Sang Brutus: Siapa Berikut?

Sang Brutus: Siapa Berikut?
Foto: Seorang pengunjuk rasa berjalan sambil membawa bendera Indonesia di depan gedung Mabes Polri Daerah (MAPOLDA) Jatim yang dijarah di Surabaya, Indonesia, pada 31 Agustus 2025 [Juni Kriswanto/AFP]

Oleh: Agus Wahid
Penulis: analis politik

Nama Marcus Junius Brutus mendunia namanya, sejak zaman klasik, meski lahir pada 85 sebelum masehi (SM). Sosok yang lebih akrab dikenal dengan Brutus ini menjadi sangat terkenal karena peranannya yang berhasil membunuh Raja Julius Caecar di Gedung Senat Kerajaan Romawi, pada 15 Maret 44 SM. Keberhasilan membunuhnya karena berkomplot dengan salah satu petinggi Kerajaan Romawi: Gaius Cassius Longinus.

Persekongkolan itulah yang membuat nama Brutus dikenal luas. Bukan sekedar namanya, tapi tindakan pengkhianatannya. Karena itu nama Brutus menjadi diksi yang diplesetkan dalam panggung politik: sang pengkhianat negara.

Dalam kontek Indonesia, sungguh relevan untuk menggaungkan nama Brutus. Usai demo besar-besaran yang awalnya menuntut sense of crises pemerintah agar lebih peduli dan mengurangi beban ekonomi rakyat, tapi justru diambil kesempatan sebesar-besarnya bagi kaum Brutus alias pengkhianat. Mereka mengambil prakarsa serius untuk menggulingkan Prabowo secara paksa. Makar.

Memang, makarnya beda. Tidak mengepung istana atau diri Presiden Prabowo. Tapi, dengan cara memobilisasi sebagian rakyat. Menciptakan ketidakamanan kondisi nasional. Sebagian tak menyadari dirinya diekspolotasi. Tapi – sebagian lagi, terutama para aktor intelektualnya – sengaja mendayagunakan sebagian rakyat untuk melakukan tindakan anarkis dalam bentuk penjarahan, membakari sejumlah fasilitas umum, bahkan membenturkan antara entitas aparat keamanan versus rakyat. Rakyat pun berjatuhan. Dan mereka pun digiring untuk membenci rezim ini.

Kalangan perusuh yang sengaja menciptakan kekacauan itulah sang Brutus sejati. Kini, sedang terjadi spekulasi siapa sesungguhnya sang Brutus dalam peristiwa kemarin? Mengutip Ferry Irwandi, pakar IT jebolah University of Monash (Australia), #hastag pada 25 Agustus, jelas alamatnya, meski Ferry tetap tak menyebut namanya. Meski demikian, nama Gibran menjadi tertuduh sebagai dalang penggerak mobilisasi massa yang tak bertanggung jawab itu.

Muncul pertanyaan mendasar, mungkinkah Gibran melakukannya? Pertanyaan ini muncul karena sosok Gibran yang undercapacity. Jauh dari level kecerdasan. Tak punya catatan pengalaman yang mumpuni untuk politik pergerakan level nasional. Karena itu, dugaan itu menjadi melebar, mungkinkah inner circle di dalam dan di luar istana? Jawabnya, why not?

Realitas menunjukkan, Gibran adalah sosok riil yang saat ini ada di lingkaran istana. Begitu juga, ada lingkarannya dalam kabinet. Maka, hasil tracking Ferry Irwandi sebenarnya cukup makes sense. Karena itu, tidaklah mengagetkan ketika Prabowo mencopot beberapa Menteri karena diduga kuat punya relasi politik yang cukup kuat sebagai Geng Solo. Sulit disangkal, mereka yang tercopot bukan semata-mata Geng Solo, tapi ulah kebrutusannya selama ini, melalui tindakan “sabotase” kebijakan yang selalu tidak sejalan dengan visi-misi Presiden yang tertuang dalam Asta Cita, atau pembusukan melalui tindakan korupsi yang melampaui batas.

Meski sudah berganti rezim, mereka tetap merasa al-Wowi is their boss. Perasaan ini pernah dinyatakan secara eksplisit oleh di antara Menteri yang terpecat itu, usai kunjungannya ke kediaman al-Wowi di Solo, meski beratas nama lebaran. Sebuah pernyataan yang menggambarkan dua “matahari” yang – dalam adab ketatanegaraan – tidak pantas bahkan melukai perasaan presiden saat ini.

Namun, spekulasi lain juga berkembang. Dengan tingkat stupidness sang Gibran, dia – secara biologis – tak bisa dilepaskan dari bokapnya. Sementara, al-Wowi – data publik bicara – sejatinya tak pernah rela melepaskan kekuasaannya. Belum lama ini dan hal ini terviral di media sosial, dirinya masih merasa sebagai orang nomor 1 di Indonesia, meski tidak menyebut sebagai apa. Post power syndrome ini menjadikan al-Wowi diduga kuat terus meggerakkan energinya untuk sebuah misi besar: makar.

Tekadnya semakin menggelora karena terdapat sejumlah Geng Solo yang di luar istana terjepit kepentingannya. Kita tahu, kelompok mafia migas dan pertambangan terus memperkuat kesatuannya sebagai Geng Solo. Dengan jeratan hukum yang menimpanya, ditambah kepentingannya kian terhimpit, maka mereka terus mensupport gerakan perlawanan anti Prabowo. Menciptakan gerakan anti-trust terhadap pemerintah.

Gerakan perlawanan mereka – dalam perspektif sejarah pembunuhan terhadap Raja Romawi, Julius Ceacar pada tahun 44 SM – itu merupakan tindakan persekongkolan sebagaimana yang dilakukan Marcus Julius Brutus. Dengan mengambil kajian komparasi historis itu, negeri ini sedang melihat brutus-brutus yang masih berkeliaran, meski sebagian sudah teramputasi kekuasaannya.

Yang jelas, keamputasiannya ralatif akan mengurangi kekuatan kaum Brutus. Mereka yang tercopot tidak bisa mendayagunakan kekuasaannya sebagai gantungan atau andalan kaum brutus yang kini masih merasa sebagai relawan (Projo, Jokomania, Jokowi Lovers dan lainnya). Sebentar lagi, pasca lepas kekuasaannya, hukum pasti akan mengejarnya. Karena, memang telah melakukan abuse of power, minimal malpraktik kebijakan untuk kepentingan gerombolannya. Maka, kaum relawannya – karena memang telah memanfaatkan kucuran dana negara – mareka tak boleh dilepaskan dari jeratan hukum.

Sebuah pertanyaan besarnya, bagaimana dengan kaum Brutus yang masih berkuasa? Jawabnya, tinggal menunggu giliran. Geliat bicara, titik temu #hasteg yang mengarah ke Gibran, sudah menimbulkan kepanikan. Pemakzulan sudah di depan mata. Pendekatannya bukan dengan menggunakan lembaga DPR untuk melengserkannya, tapi uji materiil (perdata dan pidana) atas penggunaan ijazah Gibran saat maju ke kontestasi pilkada di Solo dan yang terakhir: saat ikut kontestasi sebagai calon wakil Presiden, 2029 lalu. Ijazah yang diduga palsu itu menjadi entry point untuk memakzulkan putra sulung al-Wowi itu.

Harus kita catat, ketika Gibran sudah dalam perangkap jeratan hukum, apalagi sudah berstatus tersangka, maka jalan mulus pemakzulan kian terang, tanpa proses politik-hukum yang berbelit di parlemen dan di Mahkamah Konstitusi (MK). Inilah saat-saat genting yang akan mamancing emosi puncak dari Geng Solo. Pertanyaannya, apakah elemen lainnya dari Geng Solo akan menunjukkan solidaritas primanya?

Tak lama pasca kerusuhan 25 – 30 Agustus, viral video pertemuan khusus Geng Solo. Terlihat dalam video itu wajah Eric Tohir, Hendropriono, Yaqult, Ilham Aidit, Abu Janda dan sejumlah wajah sipit lainnya yang nampaknya dari anasir oligarki. Seperti kita ketahui bersama, pasca kerusuhan itu pula Hendropriono melontarkan tuduhan: agen asing terlibat. Dan uniknya lagi menuduh, “Anies ada di balik kerusuhan itu”. Super ngaco atau ngigau.

Dalam perpesktif intelegen, lontaran Hendropriono bagian dari pengalihan isu. Dengan mencermati video yang viral itu, maka – jika kita menggunakan filosofi cermin – yang menyatakan sesuatu di depan cermin itu memantul pada diri yang bersangkutan. Maka, Hendro bisa diduga kuat sebagai salah satu aktor intelektual yang layak dicermati lebih jauh. Bahkan, harus diminta pertanggungjawabannya.

Bagaimana dengan elemen oligarki? Jika bicara karakternya yang pragmatis, mereka tak akan all out untuk melawan istana di bawah kepemimpinan Prabowo. Karakter pragmatis itu justru menggerakkan dirinya untuk mereorientasi dukungannya, dari al-Wowi ke penguasa saat ini, meski akan berhadapan dengan Hasyim Djoyohadikusumo. Karekter oligarki akan tetap slow menghadapi penolakan Hasyim.

Beda dengan mafia migas dan atau pertambangan. Karena, yang dihadapi masalah hukum, ia akan melakukan perlawanan. Namun demikian, single power akan mudah dipatahkan. Akhirnya, kekuatan Geng Solo – perlahan tapi pasti – akan berkurang kekuatannya.

Serangkaian gerakan pelumpuhan terhadap kekuatan all the geng of Solo akan menimbulkan pertanyaan yang mendasar, siapa brutus berikutnya yang akan dilengserkan dari panggung kekuasaan? Bahkan, brutus mana yang siap dikerangkeng setelah melalui proses hukum? Tinggal menunggu hari.

Untuk dan atas nama good governance and clean government, maka pemerintahan Prabowo harus mulai menginventarisasi sejumlah brutus. Para koruptor, penyalahguna kekuasaan (abuse of power) di berbagai instansi pemerintahan, termasuk di lembaga legislatif dan yudikatif dan juga di instansi POLRI dan TNI harus dicatat sebagai kaum brutus yang harus dibersihkan. Karena, kaum brutus jelas merusak kepentingan negara dan rakyat. Tanpa tekad pembersihan, Prabowo akan terus dibayang-bayangi manuver kaum Brutus. Mereka pencetak bom waktu yang setiap saat akan meledakkan kemarahan rakyat.

Tanggal 25 – 30 Agustus lalu menjadi catatan penting yang harusnya menyadarkan Prabowo untuk misi bersih-bersih secara total, meski perlahan-lahan. Reformasi sistem menjadi pendekatan yang lebih rasional dan acceptable. Please do it, General Prabowo right now, not later.

Jakarta, 10 September 2025

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K