Tulisan berseri ini diambil dari Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, lihat linknya dibawah tulisan ini.
Novel “SAFARI” ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata yang dialami sejumlah mahasiswa yang kuliah di luar negri dikombinasi dengan pengalaman pribadi penulisnya. Seorang mahasiswa yang memiliki semangat tinggi untuk menuntut ilmu di negara maju, ditopang oleh idealisme berusaha memahami rahasia kemajuan negara lain yang diharapkan akan berguna bagi bangsa dan negaranya saat kembali ke tanah air.
Karya: Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Cover Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store. Ikuti linknya dibawah
SERI-2
Musim dingin menyongsong hari-hari pertamaku di Aachen, sebuah pengalaman baru yang sangat menyenangkan. Matahari bersinar lembut, menyisir ufuk Selatan, menebar tabir biru keputihan di langit siang. Salju sering turun pada pagi dan sore hari, bagaikan serpihan-serpihan kapas yang berjatuhan dari langit, menorehkan bercak-bercak putih di jalan-jalan, halaman gedung, pepohonan, atap-atap rumah, dan menara menara katedral yang menjulang. Udara yang sangat dingin terus mendekap tubuhku sepanjang hari.
Aku suka berjalan kaki menyusuri taman-taman kota, di antara gedung-gedung tua dengan jalan-jalannya yang sempit di pusat kota lama. Terasa ada kenikmatan tersendiri saat membungkus tubuhku dengan tiga, bahkan sampai empat lapis pakaian, dengan pakaian yang paling dalam berupa longjohn. Orang-orang Indonesia menyebutnya Celana Monyet. Mungkin karena pakaian itu membungkus seluruh badan, dari mata kaki sampai ke leher, dan hanya bagian untuk pipis saja yang diberi lubang. Pertama kali menggunakan pakaian ini terasa sangat lucu, tapi lama-lama aku menjadi terbiasa.
Di alam terbuka, dingin udara mendekati nol derajat. Aku sembur-semburkan nafas dari tenggorokanku. Saat keluar dari mulut, tampak bagai hembusan asap rokok. Aku teringat saat menonton film-film Hollywood, para pemainnya sering terlihat melakukan hal serupa. Perbedaan tajam antara suhu udara yang keluar dari dalam mulut dan suhu udara di alam terbuka, membuat nafas yang terhembus dari paru-paru itu segera menjadi kabut.
Aku kuliah di Reinisch-Westfalischen Technischen Hochschull Aachen, yang biasa disingkat menjadi RWTH. Dalam Bahasa Inggris disebut Aachen University of Technologi. Kampus utamanya berupa bangunan tua, terlihat kuno dari luarnya, dan terkesan kampus Aachen University of Technologi antik. Tapi, ternyata bagian dalamnya sangat mewah, dilengkapi berbagai peralatan modern. Aku sangat bangga bisa diterima di kampus ini, universitas tempat Habibie pernah menimba ilmu. Aku harus menandatangani banyak sekali blanko yang tampaknya sudah dipersiapkan dengan baik sebelumnya. Selain gratis biaya kuliah, Aku juga mendapatkan Asuransi Kesehatan, tempat tinggal di asrama plus uang saku setiap bulannya, semua berasal dari pemerintah Jerman.
Semua universitas negeri di Jerman sebenarnya gratis, termasuk bagi mahasiswa asing. Tapi, bagi mereka yang tidak memperoleh beasiswa, harus membiayai hidup dan keperluan sekolahnya secara mandiri. Banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jerman berstatus seperti ini.
Sebelum kuliah dimulai, Aku banyak memanfaatkan waktu senggang seperti mengunjungi pegunungan yang tertutup salju. Orang-orang ramai menari atau berolahraga di atasnya dengan berbagai macam bentuk alat bermain Ski Es. Kugenggam sebongkah salju, lalu kulemparkan sekuat tenaga untuk meyakinkan diriku bahwa Aku tidak sedang bermimpi. Aku sempatkan untuk mengambil foto dengan berbagai gaya menggunakan HP sebagai kenangan. Bima, mahasiswa yang mengambil bidang studi Teknik Kedirgantaraan, hanya tersenyum geli memerhatikan tingkah-lakuku. “Dulu saat baru datang Aku juga seperti itu”, ujar orang yang biasa menemani sekaligus menjadi guide-ku.
Berbagai hewan musim dingin yang jarang Aku jumpai di tanah-air, juga tampak di berbagai tempat dengan masing-masing atraksi khasnya. Saat hendak memasuki sebuah mall, Aku sangat terpesona menyaksikan pinguinpinguin kecil yang diletakkan di ruang terbuka di sebelah pintu masuk. Di udara dingin seperti itu, mereka terkesan sama sekali tak merasa kedinginan. Bahkan tampak ceria, bersenda-gurau dengan teman-temannya. Berbagai gerakannya terlihat lucu sekali. Banyak orang yang
tertawa menyaksikan tingkah-laku mereka. Bahkan tak sedikit anak-anak yang terlihat enggan beranjak dari situ. Posturnya yang mirip burung dengan moncong seperti bebek, hewan itu berjalan tegak terseok-seok seperti gaya berjalan orang gemuk. Orang-orang yang mau masuk ke mall berkerumun menyaksikan tingkah mereka. Tampaknya pemilik mall sengaja menempatkannya sebagai daya tarik bagi pengunjung.
Selama di Aachen, yang agak mengganggu perasaanku hanyalah persoalan makanan. Selain khawatir dengan kehalalannya, lidahku juga sulit berkompromi dengan makanan Barat. Apalagi masakan Jerman, yang katanya banyak menggunakan minyak Babi sebagai penyedap. Untuk mengatasinya, Aku memilih membeli kentang goreng di McDonald, atau terkadang Aku memasak nasi sendiri dengan lauk telor goreng atau rebus. Tapi, sejak kutemukan Restoran Istambul dekat kampus, acara memasak hanya kulakukan untuk makan malam saja. Restoran itu menyediakan masakan khas Turki dan berbagai macam kebab. Selain halal dan harganya terjangkau, rasanya juga cocok di lidahku. Pemiliknya pun sangat ramah.
Selain Siskebab, yang sangat mirip dengan sate di Indonesia, jenis yang paling kugemari adalah kebab daging kambing bakar. Daging itu dipotong-potong kecil dicampur dengan sayuran, lalu digulung dengan roti tipis. Daging itu langsung diiris dari tempatnya agar ketika disajikan kepada pembeli, kehangatannya tetap terjaga. Di Timur Tengah, makanan itu lebih dikenal dengan sebutan Shawarma. Menurut ukuran harga makanan Jerman, harga kebab jenis ini termasuk cukup murah. Setelah beberapa kali mengunjungi Restoran itu, Mustafa, si pemilik restoran yang sebelumnya hanya tersenyum ramah saat melayaniku, kini mulai menyapa;
“Dari mana asal Anda?”, katanya dengan Bahasa Jerman.
“Indonesia”, jawabku singkat sambil menikmati kebabnya.
“Tapi, wajahmu mirip orang Turki”, katanya.
Apakah betul wajahku mirip orang Turki atau ini cara dia merayu pembeli agar Aku makin fanatik menjadi pelanggan restorannya, wallahua’lam.
“Anda juga mirip orang Indonesia”, balasku dengan maksud bercanda. Mustafa tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
“Sejak kapan Anda berjualan kebab di sini?”, tanyaku.
“Oh ini warisan ayahku. Aku hanya melanjutkannya. Aku lahir dan dibesarkan di sini. Sebetulnya ayahku ingin aku berkuliah seperti Anda, lalu bekerja di perusahaan, mengenakan jas dan dasi dengan gaji besar. Tapi aku tidak serius bersekolah, kemudian terdampar membantu menjaga restoran ini saja. Lama-kelamaan ayahku menyerahkannya kepadaku. Hanya sekali-sekali saja ia datang”.
“Oh, begitu”, sahutku.
“Makanya Anda yang serius berkuliah, kalau tidak, nanti jadi penjual kebab”, katanya lagi dengan nada menasehati sambil melirikku.
Kini Aku yang tertawa lepas, “Aku suka kok jadi penjual kebab”, komentarku sekadar untuk menghiburnya.
Aku menyukai Mustafa. Selain suka ngobrol, humornya juga tinggi. Apalagi ia suka memberikan teh kepadaku secara cuma-cuma. Aroma teh Turki sangat wangi dan rasanya agak sepat. Kadang-kadang, kalau jenuh di kampus, Aku menghabiskan waktu di Restorannya. Ia paling suka bercerita tentang kebesaran Turki Usmani yang di masa jayanya wilayah kekuasaannya sampai ke Austria, tetangga Jerman di Barat, hingga ke India di Timur. Bahkan, pengaruhnya sampai ke Aceh, tentu termasuk Timur-Tengah, Asia Tengah, dan Afrika Utara. Darinyalah aku banyak mendengar tentang kejayaan Kesultanan yang sempat menggetarkan Barat itu.
“Ayahku memilih nama Istanbul untuk restoran ini penuh dengan pertimbangan. Anda tahu Istanbul?”, katanya sambil menoleh ke arahku.
“Kota paling besar di Turki”, jawabku sambil mengunyah kebab.
“Kurang tepat!”, sahutnya.
“Ibukota lama negara Turki”, Aku mencoba lagi.
“Hampir benar”, komentarnya.
Aku mencoba terus mencari jawaban yang diinginkan Mustafa, tapi tidak kunjung kutemukan. Mungkin karena terlalu lama, Mustafa lalu menyela, “Sebetulnya dua jawabanmu benar semua. Tapi yang terpenting untuk diingat, Istanbul adalah ibu kota dan pusat pemerintahan Kekaisaran Byzantium atau Romawi Timur yang dulunya bernama Konstantinopel. Namanya diubah menjadi Istanbul setelah kota itu jatuh ke tangan Kesultanan Usmani di bawah Panglima Sultan Muhammad al-Fateh
pada pertengahan abad ke-15. Nama sang Sultan sebenarnya hanya “Muhammad” lalu mendapat julukan “al-Fateh” yang berasal dari Bahasa Arab yang berarti “Sang Penakluk”. Nama tambahan ini diberikan setelah penaklukan Konstantinopel”.
Kuliah pertama
Hari pertama kegiatan kuliah, Aku benar-benar merasa berada di negeri maju. Para dosennya mengajar menggunakan bahasa Inggris, kadang campur dengan bahasa Jerman. Mereka mengajar dengan menggunakan Power Point dan mengoperasikannya dengan menggunakan laptop yang dihubungkan ke proyektor. Mahasiswa pun lebih nyaman mengikuti kuliah. Tapi sesekali, para dosen menggunakan White Board saat memberikan analisa atau penjelasan tambahan.
Mahasiswanya kebanyakan berkulit putih dan berambut pirang. Hanya beberapa saja yang berasal dari Asia. Yang sangat menarik perhatianku adalah seorang mahasiswa berwajah Arab yang sebelumnya sempat Aku lihat di Restoran Istambul. Rambutnya agak pirang bergelombang. Alisnya hitam lebat. Kulitnya putih kemerahan. Badannya atletis, tapi tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang Eropa, hanya sedikit lebih tinggi dari badanku yang tidak sampai seratus tujuh puluh senti meter.
Saat mengikuti pelajaran berikutnya, Aku sengaja duduk di sebelahnya. Dia acuh saja, tak menolehku sama sekali.
“Assalamu’alaikum”, Aku memulai.
“Alaikum salam”, jawabnya sambil menoleh ke arahku.
“Are you Muslim?”, tanyanya bergairah dengan menggunakan bahasa Inggris.
“Tentu”, jawabku.
“Where do you come from?”.
“Indonesia”.
“Oh, Andonesi”, sahutnya sambil tersenyum.
“ Sorry, I guessed you are Philipino”.
Dia memutar badannya ke arahku, serta menjulurkan
tangannya untuk berjabatan. Rupanya, sebelumnya Ia
mengira Aku berasal dari Filipina yang umumnya beragama
Katolik. Tampaknya Ia antusias setelah mengetahui bahwa
aku Muslim.
“And you?”, tanyaku balik.
“Balestine”, katanya dengan dialek Arab yang sangat kental.
“Do you mean Palestine?”, tanyaku dengan maksud menegaskan.
“Yes!”, katanya membenarkan.
Aku menyambut uluran tangannya. Ia memegang tanganku erat sekali.
“I am Azam Albalawi. Call me Azam”, katanya sambil tersenyum.
“ I am Amil bin Mujahid! Call me Amil”, balasku.
Lewat jabatan tangan dan pandangan matanya, Aku merasakan ada kehangatan yang luar biasa. Palestina merupakan nama yang tidak asing di kepalaku. Ayahku sering menyebut bangsa ini. Guru agamaku di SD dan SMP dulu juga suka menyebut Palestina, negeri tempat Masjid al-Aqsha berada. Masjid al-Aqsha merupakan tempat suci ketiga bagi umat Islam setelah Masjid al- Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Tiba-tiba Aku teringat saat salah seorang penceramah di Masjid Salman di depan kampus ITB menyebut bahwa Palestina, bersama Filipina Selatan, Thailand Selatan, Chechnya dan Khasmir, merupakan saudara-saudara kita yang masih dijajah.
Saat dosen melirik ke arah kami, obrolan segera dihentikan, mungkin ia merasa terganggu walaupun kami hanya berbisik. Usai kuliah Aku menuju ke food court untuk makan siang. Dibanding di luar, harga makanan di sini cukup murah. Ada sebuah restoran dengan tulisan Lebanese Food yang menarik perhatianku. Di ujungnya tertulis “halal” dengan bahasa Arab.
Setelah makan siang, Aku pergi ke mushala di lantai dua, tidak jauh dari Food Court. Aku melihat Azam sedang shalat sendirian. Aku berdiri di samping Kanannya, dan memberi isyarat menepuk pelan pundaknya untuk ikut shalat di belakangnya. Setelah mengucapkan salam tanda shalat usai, tampak Ia sangat terkejut kalau makmumnya adalah Aku. Ia menjabat tanganku. Setelah selesai berdoa Ia duduk santai. Aku pun memanfaatkannya untuk melanjutkan pembicaraan yang tadi terputus. Aku merasakan Dia lebih terbuka.
“Bagaimana keadaan di Palestina saat ini?”.
“Semua serba tak pasti. Rakyatnya miskin dan diisolasi. Kami seperti berada dalam penjara besar”.
Aku melihat wajahnya seperti orang putus asa tanpa harapan. Aku merasa iba lalu kucoba untuk menghiburnya,
“Anda tidak sendirian! Umat Islam di seluruh dunia berada di sampingmu”.
“Terimakasih atas dukungan politik Indonesia selama ini. Tapi yang kami butuhkan lebih dari itu”.
“Maksudnya”, tanyaku tak mengerti.
“Kami butuh bantuan ekonomi dan senjata”.
“Tapi, Indonesia kini sedang menghadapi kesulitan ekonomi. Secara geografis, jaraknya sangat jauh, sulit untuk memberi bantuan senjata”.
“Aku tahu itu. Tapi, negara-negara Arab yang kaya tetangga kami itu sangat mengecewakan”.
“Apakah mereka tidak membantu?”, tanyaku dengan heran.
“Mereka membantu, tapi tidak memadai. Selain itu, berbagai bantuan yang diberikan lebih untuk kepentingan politik mereka sendiri dibanding untuk menolong kami. Karena itu, kini kami berjuang lebih bertumpu pada kekuatan sendiri”.
“Tapi, kekuatan Palestina tidak sebanding dengan apa yang dimiliki Israel”.
“Jangan katakan itu!”, Ia terlihat tersinggung.
“Kami telah membuktikan dengan intifadha dan bom syahid yang membuat Israel mundur dari Gaza. Sekarang kami berjuang agar mereka juga mundur dari Tepi Barat dan al-Quds”.
“Apa yang Anda maksud dengan al-Quds itu adalah Masjid al-Aqsha yang terletak di Yerusalem?”, tanyaku.
“Yerusalem adalah nama yang diberikan oleh Yahudi. Kami menyebut kota yang sama dengan al-Quds. Masjid al-Aqsha atau Haram al-Syarif, nama yang kami sering gunakan, merupakan sebuah kompleks suci bagi Umat Islam di Yerusalem Timur”.
“Anda menyebut intifadha dan bom bunuh diri merupakan cara yang dipilih untuk mengusir penjajah Israel. Apakah dengan cara menggunakan tubuh manusia untuk menyerang itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam?”.
“Maaf, jangan gunakan istilah bom bunuh diri. Itu istilah yang diciptakan oleh musuh-musuh kita. Gunakanlah istilah bom syahid”, katanya serius.
“Inilah yang sangat Aku sesalkan! Banyak tokoh yang sudah tidak bisa memberikan bantuan senjata, atau bantuan ekonomi, atau dukungan politik, masih tega memojokkan kami dengan cap seperti itu. Artinya, sekadar empati pun tidak mau mereka berikan, sehingga tega mengatakan saudara-saudara kami yang berjuang sampai mengorbankan nyawanya sendiri demi membebaskan Palestina dengan sebutan buruk itu. Perlu diketahui, semua itu kami lakukan karena terpaksa, ketika
cara lain tidak dapat dilakukan dan cara itulah yang menurut perhitungan kami telah membuat Israel memperhitungkan kami. Sekiranya kami memiliki senjata lengkap, tentu cara itu tidak akan kami gunakan lagi. Dari dialog ini Aku mengetahui banyak hal yang tak Aku ketahui sebelumnya. Tapi, suasana tampaknya tidak kondusif untuk diteruskan. Karena itu, Aku berpikir cepat untuk meredakan suasana, di samping bukanlah waktu yang cocok untuk berdebat dengan kawan baru.
Apalagi Aku merasakan kehangatannya. Aku tidak ingin persahabatan ini terganggu.
“Maaf, Aku tidak terlalu paham tentang politik. Kini Aku lebih mengerti makna di balik istilah dan sebutan yang digunakan”, kataku untuk mengakhiri pembicaraan.
“Syukran (terima kasih)!”, katanya tersenyum.
Kajian Islam
Pada hari Jumat, sesudah kuliah kedua, Aku meninggalkan
ruang kelas menuju Student Center-sebuah ruangan luas yang tertutup. Tempat ini biasa digunakan para mahasiswa untuk berbagai kegiatan, seperti olahraga, pentas seni dan budaya, serta terkadang untuk diskusi ilmiah. Tapi, pada hari Minggu digunakan untuk kegiatan keagamaan
penganut agama Nasrani, Sabtu untuk Yahudi, dan Jumat untuk shalat Jumat bagi penganut Islam. Sesudah shalat Jumat, biasanya dilanjutkan dengan pengajian.
Kalau khutbah Jumat lebih banyak menyinggung masalah Tauhid, Ibadah, dan masalah yang lebih normatif, maka pengajian sesudah shalat Jumat biasanya membahas tema-tema yang lebih kontemporer, meskipun seringkali dibungkus dengan kajian tafsir atau hadis. Tema-tema yang paling sering dibahas adalah demokrasi, HAM, kepedulian lingkungan, dan kajian perempuan. Tema itu banyak diminati oleh para mahasiswa dan mahasiswi di kampus ini.
Baca Juga:
Aku melihat Azam ikut sibuk mempersiapkan pengajian. Rupanya Ia adalah salah seorang anggota Takmir (pengurus) mushala di kampus yang juga mengelola pengajian setiap Jumat. Belakangan Aku baru tahu bahwa Azam sudah memasuki tahun ketiga. Dua tahun sebelumnya Ia mengambil program under graduate. Bersamaku, kini Ia mengikuti program master yang di Indonesia disebut program strata dua (S2) atau pasca-sarjana. Pengajian diikuti oleh mahasiswa maupun mahasiswi. Tak semua mahasiswi peserta pengajian yang berjilbab. Tak jarang ikut juga mahasiswa non-Muslim yang hadir sekadar ingin tahu.
Tema-tema keagamaan betul-betul dikaji dengan pendekatan ilmiah, yang disesuaikan dengan isu yang sedang berkembang. Mulai dari yang ringan sampai berbagai argumen ilmiah yang didasarkan pada data historis, sosial, politik, sains, dan teknologi. Walaupun banyak disajikan yang berat seperti masalah sejarah, filsafat, kebudayaan, data empiris hasil riset, umumnya para penceramah harus tunduk pada Al-Qur’an dan Sunah Nabi. Karena ternyata terlalu banyak fenomena di alam ini yang tidak mampu dijelaskan oleh teori ilmiah. Terlalu banyak fenomena alam yang belum dipahami, bahkan mungkin tak terjangkau kemampuan manusia yang kemudian dikategorikan sebagai gaib.
Aku jadi bertanya-tanya apa makna gaib yang sebenarnya. Apakah yang dimaksud gaib itu sesuatu yang memang tidak terjangkau dan tidak akan pernah terjangkau manusia karena keterbatasan yang dimilikinya? Atau hanya sesuatu yang belum bisa dijangkau hari ini. Sehingga, sejalan dengan perkembangan penemuan manusia, serta akibat kemajuan sains dan teknologi, pada saatnya nanti, masalah yang tadinya gaib akan menjadi tidak gaib lagi.
Di tempat ini Aku semakin menyadari ketinggian agama, dengan doktrin-doktrinnya yang jelas dan sederhana, sehingga bisa dijalani oleh semua orang, baik yang berilmu maupun yang tidak. Dengan kata lain, agama
merupakan jalan pintas menuju kebenaran, sementara Iptek dapat dikatakan merupakan jalan panjang dan berliku dalam mencari kebenaran, termasuk melalui proses penyempurnaan terus-menerus, bahkan bergenerasi untuk mendekati sebuah kebenaran. Apalagi prinsip trial and error atau cara coba-coba, juga diakui sebagai salah satu pendekatan ilmiah.
Di tempat ini, secara tak langsung Aku juga belajar politik. Istilah-istilah yang sering digunakan dalam pentas politik global, seperti double standart (standar ganda) yang dipraktikkan Barat, banyak dikeluhkan para penceramah, baik dalam kaitannya dengan demokrasi maupun penegakan HAM. Barat sangat membanggakan isu itu. Menurut kebanyakan para penceramah, para pemimpin negara-negara Barat Sebagian besar tidak objektif dan syarat kepentingan. Negara-negara yang otoriter sepanjang tunduk pada kemauan Barat akan disanjung, sementara negara-negara yang mempraktikkan demokrasi secara benar tapi kritis terhadap kemauan Barat akan dicari-cari kesalahannya. Kalau perlu, institusi PBB akan digunakan untuk memberikan hukuman. Dalam hal pakaian perempuan, misalnya. Mereka yang rok mini, bahkan yang tidak berpakaian sama sekali, dianggap sebagai bagian dari artikulasi hak asasi. Sementara, yang memakai jilbab, yang bagi umat Islam dipandang sebagai sarana untuk melindungi kehormatan perempuan sekaligus memuliakannya, dituduh sebagai simbol kekolotan atau kefanatikan, sehingga harus diberantas.
Setelah mengikuti beberapa pengajian di kampus ini, wawasanku tentang agama bertambah luas dan dalam. Berbagai argumen yang Aku dengar sangat masuk akal dan sulit dibantah. Hanya saja Aku belum bisa menerima sikap para penceramah yang cenderung mengkritik dan menyalahkan Barat. Bagiku negara-negara Barat adalah negara-negara maju dan makmur yang patut ditiru, dan umat Islam harus berani melakukan introspeksi diri untuk menemukan penyebab ketertinggalannya selama ini. Lebih dari itu harus mau belajar dari mereka.
Dalam waktu bersamaan Aku mulai belajar berpikir kritis dan objektif. Melalui beberapa pengajian ini Aku menjadi paham bahwa nilai-nilai sekuler Barat sesungguhnya berakar pada budaya Yunani dan Romawi kuno.
Jejaknya bisa ditelusuri dengan mudah melalui berbagai peninggalannya dalam bentuk patung maupun lukisan. Dalam batas tertentu nilai-nilai Islam juga mempengaruhi sekularisme yang berkembang di Barat.
Tapi, ada juga penceramah yang berpendapat bahwa bukan mustahil sikap standar ganda itu juga dipengaruhi oleh trauma sejarah bangsa Eropa terhadap Islam. Dua kali umat Islam menggedor Barat. Yang pertama, melalui Andalusia, nama yang diberikan umat Islam pada wilayah Iberia yang kini bernama Spanyol dan Portugis. Yang kedua, melalui Turki Usmani yang menguasai hampir separuh Eropa. Umat Islam merupakan satu-satu bangsa yang pernah menaklukan Barat. Bangsa-bangsa besar lain, seperti Mongol hanya menyentuh Sebagian kecil daratan Eropa, itupun dalam waktu yang tidak lama. Sementara Cina, India atau Persia pada masa kejayaannya tidak pernah menyentuh daratan Eropa.
Aku berusaha untuk selalu hadir mengikuti pengajian sehabis shalat Jumat. Selain para penceramahnya berkualitas, juga merupakan kesempatan untuk bertemu saudara sesama Muslim. Para mahasiswi yang hadir pun banyak yang enak dipandang. Seringkali kesempatan mengikuti pengajian juga digunakan untuk mengenal lebih dekat satu sama lain. Bahkan, tidak jarang yang kemudian bermuara pada pernikahan.
(Bersambung…..)
Baca selanjutnya SERI-3 : Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-3): Air Mata Untuk Sang Saka
EDITOR: REYNA
Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:
Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ Judul Novel: Safari https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ Judul Novel: Bersujud Diatas Bara https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ![]()
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
Api di Ujung Agustus (Seri 22) – Duel Senyap di Rumah Sakit
Api di Ujung Agustus (Seri 21) – Baku Hantam di Dua Pintu
Phuket weedSeptember 20, 2023 at 5:33 am
… [Trackback]
[…] There you will find 82741 additional Information to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
superkaya88December 4, 2023 at 1:09 am
… [Trackback]
[…] Find More Information here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
click this link nowFebruary 13, 2024 at 9:15 pm
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
siteApril 6, 2024 at 9:14 pm
… [Trackback]
[…] Find More here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
Conventional Tank Water Heater Repair PlumbersApril 17, 2024 at 1:26 pm
… [Trackback]
[…] Information on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
บอลยูโร 2024May 16, 2024 at 9:14 am
… [Trackback]
[…] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
altogelJune 29, 2024 at 4:59 pm
… [Trackback]
[…] Info on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
โคมไฟJuly 28, 2024 at 7:27 am
… [Trackback]
[…] Read More Information here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
ลวดสลิงAugust 29, 2024 at 7:55 am
… [Trackback]
[…] Read More on to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
ธุรกิจงานศพSeptember 12, 2024 at 7:05 am
… [Trackback]
[…] Info on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
dultogel 4dSeptember 23, 2024 at 6:40 am
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
special promoOctober 26, 2024 at 5:07 am
… [Trackback]
[…] Read More on on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]
promoJanuary 11, 2025 at 9:32 am
… [Trackback]
[…] There you will find 95275 additional Info to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-2-celana-monyet-dan-penguin-kecil/ […]