JAKARTA – Dalam waktu hanya setahun, Presiden Prabowo Subianto berhasil mencuri perhatian dunia. Ia muncul di forum-forum penting, berbicara lantang tentang perdamaian, dan diterima oleh para pemimpin besar dari Washington hingga Beijing. Pengamat politik Syahganda Nainggolan menyebut fenomena ini sebagai “kebangkitan diplomasi Indonesia”, bahkan menilai Prabowo telah tampil “bak superstar” di panggung global.
“Baru setahun, tapi sudah kelihatan kelasnya. Diplomasi Prabowo bukan kaleng-kaleng. Dunia menghormati dia, dari Xi Jinping, Putin, sampai Trump. Ini lompatan besar,” ujar Syahganda dalam keterangannya yang dikutip RMOL, Senin (28/10).
Kharisma dan Gaya Diplomasi Baru
Menurut Syahganda, keunggulan utama Prabowo ada pada gaya personalnya. Ia membawa diplomasi Indonesia dengan karakter khas: tegas, berwibawa, dan tidak inferior di hadapan kekuatan besar.
“Prabowo itu punya bahasa tubuh dan cara bicara yang mencerminkan kekuatan, bukan permintaan. Ketika bicara di depan pemimpin besar, dia tidak tampil sebagai perwakilan negara kecil, tapi sebagai pemimpin dari bangsa yang berdaulat,” kata Ketua Dewan direktur Great Institute itu.
Dalam pandangan Syahganda, gaya ini mengingatkan pada tradisi diplomasi era Soekarno — ketika Indonesia masih berani berbicara keras tentang keadilan dunia tanpa takut kehilangan hubungan dengan negara mana pun. “Prabowo menghidupkan kembali semangat itu,” tegasnya.
Momentum di PBB: Suara Moral Dunia
Kehadiran Prabowo di Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York menjadi titik penting dari diplomasi Indonesia setahun terakhir. Dalam pidatonya, Prabowo menyoroti penderitaan rakyat Palestina dan menyerukan agar dunia tidak lagi menutup mata terhadap ketidakadilan global.
Bagi Syahganda, pidato itu bukan hanya simbolis, tapi menunjukkan posisi moral Indonesia yang selama ini mulai redup.
“Selama bertahun-tahun, kita jarang dengar lagi pemimpin Indonesia bicara keras di forum dunia. Prabowo memulihkan kembali citra kita sebagai bangsa yang punya idealisme dan keberanian moral,” ucapnya.
Ia menilai, pernyataan Prabowo tentang Palestina tidak sekadar menggugah simpati, tetapi juga memperlihatkan kepemimpinan yang punya bobot geopolitik. “Negara-negara besar mendengarkan dia. Itu bukti bahwa diplomasi kita tidak lagi dianggap pinggiran,” tambahnya.
Dihormati di Timur dan Barat
Syahganda menekankan bahwa diplomasi Prabowo berbeda dari pola klasik “condong ke satu blok”. Dalam satu tahun, ia berhasil membangun komunikasi yang baik dengan tiga poros kekuatan utama dunia: Tiongkok, Rusia, dan Amerika Serikat.
“Jarang sekali pemimpin dunia bisa diterima dengan hangat oleh Xi Jinping, Putin, dan Trump dalam periode yang sama. Tapi Prabowo bisa. Itu menandakan posisi diplomatik kita kuat, bahkan dihormati semua pihak,” ujarnya.
Menurutnya, posisi “non-blok aktif” Indonesia kini menemukan bentuk baru: bukan sekadar netral, tetapi mandiri dan diperhitungkan. “Dunia melihat Prabowo bukan sebagai pengikut, tapi sebagai figur yang bisa menengahi konflik global,” kata Syahganda.
Kebangkitan Nasionalisme dan Citra Kepemimpinan
Lebih jauh, Syahganda menilai diplomasi Prabowo lahir dari kesadaran nasionalisme yang kuat. Gaya tegasnya di luar negeri adalah refleksi dari keyakinan bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang punya hak bicara setara dengan negara mana pun.
“Dia bukan tipe pemimpin yang bernegosiasi dengan posisi rendah. Itu yang membuat dunia kagum. Diplomasi itu cermin dari jiwa pemimpinnya, dan Prabowo membawa energi nasionalisme yang autentik,” tutur Syahganda.
Dalam pandangannya, gaya tersebut sekaligus menjadi terapi atas inferioritas yang sempat lama menempel pada citra diplomasi Indonesia. “Kita terlalu lama bicara hati-hati, terlalu diplomatis sampai kehilangan nyali. Prabowo datang membawa keberanian baru,” tambahnya.
Catatan dan Tantangan
Meski memberikan pujian tinggi, Syahganda juga mengingatkan bahwa tantangan terbesar diplomasi Prabowo adalah menerjemahkan citra menjadi manfaat konkret bagi rakyat.
“Dunia boleh kagum, tapi rakyat menunggu hasil. Kita harus lihat apakah kedekatan dengan Xi Jinping menghasilkan investasi nyata, apakah hubungan baik dengan Rusia membawa teknologi pertahanan baru, dan apakah komunikasi dengan Amerika membawa keuntungan ekonomi,” ujarnya.
Namun bagi Syahganda, semua itu soal waktu. “Yang penting fondasinya sudah terbentuk: kredibilitas, rasa hormat, dan posisi Indonesia yang kembali disegani. Itu modal yang tidak ternilai,” tandasnya.
Kesimpulan: Diplomasi Berkarakter
Setahun perjalanan pemerintahan Prabowo–Gibran, diplomasi Indonesia mulai menemukan wajah barunya — lebih percaya diri, lebih berani, dan lebih berkarakter.
Syahganda menyebut, apa yang dilakukan Prabowo bukan sekadar kunjungan luar negeri, tapi strategi untuk menempatkan Indonesia kembali sebagai pemain utama di pentas global.
“Diplomasi Prabowo bukan basa-basi. Ini transformasi paradigma. Dunia kini tahu bahwa Indonesia punya pemimpin yang tidak bisa dianggap enteng,” tutup Syahganda.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Misteri Pesta Sabu Perangkat Desa Yang Sunyi di Ngawi: Rizky Diam Membisu Saat Dikonfirmasi

Mantan Aktivis 98 Menilai Restrukturisasi Utang Whoosh Oleh Luhut Janggal

“Purbayanomics” (1): Purbaya Hanyalah Berdrakor?

Memaknai Kembali Kepemudaan

Santri Bergerak, Indonesia Berbenah: Makna Hari Santri di Era Modern

Puisi Tazbir: Sumpah Pemuda

Pembangunan Pabrik PT Japfa Comfeed Indonesia, Diduga Ada Transaksi Penjualan Tanah Hitam, Terancam Dilaporkan ke Polda Jatim

Masjid Al-Aqsa Terancam Roboh akibat Penggalian Bawah Tanah Israel

Komunitas Muslim Berutang Budi Kepada Zohran Mamdani

Edan! Sekdes Terpilih Desa Tirak Ternyata Masih Nyabu



No Responses