Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-28): Mengunjungi Ghetto

Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-28): Mengunjungi Ghetto
Dr Muhammad Najib, Dubes Indonesia Untuk Spanyol dan UNWTO, bersama isteri

Tulisan berseri ini diambil dari Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, lihat linknya dibawah tulisan ini. Atau pesan langsung bukunya pada redaksi zonasatunews.com dengan nomor kontak WA: 081216664689

Novel “SAFARI” ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata yang dialami sejumlah mahasiswa yang kuliah di luar negri dikombinasi dengan pengalaman pribadi penulisnya. Seorang mahasiswa yang memiliki semangat tinggi untuk menuntut ilmu di negara maju, ditopang oleh idealisme berusaha memahami rahasia kemajuan negara lain yang diharapkan akan berguna bagi bangsa dan negaranya saat kembali ke tanah air. 

Karya: Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Cover Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store. Ikuti linknya dibawah. 

SERI-28

Kunjungan kami berikutnya ke California jatuh pada hari Sabtu dan minggu. Seperti biasanya, sebagian besar acara pada hari itu lebih banyak rekreatif. Ada acara yang nonton kabaret, Disneyland atau ke pantai. Kadang-kadang juga acara bebas, dan kita bisa mengatur sendiri. Sejak awal kami diingatkan, agar para peserta tidak memanfaatkan acara bebas mereka ke tempat-tempat yang melewati slam area yang lebih popular dengan sebutan ghetto. Katanya, slam area tidak aman, apalagi bagi orang asing.

Bagiku peringatan itu justru mengundang rasa ingin tahuku. Sekiranya tidak pernah diberikan peringatan seperti itu, mungkin hasratku untuk mengunjunginya tidak akan pernah muncul. Pada Sabtu siang Aku putuskan untuk mengunjungi salah satu slam area. Aku berangkat sendiri dengan menggunakan taksi yang disebut cab. Pengendaranya berkulit hitam. Saat sopir menekan argo sembari bertanya, where will you go, aku menjawab, “Aku ingin mengunjungi salah satu ghetto”.

“Mau berjumpa teman?”, tanyanya sambil memerhatikan lebih teliti wajahku yang bertampang Asia.

“Tidak”, jawabku.

“Lalu?”.

“Aku ingin shalat di sana”.

“Apakah Kamu Muslim?”.

“Ya”.

“Aku juga Muslim”, katanya dengan senyum.

“Oh ya!”, sahutku spontan, antara kaget dan gembira.

“Di sini banyak orang kulit hitam yang beragama Islam”, timpalnya.

Rupanya dia menangkap keherananku.

“Apa alasan orang hitam di sini memilih Islam?”, tanyaku ingin tahu.

“Dengan memeluk Islam kami merasa lebih terhormat. Tapi, lebih dari itu, dengan memeluk Islam kami dapat berubah menjadi orang baik dalam waktu sekejap”.

Taksi terus bergerak di jalan yang cukup mulus dan padat. Aku merasa mendapat taksi yang tepat, karena sopirnya Muslim.

“Sorry, Anda mau ke ghetto yang mana?”, tanyanya lagi.

“Yang ada masjidnya”, jawabku mantap.

“Hampir semua ghetto di sini ada masjidnya. Akan kuantar Anda ke masjid yang imamnya agak pintar. Aku suka mendengar ceramahnya”.

Taksi keluar dari jalan besar berbelok ke Kanan memasuki jalan agak sempit. Tampak rumah-rumah berderet seperti gudang tua. Banyak dinding yang dicorat-coret di sana sini dengan berbagai tulisan yang Aku tak mengerti maknanya. Orang-orang berkulit hitam dengan pakaian agak kumal, laki-laki, perempuan, tua dan muda, berlalu lalang. Sebagian di antara mereka duduk memerhatikan orang yang lewat. Sampah-sampah atau barang-barang rongsokan berserakan di sana-sini. Aku tidak merasa sedang berada di Amerika, tampak sepertinya di pojok kota di Afrika yang miskin.

Taksi berhenti di depan sebuah bangunan bertuliskan Masjid Mariam. Tidak ada kubah, apalagi menara seperti masjid-masjid di Indonesia. Aku turun kemudian membayar.

“Thanks”, kata sang sopir, diikuti ucapan, “Assalamu’alaikum,” kemudian menancapkan gas.

Aku lantas masuk ke dalam masjid. Ruangan dalam masjid cukup bersih. Orang-orang yang duduk di dalam masjid juga lebih bersih dari yang ada di luar. Aku kemudian mengerjakan shalat sunnah dua rakaat. Seorang pemuda berkulit hitam, yang memakai baju putih dengan kopiah putih, kemudian mengumandangkan azan. Tanda shalat Dzuhur hendak dimulai. Seusai mengumandangkan azan ia duduk kembali. Beberapa jamaah datang, sebagian langsung duduk dan sebagaian lagi melakukan shalat sunnah qabliah dua rakaat. Setelah semua selesai, si muazin menoleh ke belakang lalu berdiri kembali untuk kamat. Seorang kulit hitam setengah baya kemudian maju ke depan memimpin shalat berjamaah.

Tidak ada yang aneh pada shalat mereka, serupa dengan yang Aku lakukan di tanah air. Usai shalat mereka pergi satu per satu, dan beberapa jamaah tetap tinggal di masjid untuk melanjutkannya dengan zikir. Sang imam kemudian berdiri kembali untuk melakukan shalat sunah ba’diyah dua rakaat. Seusai shalat Aku menghampirinya. Sambil memberi salam, Aku menjulurkan tanganku untuk menyalaminya.

“Waalaikum salam”, jawabnya sambil menyambut tanganku dan memegangnya dengan sangat kuat. Ia memerhatikan wajahku yang berbeda dengan jamaah lainnya.

“Where do you come from?”, katanya.

“Indonesia”, jawabku.

“Tapi, Saya sedang belajar di Eropa”, kataku menjelaskan.

“Dalam rangka apa ke sini ?”, katanya ingin tahu.

“Saya diundang pemerintah Amerika”.

“Kini Anda melihat The real America di sini”, katanya dengan senyum sinis. Aku tak mengerti apa maksudnya.

“Maaf sampai lupa tanya, nama Anda?”, katanya lagi.

“Amil,” jawabku.

“Dan Anda?”.

“Karim”.

“Berapa persen yang beragama Islam di ghetto ini?”, tanyaku ingin tahu.

“Tidak mudah menjawabnya. Hampir separuhnya mengaku Islam. Tapi, yang konsisten menjalankan shalat lima waktu baru sebagian. Bagi kami, Islam lebih sebagai identitas yang bisa memberi kebanggaan bagi orang yang tercampakkan”, jawabnya.

“Maksudnya?”, tanyaku tak faham.

“Orang-orang kulit putih memandang kami sebagai makhluk yang berbeda dengan mereka. Bahkan mereka merendahkan serta menghinakan kami. Memang benar orang-orang hitam banyak yang terperangkap dengan alkohol, obat-obat terlarang, bahkan akrab dengan berbagai kejahatan. Tapi, semua itu tidak bisa dipisahkan dari kebijakan mereka yang memaksa anak-anak kami ke sudut itu”.

Aku terperangah. Sama sekali tak terbayangkan, di sebuah negara yang menyebut diri super power dan gemerlap, ternyata di dalamnya tersembunyi jeritan seperti itu.

“Lalu apa yang Bapak maksud Islam memberikan kebanggaan?”, tanyaku.

“Mereka yang telah memeluk Islam umumnya segera bisa meninggalkan kebiasaan buruknya. Mereka kemudian menjadi pekerja keras dengan disiplin tinggi. Sehingga, mereka kemudian banyak menuai simpati”.

“Kapan orang-orang kulit hitam di sini mulai mengenal Islam?”.

“Saya tidak tahu pasti. Menurut yang Saya baca dimulai sekitar tahun 1930-an, di Detroit oleh seseorang bernama Fard. Dilanjutkan oleh Elijah Muhammad, kemudian dipopulerkan oleh Malcom X. Kini kami dipimpin oleh Louis Farrakhan”.

“Apakah ada organisasi dakwah yang dibangunnya?”.

“Oh ya, kami berhimpun dalam organisasi bernama Nation of Islam, disingkat NOI”.

“Aktivitas dakwah apa saja yang dilakukan?”.

“Banyak. Mulai dari pendidikan, aktivitas ekonomi dan jasa keamanan. Tapi, yang paling popular adalah aktivitas dakwah di penjara-penjara”.

“Nama NOI terdengar aneh”.

“Memang. Sebagian dari para tokoh itu punya obsesi untuk membangun negara sendiri untuk kami, terpisah dari orang-orang kulit putih”.

Aku kemudian melihat jam yang tanpa terasa lebih dari satu jam Aku sudah berada di Masjid Mariam.

“Ada acara lain?”, tanya Karim.

“Ya”, jawabku sambil berdiri.

Dia ikut berdiri mengantarku sampai di depan pintu masjid. Tangannya kemudian menyetop sebuah taksi berwarna kuning. Dia lalu membukakan pintu untukku. Aku membuka kaca mobil itu. Saat mulai bergerak Aku mengucapkan, “Assalamu ‘alaikum”.

“Wa ‘alaikum salam”, jawabnya sambil melambaikan tangan.

Saat sampai di hotel, seperti biasanya, Aku melihat argo kemudian menyerahkan uang pada sopir taksi.

“Sorry, kami tidak bisa menerimanya”.

“Kenapa?”, tanyaku, kaget.

“Karena Anda tamu guru kami”, katanya dengan sopan.

“Tidak apa-apa”, Aku menyodorkan uang lagi dengan sedikit memaksa.

“Terimakasih”, katanya sambil menggerakkan mobilnya.

Hari berikutnya rombongan menuju ke New York. Kami mengunjungi patung Liberty yang terletak di pulau kecil yang berjarak hanya sekitar satu kilometer dari pusat kota New York. Kami harus menggunakan kapal Ferry yang bergerak bolak-balik membawa penumpang yang pada umumnya turis, karena tidak ada penghuni lain di tempat itu, selain patung Liberty itu sendiri. Di tempat bertumpunya patung ternyata ada ruangan yang cukup luas, dan terdiri dari beberapa lantai. Kami naik menggunakan lift ke atas. Ada booklet yang menceritakan proses pembuatan patung tersebut, dibawa dari Perancis dalam bentuk potonganpotongan dan kemudian direkonstruksi di atas pulau kecil itu. Aku teringat cerita Hasan saat kami melihat patung Liberty yang asli di Paris.

Baca Juga:

Saat teman-teman kembali ke Hotel Hilton tempat kami menginap untuk istirahat, waktu Aku manfaatkan untuk melihat apa yang kini dikenal dengan nama Ground Zerro, area bekas menara kembar WTC dulu berdiri. Dulu tempat ini menjadi pusat bisnis sekaligus lambang kedigdayaan Amerika Serikat dalam dunia bisnis. Kini menjadi tanah kosong di antara gedung-gedung jangkung yang seolah berlomba mencakar langit, sehingga matahari susah untuk menyentuh bumi yang kita pijak. Aku melihat seorang tua berwajah Asia Selatan, berpakaian tradisional Pakistan dengan kopiah putih di kepala.Rambut dan janggot lebatnya sudah berwarna dua. Ia menatap tanah kosong di depannya dengan pandangan hampa tanpa bergerak bagai patung.

“Assalamu ‘alaikum”, sapaku.

“Wa ‘alaikum salam”, jawabnya pelan tak bergairah.

Orang tua itu mengalihkan pandangannya ke arahku secara perlahan.

“Where do you come from?”, tanyanya kemudian.

“Indonesia”, jawabku.

“Indonesia is the great country”, komentarnya.

Senang juga dipuji seperti itu, apalagi oleh orang asing.

“Are you studying here?”, tanyanya.

“No, I am a tourist. And you?”.

“Saya berasal dari Pakistan. Saya datang ke sini 25 tahun lalu membantu majikan Saya yang punya bisnis di kota ini. Setelah anak kami lahir dan diberi kewarganegaraan Amerika, Aku memutuskan untuk menetap di sini. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Aku memberinya nama Farhan, yang artinya bahagia. Karena Ia menjadi satusatunya kebahagiaan Saya, harapan dan tumpuan masa depan Saya. Tapi kini ia telah tiada”.

“Apakah dia meninggalkan Bapak?”, tanyaku.

Aku menduga, akibat pergaulan lalu sang anak seperti orang Barat kebanyakan yang lupa pada orang tuanya.

“Ya”, katanya.

Ternyata Aku salah duga.

“la meninggalkan Aku pada 11 September 2001, bersamaan dengan runtuhnya gedung kembar WTC. Ia terkubur bersama lebih dari tiga ribu orang di tempat ini. Karena itu, Aku menganggap inilah makamnya”.

Hatiku terasa teriris mendengar cerita haru orang tua itu. Tiba-tiba Aku seperti disadarkan. Sebuah kebahagiaan selama ini Aku miliki tanpa Aku sadari. Seluruh keluargaku masih lengkap, kedua orang tua dan dua adik. Alangkah bahagianya Kami dibanding orang tua itu. Alhamdulillah, Aku mengucap syukur dalam hati. Apakah orang tua itu tahu, apa sebetulnya yang terjadi di balik runtuhnya menara kembar itu. Kebiasaanku menyelidik muncul.

“Menurut Bapak, siapa yang harus bertanggung jawab atas meninggalnya anak Bapak dan korban lainnya itu?”, tanyaku dengan hati-hati.

“Saya ini orang awam, tidak mengerti politik. Tapi kalau Anda ingin tahu, Saya punya teman yang mungkin bisa menjawab pertanyaan itu”.

Boleh juga, pikirku.

“Saya akan meninggalkan kota ini besok pagi. Nanti malam sesudah dinner Saya tidak ada acara. Ini alamat hotel dan nomor kamar Saya”, kataku sambil menuliskannya pada selembar kertas kecil, kemudian menyerahkan padanya.

“Oh ya, siapa nama teman Bapak itu?”.

“Namanya Bill Collins”.

Mendengar namanya, Aku menduga pastilah ia orang Amerika asli. Untuk meyakinkan Aku bertanya, “Apakah dia orang kulit putih?”

“Betul”, jawabnya.

Lalu Aku berpamitan, menjabat tangannya, sambil mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum”.

Aku kembali ke Hotel dengan taksi. Beristirahat di kamar sambil memutar CNN. Usai makan malam, Aku menuju lobby, mengambil surat kabar setempat sekadar untuk mengisi waktu. Seorang berkulit putih-merah, berpostur tinggi besar dengan jenggot panjang dan kepala agak botak, kembali dari meja informasi menatap ke arahku. Jangan-jangan ini orangnya, pikirku. Aku bergerak pelan mendekatinya.

“Are you Mr. Collins?”, tanyaku.

“Yes I am”, jawabnya dengan suara mantap.

Lalu Aku mengajaknya ke kafe agar kami bisa mengobrol dengan lebih nyaman. Ia memilih tempat duduk di sofa, lalu meluruskan kakinya. Aku memilih posisi tempat duduk di depannya, dibatasi sebuah meja rendah, sehingga kami leluasa berdialog.

“Saya dengar Anda sedang mencari tahu tentang peristiwa 11 September?”, tanyanya.

“Betul”, jawabku.

“Apakah Anda seorang wartawan?”, tanyanya mencari tahu profesiku.

“Bukan. Saya seorang mahasiswa”.

“Apa yang menarik Anda pada peristiwa 11 September?”.

“Saya melihat sampai saat ini peristiwa itu masih menyimpan misteri. Menurut Anda, siapa sebenarnya di balik peristiwa yang sangat mengguncangkan dunia itu?”, tanyaku.

Bill mengangkat ujung celana kanannya sampai ke dengkul. Aku terperangah. Ternyata kakinya plastik.

“Kaki palsu!”, kataku spontan.

Ia hanya tersenyum saat melihat mataku membelalak.

“Saya seorang Mujahidin”, katanya memulai.

“Oleh-oleh ini Saya dapatkan di Chechnya, saat Saya bertempur melawan tentara Rusia di sana. Saya juga pernah bertempur di Khasmir dan Afghanistan. Saya memiliki banyak teman di sana. Saya mengenal tokoh-tokohnya. Dan Saya mengetahui jaringannya”.

Aku hanya mendengarkan saja. Aku berusaha untuk tidak menyela. Kubiarkan ia bercerita leluasa. Sambil menyandarkan badan dan mengangkat tangan kanannya, kemudian diletakkan di sandaran kursi, Bill melanjutkan ceritanya.

“Aku yakin para Mujahidin itu, setidaknya yang Aku kenal, tidak terlibat”, katanya dengan suara mantap.

“Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?”, tanyaku.

“Pertama, orang-orang yang disebut-sebut oleh pemerintah Amerika ikut dalam penyerangan, tidak punya hubungan dengan tokoh-tokoh Mujahidin dan tidak pernah berjuang di medan tempur sebelumnya. Kedua, Saya pernah membantu CIA dan FBI dalam upaya menyingkap aktor di balik peristiwa itu. Tapi, mereka selalu mengarahkan penyelidikan ke tempat-tempat yang menurut Saya justru semakin menjauh dari fakta sebenarnya”.

“Maaf, Saya tak faham maksudnya”, selaku.

“Begini, tampaknya masalah ini akan tetap menjadi misteri dalam waktu yang lama. Tapi, Aku yakin pada saatnya kebenaran tidak bisa lagi ditutup-tutupi. Dan pada saatnya tiba nanti, Aku khawatir rakyat Amerika tidak siap menerimanya”.

“Maksudnya?”, kejarku.

“Bisa jadi faktanya akan berbeda dengan versi pemerintah Amerika saat ini”.

“Bagaimana dengan kecurigaan terhadap Osama bin Laden?”, tanyaku lagi.

“Menurut Mantan Mentri Luar Negeri Pakistan Niaz Naik, Amerika sudah berencana menyerang Afghanistan jauh sebelum WTC rontok. Ia mendengar informasi itu pada Juli 2001 dari pejabat Amerika, dalam sebuah pertemuan di Berlin yang diprakarsai PBB untuk membahas masalah Afghanistan. Jadi tidak ada hubungannya antara Osama dengan rontoknya WTC”.

“Bagaimana pendapat Anda tentang serbuan Amerika ke Irak?”.

“Seluruh alasan yang digunakan oleh orang-orang yang bertanggung-jawab atas penyerbuan itu ternyata tidak terbukti. Menurut Saya alasan sebenarnya serbuan Amerika ke Afghanistan maupun ke Irak masih mereka sembunyikan!”.

“Apakah Amerika ingin menguasai minyak Irak yang memiliki cadangan terbesar kedua setelah Saudi Arabia?”,

Aku coba memancing.

“Jelas sekali. Tapi, tidak sekadar itu.”.

“Lalu apa?”.

“Gabungan antara kepentingan politik, ekonomi dan militer, yang secara umum disebut keinginan untuk mempertahankan supremasi Amerika di tingkat global. Dan, bukan mustahil ada dendam pribadi tokoh-tokoh penting di negeri ini terhadap negara tertentu atau terhadap penguasa ternetu”.

“Aku tak mengerti apa maksud dendam pribadi?”, komentarku spontan.

“Sebelum Bush Junior menyerang Irak, bapaknya yang sering disebut Bush Senior sudah bersiteru dengan Saddam. Lalu ia memerintahkan tentara Amerika untuk menyerang Irak yang kemudian dikenal dengan Perang Teluk Pertama. Hanya saja, saat itu tidak sampai menggulingkan penguasa Irak itu. Setelah perang usai, Saddam berusaha membangun kembali kekuatannya dan terus mengolok-olok Bush. Inilah yang disebut oleh Bush Junior sebagai pekerjaan yang tersisa.

Aku kini mulai memahami apa sebenarnya yang terjadi, walaupun belum sepenuhnya mengerti, mengingat kompleksitas persoalan di Timur Tengah. Dari penjelasan Collins yang cukup meyakinkan, misteri tragedi runtuhnya menara kembar WTC, yang diduga ditabrak pesawat yang dibajak teroris yang punya jaringan dengan Osama bin Laden, sedikit terkuak. Begitu juga tentang alasan penyerbuan Amerika ke Irak dan Afghanistan.

Pertemuanku dengan Bill Collins cukup mengesankan. Acaraku di Amerika pun tinggal beberapa hari lagi. Philadelphia merupakan kota terakhir yang kami kunjungi. Kota ini pernah menjadi ibukota Amerika pada awal kemerdekaannya. Kata Philadelphia sendiri memiliki makna persaudaraan. Konstitusi Amerika disusun di kota ini, tepatnya di Independence Hall, jalan Chesttnut Street, yang dulunya bernama Pennsylvania State House.

Dari gedung itulah kemerdekaan Amerika Serikat dikumandangkan pada 4 Juli 1776. Rancangan deklarasinya dibuat oleh Thomas Jefferson. Di depan Independence Hall terdapat The Liberty Bell Center yang menyimpan lonceng raksasa yang diyakini sebagai lonceng yang dibunyikan saat deklarasi kemerdekaan Amerika dikumandangkan. Karena dibunyikan terlalu keras, bibir lonceng itu pecah. Para turis antre untuk menyaksikan bel bersejarah yang dilindungi oleh kaca tebal itu.

Saat meninggalkan Amerika Serikat, negeri yang dijuluki super power itu, tidak sedikitpun muncul perasaan kagum, sebagaimana perasaan yang selalu mendominasi kepalaku sebelumnya. Bahkan, muncul perasaan kecewa setelah melihatnya dari dekat. Ternyata, Amerika tidak seindah yang Aku bayangkan. Banyak yang baik tapi juga tidak sedikit yang buruk. Barangkali karena kehebatan mereka membentuk citra, dan kemampuan mereka menguasai media, sehingga orang-orang yang melihatnya dari TV atau surat kabar akan terkelabui.

(Bersambung…..)

EDITOR: REYNA

Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:

Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra
https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ

Judul Novel: Safari
https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ

Judul Novel: Bersujud Diatas Bara
https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ


Buku-buku novel karya Dr Muhammad Najib juga bisa dibeli di Shoppe melalui link: https://shp.ee/ks65np4
Last Day Views: 26,55 K

11 Responses

  1. https://prowly.com/magazine/best-press-release-websites-/September 19, 2023 at 2:37 am

    … [Trackback]

    […] Find More on on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  2. superkaya88October 1, 2023 at 6:53 pm

    … [Trackback]

    […] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  3. click to find out moreNovember 24, 2023 at 3:22 pm

    … [Trackback]

    […] Information on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  4. cv letter templateDecember 28, 2023 at 6:39 am

    … [Trackback]

    […] Read More Information here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  5. Click This LinkFebruary 6, 2024 at 1:06 am

    … [Trackback]

    […] Find More on to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  6. instant crypto exchangeAugust 9, 2024 at 3:00 pm

    … [Trackback]

    […] There you will find 24905 more Info to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  7. overwatch chat hackSeptember 26, 2024 at 11:22 am

    … [Trackback]

    […] Info on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  8. readSeptember 27, 2024 at 8:38 pm

    … [Trackback]

    […] Information on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  9. SylfirmOctober 10, 2024 at 12:46 pm

    … [Trackback]

    […] Here you will find 73274 more Info on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  10. บับเบิ้ลกันกระแทกOctober 13, 2024 at 4:02 am

    … [Trackback]

    […] Read More Info here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

  11. fuck boy 2024December 21, 2024 at 4:29 am

    … [Trackback]

    […] Read More to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-28-mengunjungi-ghetto/ […]

Leave a Reply