Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 1)

Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 1)
Ilustrasi: Cindelaras dan ayam jagonya

Oleh: Budi Puryanto

Kisah ini terjadi di Kerajaan Jenggala. Disebut juga Kerajaan Panjalu. Pada sekitar abad 12. Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Daha adalah dua kerajaan bersaudara, mewarisi dari kerajaan Kahuripan yang dipimpin raja hebat Prabu Airlangga. Konon Prabu Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua, diberikan kepada dua anaknya. Disebelah timur kali Brantas adalah kerajaan Jenggala (Panjalu). Di sebelah barat kali Brantas kerajaan Daha (Kediri).

Saat itu, di kerajaan Jenggala, permaisuri raja sedang hamil. Seisi kerajaan senang. Karena bakal ada pangeran yang akan menjadi putra mahkota. Raja pun juga senang.

Namun isteri selir raja, yang terkenal cantik jelita, tidak senang melihat permaisuri hamil. Berbahaya, pikirnya. “Raja pangganti harus dari anakku,” bisiknya dalam hati.

Raja sangat mencintai isteri selirnya ini. Karena selain cantik, dia masih muda. Dia juga dikenal cerdas. Rajin mempelajari buku-buku karya para pujangga. Rajin mempelajari kidung. Dan sangat pandai menari.

Cerita sejarah kejayaan tanah Jawa di masa lalu, dia memahami. Cerita-cerita yang digemari rakyat saat itu dia hafal. Seperti Panji Sumirang, Ande-Ande Lumut, Bawang Merah Bawang Putih, Yuyu Kangkang, Calon Arang. Hafal luar kepala.

Namun kecerdasannya membentuk wawasan dan kesadaran yang berlebihan: agar anaknya menjadi raja. Bagaimanapun caranya. Itu alasan mengapa dia mau menjadi isteri selir. Baginya masuk kedalam istana, menjaid isteri selir, adalah tangga menuju cita-citanya. Menjadikan anaknya raja besar di tanah Jawa. Seperti Prabu Airlangga. Prabu Sanjaya. Atau Ratu Shima di Kalingga.

Siasat pertama sudah berhasil. Raja dibuat mabuk kepayang. Sangat mencintainya. Apapun yang diminta, pasti dikaulkannya. Bahkan cinta raja kepadanya melebihi cintanya kepada permaisuri.

Pikiran cerdik. licik, dan jahatnya, mulai bekerja. Diaturlah siasat dengan tujuan menyingkirkan permaisuri dan anak yang dikandungnya.

“Batu penghalang itu harus disingkirkan. Klilip iku kudu ilang soko kraton,” ujarnya kepada seorang nayaka praja, orang kepercayaannya.

Dia beberkan rencana untuk menghabisi permaisuri, secara garis besar. Tidak detail. Meskipun kepada orang kepercayaannya, dia masih  waspada.

“Kehati-hatian harus selalu dipegang. Apalagi ini siasat rahasia. Tidak boleh banyak orang tahu. Saya harus kendalikan sendiri operasi rahasia ini. Tidak boleh orang lain. Berbahaya. Dalam politik tidak boleh terlalu percaya kepada orang lain. Ibarat tangan kanan memukul, tangan kiri tidak boleh tahu,” pikirya dalam hati.

Jatuh Sakit

Tiba-tiba isteri selir itu jatuh sakit. Tidak mau makan. Tidak mau minum. Para embannya, menangis sedih. Karena makin hari badannya makin kurus. Mukanya pucat. Matanya redup.

Raja bingung. Panik. Tabib istana tidak ada yang bisa menyembuhkan.

Seorang punggawa kerajaan yang dekat dengan sisteri selir menyarankan raja untuk mencari dukun sakti. Karena sakitnya sang isteri parah, dan menurutnya, tidak biasa.

Setelah berpikir sejenak raja setuju. Punggawa itu disuruh mencari dukun sakti itu.

Sebelum berangkat sang punggawa menghadap sang isteri raja yang sedang sakit. Punggawa itu tahu sebenarnya sakitnya dibuat-buat. Sakitnya karena tidak mau makan dan minum. Ini siasatnya, dan raja percaya.

Punggawa itu dibisiki ditelinganya, nama dan lokasi desa dukun itu. Tidak ditulisnya. Setelah hapal nama dan lokasinya, punggawa itu berangkat langsung ke tujuannya.

Konon dukun itu memang sakti dan masih murid Calon Arang yang terkenal semasa Prabu Airlangga. Calon arang terkenal dengan sihirnya yang hebat, pengikutnya banyak, dari berbagai pelosok negeri.

Dukun itu langsung dibawa ke keraton. Dia sudah tahu bagaimana skenario sang isteri selir raja itu. Dia sangat setuju. Karena dia sebenanrya juga tidak suka dengan raja yang  sekarang. Karena masih keturunan Prabu Airlangga. Sedang dia mewarisi ilmu gurunya Calon Arang. Juga ikut mewarisi dendam gurunya terhadap anak keturunan Airlangga.

Sesampai di keraton, raja langsung menanyakan kepada dukun itu. “Sakit apa isteriku. Tolong disembuhkan segera. Kamu katanya sangat sakti. Pasti bisa menyembuhkan. Kalau tidak bisa menyembuhkan kamu saya hukum. Karena telah menyebarkan kabar bohong. Hoaks,” kara raja.

“Ampun sang raja, saya akan berusaha keras untuk menyembuhkannya. Namun, setelah hamba diagnosa, sakit sang isteri paduka tidak disebabkan soleh penyakit fisik. Aliran darahnya tetap lancar. Metabolisme tubuhnya tidak kurang apapu. Kiranya, ada sebab lain. Ada  kekuatan hitam tidak kasat mata yang menyebabkan dia jatuh sakit,” ujar dukun itu.

“Disantet, teluh, gitu maksudmu,” tanya raja.

“Begitulah, baginda. Semacam itu,” kata dukun itu, tanpa berani menatap mata sang raja yang sedang marah.

“Siapa yang berani melakukan itu kepadaku. Coba katakan kalau memang kamu sakti. Akan aku bunuh, siapapun dia. Kurang ajar.”

“Ampun baginda raja, hamba takut mengatakannya.”

“Katakan, jangan takut. Siapapun dia.”

“Sang.., sang…, sang… permaisuri baginda raja,” kata dukun itu terbata-bata. Meskipun sekedar bersandiwara, tetap saja dia takut mengatakan didepan raja. Wibawanya besar. Ucapannya adalah hukum. Sabdo Pandito Ratu.

Seperti petir menyambar disiang bolong. Raja kaget bukan kepalang. Tidak pernah diduganya, permaisuri tega melakukan itu kepada isteri tercintanya. “Mungkin dia cemburu,” pikir sang raja.

Karena amarahnya memuncak, dia tidak bisa berpikir jernih. Saat itu juga dia menjatuhkan perintah agar permasuri dibunuh. Dia lupa bahwa didalam kandungan permaisuri ada anaknya, calon penggantinya kelak.

Baca Juga:

Karena tugas penting dan rahasia, tidak bisa diberikan kepada sembarang nayaka praja. Dia tugaskan sang Patih, pedana menteri, kepercayannya, untuk melaksanan tugas berat itu. Perintahnya, bawa permaisuri jauh dari kerajaan dan bunuh disana. Jangan sampai orang tahu.

Anehnya, setelah hukuman dijatuhkan, sakit sang isteri berangsur baik. Wajahnya bersinar kembali. Bahkan berbinar-binar. Meskipun masih nampak lemas, dia sudah mau makan, minum, bahkan juga minum jamu kesukaannya: beras kencur.

Tak lama isteri selir raja sehat dan pulih kembali. Bukan saja badannya yang sudah pulih benar, tapi kecantikannya sudah benar-benar kembali. Bahkan tampak lebih cantik dari sebelumnya. Karenanya raja makin mencintainya. Apalagi permaisuri sudah tidak ada di keraton.

Kebahagiaan raja berlipat-lipat setelah tahu isteri tercintanya hamil. Dia makin cinta. Hari-harinya berisi kebahagiaan bersama isteri selirnya itu. Dia sudah benar-benar lupa terhadap permaisurinya. Dia tidak peduli lagi. Kalau mengingatnya dia justru makin marah saja.

Dibuang di hutan

Alkisah, perintah sang raja dijalankan, tetapi ditengah jalan sang Patih berubah pikiran. Dia tidak tega membunuh persaisuri. Karena dia curiga, semua ini hanya siasat dari isteri selir yang dikenal jahat itu. Insting politiknya mengatakan ini kospirasi jahat untuk mengambil kerajaan yang bukan miliknya. Yang sah menjadi raja adalah putra mahkota, yang lahir dari rahim permasuri. Begitulah hukum yang berlaku saat itu.

Sebagai seorang politisi senior, yang sudah lama mengabdi, dia paham betul seluk-beluk politik di kerajaan itu. Intrik-intrik politik yang terjadi didalamnya tidak ada yang luput dari pengamatannya. Intrik antar punggawa memperebutkan kedudukan. Hingga intrik antar isteri selir raja untuk merebut dan menguasai hati sang raja.

Sang Patih juga tahu bahwa permasuri sedang hamil. Dia mengandung calon raja. Tidak mungkin dia membunuh permaisuri. Meskipun itu perintah dari rajanya.

“Saya taruh mana hati nuraniku kalau saya membunuh permaisuri dan calon raja dikandungannya. Politik tidak boleh menggunakan cara-cara kotor seperti ini. Saya bukan machiavelis yang menggunakan segala cara untuk berkuasa,” katanya dalam hati.

Sejak saat itu dia justru bertekad untuk melindungi permasuri dan anak yang dikandungnya. Makin terang pikirannya, siapa pelakunya dan apa motif dibaliknya. Dia catat dan dia simpan dalam hati rapat-rapat.

hari itu sang Patih dan Permaisuri sampai di hutan belantara, disisi selatan Jenggala. Setelah membuatkan rumah kecil didalam hutan, yang dekat dengan sendang dan sungai kecil, sang Patih mencarikan teman wanita untuk permaisuri, dari desa dekat hutan itu. Dia juga membekali mereka dengan bahan makan yang cukup, dan juga uang yang cukup untuk bekal hidup sederhana ditengah hutan.

Permaisuri yang tahu putusan raja, merasa bersyukur, karena sang Patih tidak membunuhnya. Sebaliknya justru menyiapkan segala keperluan hidupnya, dan mencarikan teman.

“Saya tidak bisa berkata-kata Patih, terima kasihku tak terkira. Semoga Tuhan membalas kebaikanmu. Semoga nasib kerajaan dan rakyat tetap baik dibawah pengawasanmu. Aku tidak bisa melupakan kebaikanmu ini,” ujar permasuri.

“Sudah kewajiaban hamba menjaga keamanan dan keselamatan tuan putri. Saya berharap tuan putri tidak bersedih berlebihan. Ingat bayi yang ada dalam kandungan tuan putri. Dia akan menjadi raja nantinya,” ujar Patih.

Ucapan Patih itu meskipun pelan, serasa energi besar, masuk kedalam jiwa permaisuri. Sedih pilu sirna seketika. Seakan terjadi keajaiban, sosok didepan patih itu berubah. Mukanya bersinar, wajahnya cantik berwibawah, dan senyumnya menebar kebahagiaan. Itulah sosok seorang permaisuri, yang dalam tradisi kerajaan akan menurunkan raja.

Sang Patih yang mengamati perubahan itu menjadi kaget. Sosok didepannya ini seperti bukan permaisuri yang dibawanya dari keraton, untuk dibunuhnya. Tetapi ini sang permaisuri yang memiliki kewibawaan besar laiknya seorang raja. Dia makin yakin, janin didalam rahim permasuri itu akan menjadi raja besar kelak. Masih di rahim saja sudah memberikan pengaruh besar kepada ibundanya.

Sang patih tak kuat memandang wajah permasuri. Dia tertunduk.Ada energi kewibawaan besar yang memancar dari wajah permaisuri. Dia diam terpaku. Hingga sang permasisuri menjatuhkan titahnya.

“Kembalilah Patih, katakan kepada Raja, aku sudah mati. Jagalah dirimu. Jagalah rahasia ini. Jangan kau buka kepada siapapun. Kelak ada masanya, kau akan tahu apa yang terjadi. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih. Ini bawalah, selembar kainku yang sudah berlumur darah, semoga raja percaya kepadamu,” titah permaisuri tenang, seperti tidak terjadi apa-apa padanya.

Dengan cepat Patih menerima kain itu, segera membungkusnya rapi, namun dalam hatinya tumbuh kekaguman. Sang Permaisuri sungguh luar biasa, justru dia belum berpikir bagaimana cara meyakinkan raja. Kain pemberian permasiuri itu, yang sudah dilumuri darah hewan, akan menjadi kunci kepercayaan raja.

Sang Patih menghormat dan berpamitan. Dipilhnya jalan kembali yang berbeda dari keberangkatannya. Malam itu hatinya amat tenang. Bukan seperti saat berangkat. Yang dipenuhi dengan kekesalan, marah, kecewa, atas putusan raja, namun dia tidak bisa menolaknya.

Sesekali dia istirahat sejenak. Merasakan malam yang tenang. Dilihatnya langit penuh bintang. Juga bulan tampak bercahaya. Remang-remang tertutup awan. Dia tertidur. Karena kelelahan. Juga karena hatinya tenang.

Menjelang pagi, ayam berkokok di kejauhan. Fajar merah di ufuk timur merekah. Sang Patih bangun dari tidurnya. Badannya terasa segar kembali. Setelah bersiap, dia melanjutkan perjalanan. Kembali ke kerajaan.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K

2 Responses

  1. Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 2) - Berita TerbaruJune 4, 2023 at 9:57 am

    […] Cindelaras Nekad Ikut Adu Jago, Meskipun Raja “Cawe-Cawe” Menjegalnya – (Bagian 1) […]

  2. strip promoDecember 29, 2024 at 12:59 am

    … [Trackback]

    […] There you will find 75379 more Information to that Topic: zonasatunews.com/budi-puryannto/cindelaras-nekad-ikut-adu-jago-meskipun-raja-cawe-cawe-menjegalnya-bagian-1/ […]

Leave a Reply