Novel “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” karya Masterpiece Dr Muhammad Najib ini terinspirasi dari kisah Jalur Sutra atau Tiongkok Silk Road, yang kini muncul kembali dalam bentuk baru: One Belt One Road (OBOR) atau Belt and Road Initiative (BRI).
Penulis yang saat ini menjabat sebagai Duta Besar RI Untuk Kerajaan Spanyol dan UNWTO ini meyakini, Indonesia sebagai Jamrud Katulistiwa ini sebenarnya juga memiliki warisan sejarah yang bernilai. Sayangnya, kita belum mampu mengapitalisasi warisan leluhur yang dimiliki, seperti yang dilakukan Tiongkok, meski peluang Indonesia sama besarnya.
Novel ini sendiri merupakan fiksi murni. Di sini, penulis mencoba mengangkat fakta-fakta sejarah, diramu dengan pemahaman subjektif penulis sendiri terhadap situasi terkait.
Ada berbagai peristiwa sejarah di masa lalu, yang seakan terjadi sendiri-sendiri dan tidak saling berkaitan. Maka dalam novel ini, penulis berupaya merangkai semua dengan menggunakan hubungan sebab-akibat. Sehingga Novel ini menjadi sangat menarik. Ceritanya mengalir, kaya informasi, dan enak dibaca. Selamat membaca dan menikmati.
**********************************************************
SERI-11
Granada: Keemiran Terakhir di Andalusia
Walaupun sedang musim panas, kompleks Istana Alhambra tetap sejuk. Istana ini berada di atas bukit. Selain lokasinya yang berada di ketinggian, di sekitarnya juga dipenuhi pepohonan besar. Di sini juga ada taman-taman menawan, dilengkapi dengan air mengalir, kolam serta air mancur yang bisa ditemui hampir di setiap pojok kompleks istana. Rasanya, Aku sedang berada di surga.
Aku mengitari Alhambra, melewati semua taman, memasuki setiap ruang dan melewati semua lorong. Betul-betul kupastikan tidak ada sejengkal pun yang terlewat. Kaligrafi ayat-ayat Al-Qur’an terlukis apik hampir di setiap dinding dan langit-langit. Bahkan di kubah yang menjulang tinggi ada kaligrafi. Semua tertata rapi dan menarik. Alam surgawi serasa hadir di dunia.
Puas menatap setiap relung dan detail Alhambra, Aku berpindah ke Masjid Granada, yang terletak di puncak bukit. Masjid ini menghadap Pegunungan Sierra Nevada dan Istana Alhambra. Bangunan religius ini merupakan satu-satunya masjid di kawasan kota tua Granada, yang disebut Albaicin atau Al Baisin. Halaman depan masjid dilengkapi taman bunga yang resik dan rapi. Dari sini, kompleks Istana Alhambra terlihat jelas. Istana tersebut begitu megah dan indah. Pengunjung bisa menikmati keindahan Alhambra dari halaman depan Masjid Granada tanpa terhalang pepohonan atau bangunan lain.
Setelah menunaikan salat jamak, Aku berdoa. Semoga Allah menghadirkan kembali Nur Islam di bumi Andalusia ini secara damai – sesuai semangat Islam yang Rahmatan lil Alamin. Doa ini aku panjatkan sambil bersujud di tanah Granada, tempat terakhir kekuasaan Islam di Andalusia; Kekuasaan yang pernah berjaya selama hampir delapan abad.
Ada rasa haru bercampur syukur karena Aku bisa menjejak kaki di tempat yang pernah mengharumkan nama Islam di seantero jagat ini. Di saat yang sama, ada rasa sedih yang menyayat, membayangkan akhir kejayaan Islam di sini karena kelalaian dan keserakahan para pemimpinnya.
Baca Juga:
- Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-9): Cordoba Menjadi Jantung Andalusia
- Novel Terbaru Dr Muhammad Najib: “Jalur Rempah Sebagai Jembatan Timur dan Barat” (Seri-10): Sevilla Sebagai Kota Raja
Usai salat, seorang ulama menghampiriku. Bisa jadi ia mengamati gerak-gerikku dari tadi.
“Assalamualaikum.” Ia mengucap salam sambil mengulurkan tangan.
Aku menyambut jabat tangannya, lalu menjawab salam,
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Saya guru mengaji di masjid ini,” ujarnya ramah. Senyum mengembang di bibirnya.
“Saya mahasiswa Indonesia. Saya sedang melakukan riset,” ujarku menjelaskan.
“Oh, Andunusia. Ahlan wa sahlan wa marhaban,” katanya.
“Anta Arabi?” tanyaku dalam bahasa Arab.
“Naam, ana min Magrib.” Ia menyebut Maroko sebagai negeri asalnya.
“Andunisia quais.” Ia menyanjung Indonesia dalam bahasa Arab.
“Barakallahu lana wa barakallahu alaina.” Aku memanjatkan doa untuk keberkahan seluruh umat Islam di mana pun berada.
“Kita beruntung bisa memiliki masjid ini,” ucapnya perlahan.
“Apakah tidak mudah mendirikan masjid di sini?” tanyaku ingin tahu.
“Sekarang mudah, selama ada dukungan dana dan lokasi yang tepat. Tapi dahulu tidak. Kami berhasil mendirikan masjid ini melalui perjuangan berliku.”
“Bagaimana ceritanya?” Aku semakin ingin tahu.
“Awal 1970-an, ada mualaf asal Skotlandia bernama Shaykh Abdelqadir Assufi. Bersama beberapa muridnya, ia mengunjungi Masjid Cordoba, lalu menunaikan salat di sana. Sebetulnya tidak ada masalah, baik dengan penjaga maupun turis yang sedang berkunjung. Belakangan timbul kontroversi karena ada yang mengambil foto mereka. Foto itu muncul di media setempat,” jelasnya lirih.
“Mereka diproses secara hukum?”
“Tentu tidak. Tapi pada dasarnya kami selalu berusaha untuk menjaga kenyamanan siapa pun. Kami tidak ingin ada yang terganggu.” Ia menjelaskan sehalus mungkin.
“Lalu, bagaimana selanjutnya?” tanyaku makin penasaran.
“Akhirnya kami memutuskan untuk hijrah ke Granada. Saat Idul Adha, kami menjalankan salat di halaman Istana Alhambra, setelah mendapatkan izin petugas. Namun hal yang sama terulang lagi.” Dengan mimik sedih ia menjelaskan apa yang terjadi.
“Sesudah peristiwa itu, kami mencari tanah untuk masjid. Beruntung kami mendapatkan tempat ini – satu-satunya tanah kosong saat itu. Luasnya cukup memadai dan letaknya strategis.” Kali ini kelegaan terdengar dari dirinya.
“Kapan masjid ini mulai dibangun?”
“Awal 1980-an. Perlu waktu panjang untuk mengurus izin pembangunan dan melakukan penggalangan dana. Mengingat jumlah Muslim di sini tidak banyak, kami mencari dana sampai ke luar Spanyol. Syukurlah, banyak pihak yang mendukung, termasuk beberapa kepala negara Islam. Maka berdirilah masjid ini.”
Aku mengangguk-angguk mendengarnya. “Bagaimana pendapat Anda tentang Islam di Andalusia?”
“Sekarang kami ingin selalu menghadirkan wajah Islam yang berbeda dari masa lalu,” jawabnya.
“Berbeda bagaimana?” kejarku.
“Sekarang kita berada di era demokrasi, hak asasi manusia, serta toleransi. Sejalan dengan ini, kami ingin menghadirkan Islam yang Rahmatan lil Alamin; Islam yang bisa bekerjasama dengan siapa pun untuk kemaslahatan bersama.”
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Bagi yang berminat dengan karya-karya novel Dr Muhammad Najib dapat mencari bukunya di Google Play Books Store, melalui link dibawah ini:
Judul Novel: Di Beranda Istana Alhambra https://play.google.com/store/books/details?id=IpOhEAAAQBAJ Judul Novel: Safari https://play.google.com/store/books/details?id=LpShEAAAQBAJ Judul Novel: Bersujud Diatas Bara https://play.google.com/store/books/details?id=WJShEAAAQBAJ
Related Posts

Serial Novel “Imperium Tiga Samudra” (1) – Peta Baru di Samudra Pasifik

Api di Ujung Agustus (Seri 34) – Gelombang Balik

Api di Ujung Agustus (Seri 33) – Pengkhianat Didalam Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 31) – Bayangan Kudeta Makin Nyata

Api di Ujung Agustus (Seri 30) – Jejak Jaringan Tersembunyi

Api di Ujung Agustus (Seri 29) – Jejak Operasi Tersembunyi

Api di Ujung Agustus (Seri 28) – Jantung Garuda Di Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 27) – Jalur Rahasia Wiratmaja

Api di Ujung Agustus (Seri 26) – Bayangan Dalam Istana

Api di Ujung Agustus (Seri 25) – Garuda Hitam Membara





No Responses