Jejak Aksi Rusuh Akhir Agustus: Membaca Pernyataan Dr. Anton Permana

Jejak Aksi Rusuh Akhir Agustus: Membaca Pernyataan Dr. Anton Permana
Anton Permana (kiri) dalam Podcast Refly Harun

JAKARTA – Kegaduhan politik nasional kembali mencuat di penghujung Agustus. Aksi demonstrasi yang berujung rusuh di sejumlah titik Jakarta tidak hanya memunculkan pertanyaan soal lemahnya pengamanan, tetapi juga membuka ruang spekulasi yang lebih dalam: siapa sebenarnya aktor di balik peristiwa tersebut?

Dalam podcast bersama Refly Harun, Dr. Anton Permana, aktivis sekaligus pengamat politik asal Payakumbuh, mencoba membongkar tabir di balik kerusuhan itu. Menurutnya, kasus ini tidak bisa dilihat sebagai peristiwa biasa. Ada terlalu banyak anomali yang mengindikasikan bahwa demonstrasi bukanlah murni aspirasi rakyat, melainkan ada skenario yang lebih besar.

Dugaan Keterlibatan TNI

Salah satu isu paling sensitif adalah dugaan keterlibatan TNI. Refly Harun menanyakan hal ini secara langsung, mengingat ada beberapa indikasi di lapangan dan kemudian diperkuat dengan kabar tentang kedatangan seorang jenderal TNI ke Polda Metro Jaya.

Bagi Anton, peristiwa itu tidak bisa dianggap remeh. Apalagi ketika nama Ferry Irwandi, founder Malaka Project yang juga berasal dari Payakumbuh—kampung halaman Anton—ikut terseret dalam pusaran isu. Kehadiran jenderal TNI ke kepolisian seakan memberikan sinyal bahwa kasus ini bukan sekadar urusan sipil, tetapi sudah masuk ke ranah yang lebih luas, menyentuh relasi antar lembaga negara.

Namun Anton menegaskan, TNI pada dasarnya adalah institusi yang solid dan profesional. “TNI pasti terluka dengan tuduhan berada di balik aksi demo itu. Kalau dasarnya hanya tertangkapnya anggota BAIS, ya BAIS itu kan lembaga intelijen. Justru ini bisa jadi koreksi buat TNI. Tapi TNI tetap solid, tidak ada perpecahan di dalamnya. TNI itu satu komando,” ujar Anton.

Pernyataan ini menegaskan bahwa meski ada individu yang mungkin terlibat atau disebut-sebut, jangan serta-merta menyeret nama institusi secara keseluruhan.

Post Factum Theory: Siapa yang Diuntungkan?

Anton kemudian mengangkat apa yang ia sebut sebagai post factum theory—sebuah pendekatan analisis yang menanyakan satu hal sederhana: siapa yang paling diuntungkan dari sebuah peristiwa?

Menurutnya, teori ini penting untuk membedah rusuh akhir Agustus. Demonstrasi yang semula digadang-gadang sebagai gerakan moral tiba-tiba berubah jadi kericuhan masif, lengkap dengan vandalisme, penjarahan, hingga korban luka. Publik tentu bertanya: siapa yang mendapat keuntungan dari kekacauan ini?

“Kalau kita bicara post factum, maka akan banyak spekulasi. Ada yang menyebut geng Solo, ada yang menyebut Parcok, ada pengusaha hitam yang merasa dirugikan bisnisnya, ada pula pejabat yang terancam posisinya. Semua punya motif,” kata Anton.

Dengan kata lain, rusuh itu menjadi arena tarik-menarik kepentingan. Ada yang sengaja melemparkan batu lalu bersembunyi, berharap situasi gaduh akan melemahkan lawan politik atau membuka ruang tawar baru di lingkaran kekuasaan.

Spekulasi: Dari Geng Solo Hingga Oligarki

Anton tidak menutup mata bahwa spekulasi berkembang liar di masyarakat. Sebagian menuding kerusuhan itu didalangi oleh “geng Solo”, sebuah istilah yang belakangan dipakai untuk merujuk pada kelompok dekat penguasa asal Solo. Ada pula yang menyebut “Parcok”—akronim bagi kelompok politik tertentu yang kerap muncul dalam percakapan publik.

Lebih jauh, muncul juga tuduhan keterlibatan pengusaha hitam. Mereka yang selama ini diuntungkan oleh proyek-proyek besar negara, kini merasa terpojok oleh aturan baru atau kasus hukum yang menjerat. Dengan duit melimpah, mereka diduga menggerakkan massa untuk menciptakan instabilitas.

Tak berhenti di situ, beberapa analis bahkan menduga kerusuhan ini hanyalah manifestasi konflik internal pemerintahan sendiri. Pertarungan antar faksi, baik di lingkar politik maupun ekonomi, menjadikan jalanan sebagai ajang pelampiasan.

Dilema Hukum dan Politik

Kasus Ferry Irwandi menjadi ilustrasi menarik. Sebagai aktivis sekaligus founder Malaka Project, ia disebut-sebut melakukan pelanggaran hukum dalam konteks aksi tersebut. Namun, bagi Anton, masalahnya tidak sesederhana itu. Ketika aparat menjerat individu tertentu, publik bertanya: apakah hukum benar-benar ditegakkan, atau justru ada upaya mengambinghitamkan pihak-pihak tertentu?

Anton menegaskan bahwa hukum seharusnya tegak lurus, tidak boleh dipakai sebagai alat kepentingan politik. “Kalau ada pelanggaran, ya proses saja sesuai hukum. Jangan ada kesan hukum dipakai untuk menekan, sementara aktor besar yang bermain di belakang layar dibiarkan,” tegasnya.

Gejala Konflik yang Lebih Besar

Menurut Anton, apa yang terjadi di akhir Agustus hanyalah gejala dari konflik yang lebih besar. Ada ketidakpuasan, ada perebutan sumber daya, ada juga kecemasan pejabat yang merasa terancam posisinya. Semua itu berpadu, lalu menjadikan jalanan sebagai medan tempur simbolik.

Ia mengingatkan bahwa demokrasi bisa runtuh jika aparat keamanan ditarik-tarik dalam pusaran konflik politik. Dugaan keterlibatan TNI, entah benar atau sekadar rumor, sudah cukup berbahaya. Sebab, hal itu akan merusak prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi sistem demokrasi modern.

Penutup: Antara Fakta dan Spekulasi

Pernyataan Dr. Anton Permana menegaskan bahwa rusuh akhir Agustus tidak bisa dipahami hanya dengan kacamata permukaan. Ada lapisan-lapisan kepentingan yang bersilang, dari oligarki, pejabat, geng politik, hingga aparat keamanan.

Post factum theory yang ia ajukan menjadi cara sederhana namun tajam: lihatlah siapa yang diuntungkan. Dari sana, benang kusut perlahan bisa diurai.

Namun, sampai saat ini, kebenaran tetap berada di ruang abu-abu. Fakta bercampur spekulasi, hukum bercampur politik. Satu hal yang pasti, publik menuntut transparansi, kejelasan, dan keberanian negara untuk menegakkan kebenaran—apapun risikonya.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K