Oleh: Slamet Sugianto
Perkembangan terbaru kasus hukum yang menjerat Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, dan Dr. Tifa memperlihatkan bagaimana polemik mengenai keaslian dokumen akademik Presiden Joko Widodo bergerak dari ruang perdebatan publik menuju arena yuridis yang lebih formal. Ketiganya kini menyandang status tersangka, menjalani wajib lapor, dan menghadapi prosedur hukum yang progresif. Namun pergerakan kasus ini juga menempatkan publik pada pertanyaan yang jauh lebih besar: bagaimana seharusnya negara memperlakukan bukti ilmiah, khususnya ketika berasal dari ranah forensik digital?
Buku Jokowi’s White Paper: Kajian Forensik Digital, karya Rismon Sianipar, menjadi salah satu rujukan yang paling sering dibicarakan. Meski disusun oleh pihak yang kini berada dalam pusaran kasus, buku tersebut mengajukan pendekatan teknis yang patut dicermati sebagai bagian dari diskursus ilmiah yang lebih luas. Melalui rangkaian metode—mulai dari Error Level Analysis, Local Binary Pattern, K-Means Color Clustering, SIFT/ORB glyph analysis, hingga Noise Pattern Analysis—buku ini berupaya menguji keaslian dokumen akademik dengan standar yang setara dengan analisis kasus global seperti Hitler Diaries dan Killian Documents.
Namun nilai buku ini bukan semata pada kesimpulannya, melainkan pada pertanyaan epistemik yang ia bangkitkan: sejauh mana forensik digital mampu berperan dalam memastikan integritas dokumen negara ? Dan bagaimana negara merespons hasil analisis ilmiah, terutama ketika ia beririsan dengan politik tingkat tinggi ?
Teknologi sebagai Basis Verifikasi Publik
Dalam literatur forensik modern, tidak ada dokumen yang berada di luar jangkauan verifikasi ilmiah. Prinsip ini ditegaskan kembali dalam buku Rismon ketika ia menunjukkan bahwa dokumen analog yang dipindai secara digital menyimpan jejak kompresi, noise, tekstur tinta, pola kerning, hingga ketidakwajaran lintasan stempel yang dapat dianalisis dengan presisi matematis. Bab-bab yang membedah perbedaan dokumen analog asli dan dokumen hasil rekayasa digital memperlihatkan bahwa keaslian visual dapat diuji di luar narasi administratif.
Perbandingan antara dokumen pembanding dan dokumen yang diuji—sebagaimana dilakukan dalam analisis overlapping huruf–logo, kerning proporsional, atau kesamaan bentuk glyph hingga mencapai tingkat kemiripan lebih dari 80–90 persen—mengarahkan diskursus publik pada isu yang lebih fundamental : transparansi proses akademik adalah isu struktural, bukan isu personal.
Sains hadir bukan untuk memperkuat prasangka, melainkan untuk membuka ruang evaluasi berbasis data.
Ketegangan antara Sains dan Prosedur Hukum
Paradoks muncul ketika temuan teknis yang diklaim ilmiah bertemu dengan mekanisme hukum positif. Status tersangka terhadap Rismon, Roy Suryo, dan Tifa menunjukkan bahwa negara menempatkan persoalan ini sebagai delik hukum, bukan hanya perdebatan akademik. Dalam konteks hukum pidana, bukan sekadar validitas metode yang diperiksa, tetapi juga legalitas penggunaan data, chain of custody, dan dampak publik dari pernyataan ilmiah yang disebarkan secara luas.
Di titik ini, kita mendapati tegangan klasik : Hukum bekerja pada kepastian prosedural; sains bekerja pada keterbukaan dan verifikasi ulang.
Metode forensik digital membutuhkan data sumber, metadata pemindaian, dan akses penuh terhadap berkas asli. Tanpa itu, interpretasi atas ELA, noise pattern, atau navigasi gradien tinta berpotensi bergeser. Buku Rismon menyediakan metode lengkap beserta visualisasi, tetapi belum tentu menyediakan prasyarat legal sebuah alat bukti—yakni verifikasi independen, audit metodologis, dan pemeriksaan multi-laboratorium.
Pemeriksaan ini bukan untuk meniadakan sains, tetapi justru memastikan bahwa sains tidak diperalat untuk tujuan non-ilmiah.
Ruang Publik yang Membutuhkan Literasi Forensik
Kasus ini mengungkap lemahnya literasi publik terhadap bukti digital. Visualisasi citra yang tampak dramatis—warna merah menyala dalam ELA, tepi huruf yang tampak “bersih”, atau stempel yang terlihat tidak menyatu pada foto—sering diterjemahkan publik sebagai “bukti final”. Padahal dalam dunia forensik, analisis visual hanyalah hipotesis awal yang harus diuji melalui multi-method verification.
Ruang publik membutuhkan edukasi bahwa forensik digital adalah cabang ilmu yang kompleks :
– ia sensitif terhadap resolusi gambar,
– sangat dipengaruhi teknik kompresi,
– dan menuntut kontrol variabel yang ketat.
Tanpa pemahaman ini, masyarakat mudah terjebak pada confirmation bias, terlebih ketika isu menyentuh figur politik atau simbol negara.
Membangun Standar Nasional Autentikasi Dokumen
Kasus ini—terlepas dari aspek kriminal atau politisnya—mendesakkan satu kebutuhan mendesak : Indonesia memerlukan standar nasional forensic document authentication. Negara-negara maju memiliki protokol yang ketat mengenai :
– metode pemeriksaan dokumen analog yang didigitalkan,
– standar scan dan metadata,
– prosedur audit laboratorium,
– serta mekanisme publikasi temuan ilmiah sebelum menjadi dasar tindakan hukum.
Tanpa standar ini, kasus masa depan akan terus berputar antara klaim dan bantahan, tanpa titik temu ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penutup : Sains Tidak Boleh Diadili, tetapi Harus Diverifikasi
Pengadilan boleh menentukan status hukum seseorang. Namun kebenaran ilmiah tidak ditentukan lewat proses hukum, melainkan melalui replikasi, verifikasi, dan transparansi metode.
Penelitian Rismon dalam Jokowi’s White Paper membuka pintu penting menuju budaya verifikasi publik. Tetapi jalan menuju legitimasi ilmiah membutuhkan langkah berikutnya: membuka data mentah, memungkinkan laboratorium independen menguji ulang, dan memisahkan argumen ilmiah dari kepentingan politik yang menyelubunginya.
Dalam iklim demokrasi, ilmu harus tetap berada di atas politik. Dalam ekosistem hukum, ilmu harus tunduk pada standar pembuktian. Dan dalam ruang publik, ilmu harus diberi kesempatan untuk diuji, bukan dibungkam ataupun dieksploitasi.
Kasus ini adalah ujian bagi dua hal sekaligus : integritas sains dan ketegasan negara dalam menjamin transparansi dokumen publik. Jika dua-duanya dapat berdiri tegak, maka masyarakat tidak hanya memperoleh kepastian hukum, tetapi juga kepastian pengetahuan — sesuatu yang jauh lebih langgeng dari hiruk pikuk politik sesaat.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Pemburu Diburu Buruan

Banjir Besar: Alarm Krisis Tata Kelola Nasional

Bencana Itu: Siapa Penanggung Utama?

Eksepsi Jokowi Ditolak, Kuasa Hukum Penggugat Akan Hadirkan Roy Suryo cs

Elegi NKRI

Sarang Judi Sabung Ayam di Sugihwaras Merasa Kebal Hukum, Polsek Bagor dan Polres Nganjuk Harus Bertindak Tegas

RUPSLB Bank Mandiri: Ada Apa di Balik Gerak Cepat Yang Terlalu Cepat?

Korban Banjir Sumatera Mulai Terserang Penyakit, Wakil Ketua Komisi IX Yahya Zaini Minta Kemenkes Kirim Dokter dan Obat

Imam Utomo Turun Gunung Kawal RS Pura Raharja Hadapi Konflik Internal

Banjir Bandang Di Sumatra: “Dosa Ekologi”



No Responses