Tulisan berseri ini diambil dari Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, lihat linknya dibawah tulisan ini.
Novel “SAFARI” ini merupakan fiksi murni yang diangkat dari kisah nyata yang dialami sejumlah mahasiswa yang kuliah di luar negri dikombinasi dengan pengalaman pribadi penulisnya. Seorang mahasiswa yang memiliki semangat tinggi untuk menuntut ilmu di negara maju, ditopang oleh idealisme berusaha memahami rahasia kemajuan negara lain yang diharapkan akan berguna bagi bangsa dan negaranya saat kembali ke tanah air.
Karya: Muhammad Najib
Dubes RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO

Cover Novel “SAFARI” karya Dr Muhammad Najib. Bagi yang berminat dapat mencari bukunya di Google Play Books Store. Ikuti linknya dibawah
SERI-1
Malam telah larut. Waktu merambat dalam senyap. Tapi, mataku belum juga terpejam. Kepalaku masih bergerak ke Kiri dan Kanan untuk mencari kenyamanan, agar secepatnya bisa membenamkan kesadaranku. Detak jam dinding semakin jelas terdengar berpacu dengan detak jantungku, gemersik dedaunan mangga di beranda, dan sesekali cicitan burung malam. Sepi begitu menggigit hati ketika jam melewati pukul dua dini hari. Tapi, Aku belum juga dapat tidur.
Bukan kegelisahan yang menahan kesadaranku, tapi bayangan perjalanan pertama yang akan membawaku menuju negeri jauh di seberang benua, esok pagi. Pikiranku menerawang jauh ke negeri yang tercatat abadi kehebatannya dalam sejarah. Meskipun pada akhirnya terkalahkan, namun negeri Panser sempat mengguncang dunia pada Perang Dunia I maupun Perang Dunia II. Kehebatan mesin-mesin perangnya tak bisa dilupakan begitu saja. Impianku untuk bisa studi ke luar negeri dan tinggal di negeri yang hebat, sebentar lagi akan menjadi kenyataan.
Selain Jepang dan Amerika, Jerman adalah negeri yang sangat Aku kagumi. Ketangguhan tank dan kapal selamnya menggetarkan lawan-lawannya dalam Perang Dunia, sehingga hampir seluruh daratan Eropa sempat berada dalam genggamannya. Kehebatan itu kini pun masih tersasa. Mobil-mobil buatan Jerman, seperti Mercedez, BMW dan Audi, kini merajai jalan-jalan raya di hampir seluruh dunia, termasuk di negeriku. Aku berharap bisa menimba banyak ilmu di sana. Selain teknologi informasi atau IT yang menjadi bidang studiku, Aku juga ingin mempelajari sistem politik dan budaya yang membuat bangsa Jerman menjadi unggul dan berdaya saing tinggi.
Belum lama mataku terpejam, kokok ayam jantan di antara kicauan burung yang tak kunjung berhenti, telah membangunkan tidurku. Fajar tengah menyingsing di ufuk Timur. Aku bangkit sejenak, menegakkan badan, merentangkan tangan dan memutar-mutar bahu untuk mengusir kantuk, lalu melangkah untuk berwudhu. Agar tidak ada yang tertinggal, usai shalat subuh, sekali lagi Aku memeriksa semua bawaan di ransel, termasuk paspor, tiket, dan uang. Mataku tiba-tiba tertuju pada Al-Qur’an kecil pemberian Ayah saat Aku mengunjunginya untuk berpamitan di Penjara Grobokan, Denpasar. Wajah dinginnya tiba-tiba muncul, dan pesannya terngiang di telingaku, “Bawalah Al-Qur’an kecil ini! Bacalah selalu! Dan, jangan tinggalkan shalat! Insya Allah Kau akan terjaga”. Meskipun dengan berat hati, Aku menuruti pesan mulia itu.
Bagiku Ayah adalah sumber masalah keluarga. Aku, adikadik, serta Ibu, harus menjalani hidup tanpa keringatnya. Ayah tidak bekerja dan lebih banyak terlibat dalam berbagai kegiatan bersama para aktivis Mujahidin. Bahkan, Ayah pernah beberapa tahun ikut bergabung dengan para pejuang Mujahidin di Afghanistan untuk melawan tentara Komunis Uni Soviet. Akhirnya, dengan membuka toko kue kering, Ibulah yang harus membanting tulang membiayai hidup keluarga dan sekolah Kami.
Persoalan semakin pelik ketika terjadi peristiwa bom Bali. Ayah dituduh terlibat, dan akhirnya dipenjara. Kami dicemooh dan direndahkan masyarakat, karena memiliki ayah seorang teroris. Anehnya, Ibu masih saja berusaha menghibur hati kami dan membela pilihan Ayah. Ibu yakin kalau Ayah tidak terlibat kasus itu. Menurut Ibu, Ayah dikait-kaitkan dengan kasus itu semata-mata karena beberapa pelakunya adalah orang yang pernah berjuang bersama Ayah di Afghanistan. Jadi penghormatanku pada Ayah lebih karena keinginan menyenangkan Ibu.
Aku sering menatap wajah ibuku yang teduh dan penuh kasih. Saat itulah terbayang kembali ketika ia melepas cincin kawin pemberian ayahku, lalu secara perlahan memasukkannya ke jari manis Kiriku. Aku tidak kuasa menahan air mata saat itu. Tubuhku secara spontan merunduk untuk menciumi ujung kakinya. Ia mengeluselus pelan kepalaku, sambil berkata, “Ibu bangga punya anak seperti kamu dan ibu akan selalu berdoa agar kamu sukses menuntut ilmu”. Perasaan haru dan bahagia berbaur di dadaku saat itu.
Pengalaman Pertama
Dari kota Bandung, pagi itu aku memilih menumpangi bus Primajasa menuju Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Sepanjang perjalanan, Aku menatapi sepuasnya dataran hijau bergelombang di Kiri dan Kanan sepanjang jalan yang dilalui. Aku teringat kata-kata seorang penceramah asing di kampusku, bahwa bumi Parahyangan adalah secuil surga yang terhampar di bumi. Aku tak terlalu faham apa maksudnya. Yang kupikir, sebentar lagi Aku akan meninggalkannya untuk waktu yang lama. Saat melewati gerbang Bandara aku mendekati sopir untuk memberi tahu bahwa Aku akan terbang menggunakan pesawat Turkish.
“Ooooo… Adik nanti turun saja di Terminal 3 Internasional”, katanya.
“Tolong Saya diberi tahu kalau sudah sampai, Kang”, pintaku.
“Jangan khawatir”, jawabnya sopan dengan dialek Sundanya yang kental sambil tersenyum ramah. Aku merasa senang atas pelayanannya. Inilah pertama Aku naik pesawat, berarti kali pertama juga berada di Bandara. Bandara Soekarno Hatta besar dan indah. Pohon-pohon berjajar teratur di Kiri-Kanan jalan dan halaman parkirnya. Tamannya dihiasi berbagai
macam bunga berwarna-warni yang dikitari oleh tumbuhtumbuhan rimbun dan Hijau. Gerbangnya bergaya Bali, megah dan anggun, mirip dengan gerbang hotel-hotel mewah di daerah asalku. Di beberapa tempat berdiri dengan gagahnya patung-patung besar yang mewakili corak beberapa daerah, yang paling menonjol tentu patung pasangan Proklamator Sukarno-Hatta. Rumputnya hijau tertata rapi. Muncul perasaan bangga, menyadari negeriku memiliki bandara sebagus ini.
Terminal 3 terdiri dari tiga lantai. Lantai dasar tempat kedatangan, sementara tempat keberangkatan berada di lantai dua. Saat melihat nama Turkish Air di daftar penerbangan serta nomor pintu masuknya, dilengkapi dengan jam chek in, Aku merasa lega. Aku turun membawa barang bawaan yang Aku ikat di dalam ransel besar, dan Aku panggul di punggung. Sementara paspor, tiket dan uang saku pemberian Ibu, Aku letakkan di tas kecil yang Aku ikatkan di perut menghadap ke depan di atas sabuk. Saat akan memasuki pintu kaca yang dijaga oleh seorang petugas berseragam Angkatan Udara, Aku diminta untuk memasukkan seluruh bawaanku ke X-Ray untuk memastikan tidak ada barang terlarang yang dibawa. Aku kemudian menuju meja check-in sesuai petunjuk.
Aku berusaha tampil meyakinkan agar tidak ketahuan asliku. Aku berdiri mengikuti antrean calon penumpang meskipun pelayanan belum dimulai. Tidak lebih dari tiga puluh menit menunggu, petugas memberi isyarat
kepada yang berdiri paling depan untuk diproses. Petugas check in-nya adalah seorang gadis yang kelihatan sangat cekatan, semuanya berbahasa Indonesia dan berbahasa Inggris bila calon penumpangnya orang asing.
“Barangnya mau di kabin atau bagasi ?”, katanya ketika Aku mendekat.
Aku tidak siap menjawab pertanyaannya yang tak sepenuhnya kumengerti.
“Boleh nggak dibawa naik”, Aku balik bertanya untuk meyakinkan feeling-ku akan maksud pertanyaannya. Ia berdiri lalu melihat sekilas kearah barang bawaanku yang tampak tidak terlalu besar dan tidak berat.
“Silahkan. Bisa di kabin”, katanya.
Saat memasuki pesawat Aku baru paham yang dimaksud kabin itu adalah sebuah ruang untuk barang yang tersedia di bagian atas tempat duduk pesawat, sedangkan bagasi adalah sebuah ruangan pesawat khusus untuk barang yang harus ditimbang dan dititipkan, setelah turun dari pesawat nanti diambil kembali. Saat memasuki pesawat Aku perhatikan seluruh isi ruangan. Kursi berjajar rapi dan nampak banyak sekali, Suasana di dalam pesawat berbadan lebar buatan Airbus ini terasa seperti ruangan yang sangat luas dengan interiornya yang menawan. Hatiku berdecak kagum. Luar biasa hebatnya para perancang pesawat ini. Orang sebanyak ini bisa diangkut sekaligus dalam satu penerbangan, ditambah lagi barang bawaannya. Setelah seluruh penumpang duduk, layar TV keluar dari bagian langit-langit pesawat. Di setiap sepuluh baris penumpang muncul satu TV. Di depan setiap penumpang juga terdapat sebuah TV kecil yang ditempel pada bagian belakang sandaran kursi penumpang di depannya. Para penumpang bisa memilih berbagai program yang ditawarkan, mulai film, musik, berita, juga ada qiraatul Qur´’an.
Penjelasan petunjuk keselamatan tersedia dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia dengan menggunakan film kartun. Agar tidak malu karena keliru, Aku melirik penumpang disebelahku, bagaimana Ia mengenakan sabuk yang menempel di kursi. Setelah Aku coba sendiri, ternyata mudah sekali tidak seperti yang ku khawatirkan. Kalau sampai harus bertanya kepada pramugari, nantinya aku Akan ketahuan kalau tidak pernah naik pesawat.
“Alhamdulillah!”, ucapku dengan perasaan lega.
Ketika pesawat semakin meninggi, rumah-rumah penduduk tampak semakin mengecil, Pesawat terguncang sedikit saat menembus awan tebal dan tenang kembali setelah melewatinya. Rumah-rumah dan semua bangunan di darat hilang dari pandanganku. Yang tampak kini awan tebal berwarna putih bersih seperti kapas yang ditumpuk bergulung-gulung. Warnanya berubah kuning kemerahan bersamaan dengan tergelincirnya Matahari di ufuk Barat. Aku takjub memerhatikan keindahan alam yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tanpa terasa bibirku berucap, “Subhanallah”, sebagai ungkapan rasa kagum pada keindahan ciptaan Yang Mahakuasa.
Langit merah berubah menjadi hitam. Aku tak bisa melihat apa-apa lagi di luar. Aku langsung bertayamum, lalu shalat Magrib dan Isya dengan menjamaknya. Saat makan malam tiba, para pramugari membagi-bagikan menu makan malam yang dapat dipilih oleh para penumpang. Aku bingung membacanya karena hampir semua pilihan tak Aku kenal. Aku malu untuk bertanya, karena itu Aku memilih menggunakan feeling saja. Menu pilihanku ternyata berupa salad, yaitu sayuran mentah yang dilengkapi dengan bumbu berwarna kuning. Aku mencoba mendekatkan ke hidungku, baunya terasa aneh. Lalu, daging kambing yang diberi bumbu seperti kare yang di sekitarnya nasi mirip dengan kebuli yang Aku suka. Ada roti dan susu di sampaingnya, dilengkapi keu kecil kering yang sangat manis bernama Baglava. Usai makan, pramugari segera mengemas piring dan gelas yang digunakan untuk minum. Aku meminta teh Turki yang sangat enak di lidahku.
Lampu kemudian di redupkan. Para penumpang mulai membuka selimut yang sebelumnya terbungkus plastik tipis yang sudah diterima penumpang sejak awal. Selain selimut ada juga kaos kaki. Aku melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian mengganti dengan kaos kaki yang disediakan yang terasa lebih tebal dan lebih hangat. Kelihatannya manajemen memilihkan bahan yang membuat para penumpang merasa lebih nyaman.
Hot Water
Aku mengikuti para penumpang lain yang mulai membungkus sebagian besar tubuhnya bersamaan dengan semakin dinginnya ruangan. Tenggorokkanku terasa mulai kering, lalu Aku memberikan isyarat kepada seorang pramugari yang lewat.
“May I help You ?”, katanya sambal tersenyum.
“May I have hot water?”, jawabku dengan sopan.
“What’s for”, katanya heran.
Aku juga heran dengan pertanyaan baliknya.
“For drinking”, jawabku.
Lalu Ia membawakanku segelas air yang dibalut handuk kecil. Sewaktu kuterima, Aku kaget setengah mati, panasnya bukan kepalang. Rupanya Ia mengambilkan air mendidih untukku. Seorang gadis Jerman yang duduk di sebelahku, tampak heran. Agar tak ketahuan olehnya, Aku berpura-pura mengelus-elus punggung gelasnya, seolah-olah untuk menghangatkan telapak tanganku yang kedinginan sambil menunggu panasnya berkurang. Seharusnya Aku menyebut warm water, yang berarti air hangat, bukan hot water.
Aku perhatikan penumpang di sebelahku tertawa-tawa menonton film kartun di TV yang menempel pada sandaran kursi di depannya. Di telinganya ada kabel seperti orang mendengarkan lagu dari walkman. Enak juga, pikirku. Aku gengsi untuk bertanya bagaimana caranya, karena itu Aku periksa kantong yang ada di depanku. Aku menemukan kabel yang bagian ujungnya berupa speaker kecil. Ah, Aku dapat, pikirku dengan perasaan lega.
Aku melirik ke sebelahku, ternyata kabel itu ditancapkan di bawah pegangan kursi sebelah kanan. Aku hanya menirukannya, dan ternyata di sebelahnya ada tomboltombol dengan penjelasan chanel dan volume. Aku menonton film, mendengar musik, melihat posisi pesawat melewati berbagai negara sampai bosan. Banyak film atau musik yang bisa dipilih. Setiap penumpang bisa memilih acara yang berbeda sesuai seleranya. Jam di tanganku menunjukkan pukul 23.30, tapi mataku belum juga
mengantuk. Karena itu, Aku pilih qiraatul Qur’an.
Saat ngantuk mulai terasa kupejamkan mata sambal mengulangi zikir, “Subhanallah, Walhamdulillah, Walailahaillallah, Wallahuakbar”, tapi, tetap sulit juga untuk tidur. Pikiranku melayang ke mana-mana. Tiba-tiba Aku teringat masa kecilku. Menjelang tidur aku dan kedua adik perempuanku selalu ditanya tentang cita-cita oleh Ibu, “Amil, kalau besar mau jadi apa?”.
Aku spontan menjawab, ingin keluar negeri. Sementara, adikku, Ira, menjawab, ingin jadi dokter, dan si bungsu, Sakina, ingin menjadi wartawan. Kini Ira kuliah di Fakultas Kedokteran Udayana, sementara Sakina mengambil jurusan sastra Inggris pada universitas yang sama. Dalam berbagai kesempatan Ibu menggunakan cita-cita itu untuk memotivasi sekaligus mengarahkan kami. “Terimakasih, Bu!”, gumamku lirih.
Apa yang Aku gapai saat ini tidak terlepas dari jerih- payah Ibu. Aku baru sadar bahwa ternyata cita-cita dijadikan ibuku semacam kompas pengarah sekaligus energi pendorong dalam menggapai tujuan hidup kami. Ibuku tidak pernah memaksakan keinginannya sendiri kepada anak-anaknya. Tampaknya a ingin anak-anaknya menjadi dirinya sendiri, kemudian tumbuh sesuai dengan passionnya.
Aku tertidur beberapa saat dan saat terjaga, kulihat jam tangan menunjukkan pukul 07.00, pagi. Aku menggeser jendela yang berada di sebelah kananku. Ternyata langit masih gelap. Aku heran, takpercaya. Jangan-jangan jamku keliru. Lalu Aku bertayamum dan melaksanakan shalat Subuh sambil duduk. Usai shalat, mata aku pejamkan kembali. Tapi tidak bisa tidur. Aku berkali-kali menoleh ke arah jendela. Waktu terasa merayap lambat sekali.
Ketika jam sudah mendekati pukul 09.00, baru langit tampak mulai memerah. Rupanya ada perbedaan waktu dan Aku harus memundurkan jamku empat jam agar sesuai dengan waktu setempat, dan ini baru Aku sadari saat pramugari memberitahu menjelang pesawat mendarat untuk transit. Aku tak tahu apakah Aku shalat Subuh sesuai waktu atau keliru, Aku pasrahkan kepada yang maha bijaksana di atas sana.
Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Istanbul. Bandaranya sangat luas, bagus, dan ramai sekali. Aku harus bergegas menuju papan pengumuman untuk melihat penerbangan berikutnya. Karena tidak muncul, maka Aku bergegas menuju meja informasi. Ternyata transitnya cukup lama, sehingga belum muncul di papan pengumuman. Aku lalu menuju Mushala untuk istirahat, karena tidur di pesawat ternyata tidak bisa senyenyak tidur di rumah. Aku tidak biasa tidur sambil duduk, meskipun sandarannya bisa digerakkan ke belakang sampai hampir tiga puluh derajat. Sebetulnya banyak Café bagus dan tempat duduk yang nyaman di bandara, tapi Aku menyadari sakuku tidak memungkinkan untuk mengikutinya.
Setelah sekitar dua jam istirahat, Aku kembali menuju layar elektronik pengumuman terdekat sesuai saran petugas informasi. Penerbangan menuju Frankfurt sudah tercantum. Aku lalu menuju gate sesuai petunjuk. Hanya satu jam Aku menunggu untuk penerbangan berikutnya. Dari Franfurt Aku harus berpindah dari terminal internasional menuju
terminal domistik. Tidak sampai satu jam pesawat sudah mendarat di kota yang Aku tuju, Aachen. “Alhamdulillah, akhirnya Aku sampai”, ucapku, bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kesempatan istimewa kepada hamba-Nya.
Aku mencari tempat yang agak sepi, kemudian bersujud syukur sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepada- Nya. Terbayang di benakku teman-teman kecilku yang tidak seberuntung diriku. Kini mereka masih berada di kampung, bekerja ala kadarnya, sekadar untuk bertahan hidup.
(Bersambung…..)
Baca selanjutnya SERI-2: Novel Muhammad Najib, “SAFARI”(Seri-2): Celana Monyet Dan Penguin Kecil
EDITOR: REYNA
Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:
Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ Judul Novel: Safari https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ Judul Novel: Bersujud Diatas Bara https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi
Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja
Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana
Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
Api di Ujung Agustus (Seri 22) – Duel Senyap di Rumah Sakit
Api di Ujung Agustus (Seri 21) – Baku Hantam di Dua Pintu
Pragmatic playSeptember 17, 2023 at 5:24 am
… [Trackback]
[…] Read More on on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
fernsehgrößenNovember 1, 2023 at 10:53 pm
… [Trackback]
[…] Here you can find 99847 more Information to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
niches for youtube automationJanuary 16, 2024 at 9:30 pm
… [Trackback]
[…] Here you will find 23624 more Info on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
aksara178 link alternatifMarch 6, 2024 at 11:57 pm
… [Trackback]
[…] Find More Info here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
บุหรี่นอกMay 17, 2024 at 9:13 am
… [Trackback]
[…] Read More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
cat888June 22, 2024 at 9:00 pm
… [Trackback]
[…] Info to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
อยากสมัครสมาชิกกับ LSM99 ต้องทำอย่างไรSeptember 2, 2024 at 7:30 am
… [Trackback]
[…] Read More on on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
socom 16September 21, 2024 at 10:22 am
… [Trackback]
[…] Read More Info here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
Racial segregationNovember 12, 2024 at 11:12 am
… [Trackback]
[…] There you will find 56469 additional Information to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
linkNovember 28, 2024 at 6:37 am
… [Trackback]
[…] Read More Info here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
nutritional supplementsDecember 4, 2024 at 1:45 pm
… [Trackback]
[…] There you can find 30007 additional Information to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
get tokensDecember 14, 2024 at 8:04 pm
… [Trackback]
[…] Find More here on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
free showsDecember 28, 2024 at 11:09 am
… [Trackback]
[…] Find More on that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
cam2camDecember 30, 2024 at 1:47 am
… [Trackback]
[…] Read More Info here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]
KangmatibFebruary 6, 2025 at 10:27 pm
… [Trackback]
[…] Read More here to that Topic: zonasatunews.com/sosial-budaya/novel-muhammad-najib-safariseri-1-meraih-mimpi/ […]