Memaknai Kembali Kepemudaan

Memaknai Kembali Kepemudaan
Daniel Mohammad Rosyid

Oleh: Daniel Mohammad Rosyid
@Rosyid College of Arts

Hari ini kita memperingati 97 tahun Soempah Pemoeda. Peristiwa yang kita peringati hari ini menandai kelahiran sebuah bangsa baru, yaitu bangsa Indonesia. Pemuda dan pemudi dari berbagai latar belang suku dari seluruh Indonesia bertekad menanggalkan sukuisme untuk menyambut sebuah entitas sosial-budaya baru yang disebut bangsa Indonesia dengan bahasa yang satu yaitu bahasa Indonesia. Soempah Pemoeda ini terbukti menyediakan prasyarat sosial-budaya bagi kelahiran negara baru, sebuah nation-state, bukan tribal-state yang diproklamasikan Soekarno-Hatta 17 tahun kemudian.

Proklamasi itu segera diikuti dengan rancangan rumah Indonesia bagi sebuah bangsa yang masih relatif muda dalam bentuk UUD 18/8/1945 sebagai sebuah deklarasi perang melawan semua bentuk penjajahan sekaligus strategi untuk memenangkan perang tersebut. Namun Belanda menolak rancangan rumah Indonesia itu dengan melakukan aksi militer untuk kemudian memaksakan UUD RIS hasil KMB 1949 yang pada dasarnya menolak entitas bangsa Indonesia, lalu membujuk agar pemuda-pemuda itu kembali pada sukuisme, atau tribalism. Justru dengan UUD 18/8/1945 itu bangsa Indonesia menolak nasionalisme Indonesia sebaga a glorified tribalism dengan suku Jawa mendominasi entitas bangsa baru ini. Bahwa UUD 18/8/1945 ditulis dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa, itu bukan kejadian ujug-ujug yang bisa diremehkan. Di titik ini penting dicermati bahwa nilai-nilai Islam yang tumbuh di Nusantara menjadi enabling factor bagi banyak suku-suku di Indonesia untuk menerima gagasan yang melampaui sukuisme tentang bangsa Indonesia.

Tidak banyak bangsa yang berhasil mewujudkan sebuah nation state. Kebanyakan berakhir menjadi tribal state. Bahkan AS dah China juga gagal menjadi negara bangsa. Uni Eropa gagal. Malaysiapun gagal. Bangsa Indonesia yang terdiri ratusan suku dan bahasa berhasil menyepakati sebuah bangsa yang satu yang berbahasa satu, yaitu Indonesia. Persatuan Indonesia ini terus diganggu dengan persatean Indonesia yang terus digunakan untuk memecah belah bangsa ini. Pilpres langsung model UUD 10/8/2022 hasil gerakan reformasi terbukti berhasil membelah bangsa ini menjadi suku cebong, dan kampret. Keterbelahan bangsa ini harus kita akhiri.

Bangsa memang hanya sebuah fiksi, sebuah imajinasi, an imagined community yang terus menjadi, bukan in status quo, tapi in statu nascendi. Pengalaman menjadi bangsa Indonesia itu terus berlangsung hingga hari ini. Tidak akan pernah selesai. Pemuda Indonesia yang kini banyak menjadi digital natives di dunia maya tanpa-batas ini perlu melakukan pemaknaan kembali tentang arti menjadi pemuda Indonesia. Jika pembangunan adalah sebuah proses perluasan kemerdekaan maka pemuda Indonesia memiliki tugas yang pertama untuk belajar menjadi pemuda yang berjiwa merdeka. Hanya dengan jiwa yang merdeka itu, para pemuda bisa memahami arti bertanggung jawab melestarikan narasi tentang Indonesia sesuai minat dan kompetensinya.

Pengalaman menjadi bangsa Indonesia yang getir, pahit, dan gelap selama 10 tahun terakhir telah membawa narasi buruk tentang Indonesia. Kesenjangan, kemiskinan, kebodohan harus secara bertahap lenyap dalam narasi tentang Indonesia itu. Sebagian pemuda telah memilih menjadi “warga negara” Facebook, X, Instagram, atau TikTok, walaupun banyak yang tidak menyadari technofeudalism di balik platform medsos itu. Penting bagi generasi baby boomers atau sesudahnya untuk memastikan pengalaman generasi milenial yang memberi harapan, prospek, dan optimisme agar pemuda pemudi Indonesia kini berani mengambil tanggungjawab mengunyah sejarah dan mengimajinasikan ulang Rumah Indonesia baru sebagai ruang ekspresi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Surabaya, 28 Oktober 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K