CABE, Catetan Babe (137): Pasar dan kemiskinan, sulit bersanding

Oleh : Ridwan Saidi
(Budayawan Betawi, Sejarawan, Politisi Senior)

Pasar istilah terkemudian setelah kedatangan orang2 Persia yang disebut Gedé. Bukan besar. Tapi asal kedatangan orang Persia yang ibukotanya di Pasargedé. Kedatangan orang Persia tak diliput panel relief Borobudur. Berarti mereka datang setelah abad XI.

Pasar bermula ketika edaran alat tukar meluas akibat pesatnya pertumbuhan zona economi pada abad IX. Ketika itu peradaban barter ditinggalkan. Yang terjadi kemudian proses jual beli.

Proses ini terjadi di pangkalan tempat pertemuan yang menjual dan yang membeli. Istilah pangkalan digunakan dalam arti market. Inisial p, b, w sering metatesis. Pangkalan disebut juga bangkalan, dan ada pula yang menyebutnya wangkal.

Orang2 Persia datang ke Andunisi diperkirakan XIII M ketika populasi migran di Andunisi meningkat terutama dengan kedatangan orang2 Indochina. Kedua bangsa ini sebarannya cukup merata Andunisi.

Tidak ada petunjuk kedua bangsa itu menjadi pelaku bisnis di zona economi. Orang Indochina di sini mayoritas bertani, ada pun orang Persia di pangkalan. Kata pangkalan kemudian berubah menjadi pasar.

Sejak awalnya pasar, termasuk harga komoditas dan kapan buka, tidak diatur atasan, penguasa. Pasar diatur kesepakatan. Inilah natuur, jiwa, pasar. Memang pasar tidak mau, karena tidak pernah, diatur kekuasaan.

Bung Karno meninjau pasar

Bung Karno Presiden pertama yang berniat mengatur pasar. Ia turba (turun ke bawah) ke pasar, photo atas. Pengaruhnya terhadap penurunan harga tak ada.

Di jaman Orde Baru yang sering ke pasar Laksamana Sudomo selaku Kas Kopkamtib. Tapi tak banyak pengaruhnya terhadap harga2 kebutuhan pokok di Pasar. Karena pasar tertunduk pada kesepakatan yang diambil para pelaku pasar.

Menko Hartarto tak akan semudah itu dapat mengatur harga minyak goreng, seperti pernyataannya.

Pasar dan kemiskinan tak dapat bersanding. Versi BPS, per Maret 2021 angka kemiskinan 27, 54 juta. Tentu BPS menggunakan parameternya.

Dalam rapat kerja Kemsos dengan Komisi IX DPR 16 September 2021, diungkap 74.420.345 orang pemegang Kartu Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan per September 2021. Apa pemegang KBIJK identik dengan orang miskin atau tidak, tentu memerlukan telaah tersendiri.

Total populasi, bersumber Administrasi Kependudukan, per Juni 2021 adalah 272.229.372.
Bila merujuk Kemsos maka prentase pemegang KBIJK 27% dari total populasi. Sedangkan presentase kemiskinan berdasar data BPS 10% dari total populasi.

Apa pun, kita masih dalam level berjuang melawan kemiskinan. Di tengah kemiskinan yang diderita segmen penduduk yang lumayan besar, menjadi pertanyaan, patutkah menggelar tontonan2 yang konon kelas dunia? (RSaidi)

EDITOR : REYNA

Related Posts