Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Oleh: Budi Puryanto

Hembusan angin malam di pelabuhan Lisbon membawa aroma asin yang tidak ramah. Lampu-lampu dermaga memantulkan citra kapal-kapal yang bergelayut seperti bangsa ikan. Di sebuah kafe kecil yang menghadap teluk, Seno, orang kepercaan Presiden Pradipa, duduk dengan jaket tipis, menggenggam cangkir kopi yang sudah mendingin. Ia bukan turis; ia bayangan yang menunggu satu tanda — nama, wajah, atau bahkan sebuah kode  suara yang bisa mengarahkan dia lebih dekat ke The Regent.

Di layar ponselnya muncul pesan singkat dari nomor anonim: “Ada pertemuan, dua jam lagi. Aula bawah tanah. Masuk lewat selatan.” Pesan itu datang tanpa nama pengirim, tapi metadata menyisipkan jejak rute yang mengarah ke satelit yang terhubung dengan proyek Blue Orbit. Seno mengangkat alis. Itu bukan kebetulan.

Sementara itu, di Bogor, Ratna menutup laboratorium pada pukul satu dini hari, memeriksa reaktor kultur yang dipakai untuk memperkuat varietas padi tahan salinitas. Cahaya lampu laboratorium memantulkan pipet dan tabung reaksi seperti bintang yang retak. Sejak berita tentang “konsorsium asing” menyebar, pengamanan proyek diperketat — namun bukan oleh negara. Ada vigil kecil dari pihak swasta dengan seragam tanpa logo, dan surat peringatan yang menghapus sebagian akses data Ratna.

Ia menghela napas panjang ketika seseorang mengetuk pintu gudang. Seorang kurir memberikan kotak berisi paket sederhana, stiker tiga gelombang samar di pojoknya. Di dalamnya ada flash drive dan secarik kertas bertuliskan: “Jangan percaya laporan resmi. Mereka menghapus data lokal.” Tanpa nama, tanpa tanda. Ratna menatap flash drive seperti orang menatap pisau yang disodorkan di meja — perlu hati-hati: menerima berarti mulai permainan yang tak pernah ia pilih.

Kembali ke Lisbon, Seno menyelinap ke bawah gedung kedutaan yang dipenuhi tanaman palem palsu. Aula bawah tanah itu hanya berisi tiga kursi dan sebuah layar kecil. Tidak ada pintu keluar selain terowongan ventilasi yang dibuka dari dalam. Mereka yang datang bukan diplomat biasa: Helena Voss menampakkan wibawa yang dingin; Admiral Tokugawa Ryo tampak selalu siaga, matanya seperti radar; dan di sudut, seorang pria bertubuh tegap dengan celemek kulit — Mikhail Demidov — menatap Seno seperti menimbang daging. Mereka berbicara dalam bahasa yang tidak mudah dipahami alurnya, kecuali mereka sendiri.

Helena membuka percakapan: “Kepastian kedaulatan pangan adalah ide romantis. Dunia butuh efisiensi.” Admiral mencatat: “Efisiensi butuh kontrol jalur, bukan perasaan.” Mikhail menambahkan, setengah mengejek: “Dan jaringan yang kami bentuk—TOI—hanya meregangkan tangan ke titik-titik lemah negara-negara yang belakangan memilih kemiskinan lagi.”

Seno tidak canggung. Ia datang sebagai analis yang tidak resmi diundang, tapi tidak ditolak kehadiranna. Dia bukan musuh yang harus dihukum di tempat. Ia memutar kata: “Siapa The Regent? Sebuah jabatan atau mitos?” Helena tersenyum tipis, lalu berkata perlahan: “The Regent tidak ingin dikenal. Dia menginginkan stabilitas tanpa perhatian. Nama bukan alatnya; jaringan adalah nama lain dari kehendaknya.”

Seno merekam setiap potong suara, menyimpan di memorinya lebih aman daripada di ponsel. Di benaknya, Ratna, proyeknya, drone dengan tiga gelombang — semua mulai mengikat satu pola: TOI, bukan sekadar konsorsium; mereka membuat infrastruktur baru untuk mengalihkan tenaga hidup menjadi komoditas yang bisa ditukar.

Di Jakarta, malam itu kabar buruk menimpa. Laboratorium Ratna kena peretasan—seluruh hasil riset dilucuti, dan sebuah audit mendadak diumumkan oleh badan regulator yang baru dibentuk oleh konsultan asing. Ratna dipanggil untuk dimintai keterangan; dokumen yang semestinya menjadi bukti karya ilmiahnya lenyap dari server pusat. Ia mendengar bisik-bisik: ada peluang penyerapan teknologi, ada tawaran kontrak, tapi semua dikemas dalam bahasa bantuan.

Dari Lisbon, Seno cepat-cepat menerbangkan dirinya pulang lewat jalur senyap. Di pesawat kecil yang melintasi malam, ia menatap kotak kecil berisi catatan yang ia peroleh di Lisbon — butiran nama, nomor rekening, alamat perusahaan cangkang. Ada satu nama yang berulang-ulang: Blue Harbor Ventures. Ia menuliskannya satu per satu, menusuk kertas seperti mencoba masuk ke inti duri.

Ketika ia tiba, Ratna duduk di meja dapur rumah kontrakan mereka dengan mata merah namun tegar. Ia menaruh flash drive dari gudangnya di hadapan Seno.

“Mereka hapus data, tapi bukan semuanya,” katanya. “Ada salinan kecil yang sempat aku kirim ke server komunitas petani. Aku takut mereka akan menyerang jaringan itu selanjutnya.” Suaranya tenang, tetapi tangan yang menutupinya tak mampu menutupi gemetar.

Malam yang tenang berubah menjadi hiruk-pikuk perencanaan. Seno menatap peta logistik yang Ratna letakkan di meja.

“Blue Harbor ini provider cloud. Mereka punya node di Singapura, Dubai, dan—” ia menarik napas, “—Lisbon.” Langkahnya singkat, “Aku harus masuk ke salah satu node itu. Aku butuh masuk ke pusat kontrol mereka untuk melihat siapa yang mengakses data petani kita. Kalau mereka mengalihkan bajak dan gabah menjadi kontrak, kita kehilangan lebih dari makanan — kita kehilangan kebebasan memilih.”

Ratna menyentuh pipi Seno, lalu menatap matanya. “Dan aku?” tanyanya. “Aku jadi korban. Aku jadi ancaman. Apa kau serahkan aku pada politik itu?”

Ada kecemasan yang menebal; bukan sekadar karena ancaman, tapi karena kemungkinan pengorbanan pribadi yang harus mereka lakukan.

Seno menggenggam tangannya.

“Kau bukan statistik, Ratna. Kau bukan file. Kau adalah orang yang melihat mata anak-anak di desa ketika panen berhasil. Kita akan selamatkan itu, bukan dengan perang, tetapi dengan mengambil kembali arus data.”

Ia berhenti sejenak, dan berkata pelan.

“Aku akan menyusup. Aku akan masuk ke pusat mereka. Tapi aku memerlukan akses legal — paspor diplomatik palsu, peran sebagai konsultan, dan keberanian dari keluargamu untuk tidak terlibat jika ada yang salah.”

Ratna menutup mata sejenak, lalu mengangguk. “Kalau kita kalah, jadikan aku bukti bahwa kita pernah mencoba.” Suaranya seperti taruhan.

Di Lisbon, pertemuan TOI selesai. Admiral dan Mikhail pulang dalam mobil hitam khas. Elegan.Helena menangkap sekelebat berita kecil di ponsel: “Aktivis pangan ditangkap di Indonesia.” Ia mengangkat alis.

“Cepat,” gumamnya.

“Selama rakyat percaya bahwa mereka lapar, kita memegang kendali. Jangan biarkan cahaya kecil itu menjadi api.”

Di akhir malam, dua kelompok berjalan di dua garis yang berbeda — satu dengan lambang tiga gelombang, satu lagi dengan dua orang yang yakin bahwa memelihara tanah lebih berharga dari menimbun perjanjian.

Laut tampak tenang, tetapi arus di bawahnya diam-diam menggerakkan kapal-kapal besar. Dan di antara keduanya, Seno mulai menyiapkan sebuah rencana yang akan menuntut lebih dari kecerdikan: ia akan menuntut keberanian untuk menjadi bayang-bayang yang menyalakan kembali harapan.

BERSAMBUNG

 

EDITOR: REYNA

Baca juga:

Serial Novel “;Imperium Tiga Samudra” (Seri 3)  – Penjajahan Tanpa Senjata

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (Seri 2) – Langit di Atas Guam

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Last Day Views: 26,55 K