuan Dunia, Diplomasi Damai, dan Kiprah Internasional Indonesia di Era Soeharto”

Monumen

Kami Bersama Dokter Tifa

Saatnya Menegaskan Arah, Membongkar Simpang Siur Kekuasaan SDA

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (10): Warisan Stabilitas Makro dan Fondasi Ekonomi Jangka Panjang

Daniel M Rosyid: Bencana Dan Riba Politik





No Responses