Oleh: M. Isa Ansori
Kolumnis, Akademisi, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jawa Timur
Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung, yang diberi nama megah Whoosh, kini berubah menjadi cermin buram kepemimpinan duet kebijakan Joko Widodo dan Luhut Binsar Pandjaitan. Di balik jargon modernisasi dan kebanggaan nasional, tersimpan kisah tentang kebijakan ugal-ugalan, aroma mark-up, dan pengkhianatan terhadap akal sehat publik. Proyek yang seharusnya menjadi simbol efisiensi dan kemajuan teknologi justru menjadi simbol ketidakhati-hatian, bahkan ketidakjujuran.
Pernyataan Luhut sendiri yang menyebut bahwa “barang ini sudah busuk saat saya terima” seakan membuka kotak pandora. Pernyataan itu mengandung makna besar: bahwa proyek ini sudah bermasalah sejak awal, dan bahwa dirinya tahu persis kebusukan itu. Tapi bukannya memperbaiki, Luhut justru memilih membungkus ulang kebusukan itu agar tak tercium. Ia kemas dengan narasi besar: demi rakyat, demi kemajuan, demi transformasi teknologi. Padahal, di dalamnya busuk tetap busuk.
Yang lebih ironis, “barang busuk” yang dimaksud Luhut bukan proyek kecil, melainkan megaproyek strategis nasional dengan nilai investasi triliunan rupiah. Proyek yang semula dirancang sebagai kerja sama Indonesia–Jepang dengan bunga pinjaman ringan, tata kelola yang transparan, dan pengalaman teknologi tinggi, tiba-tiba dialihkan menjadi kerja sama Indonesia–China. Pergeseran ini bukan hanya soal arah geopolitik, tetapi juga soal logika ekonomi: pinjaman dari China berbunga lebih tinggi, persyaratannya lebih ketat, dan porsi tanggungan Indonesia makin besar. Kita tidak tahu apa yang ada di benak Jokowi dan Luhut ketika mengubah keputusan sebesar itu. Publik tidak pernah diberi alasan rasional—yang muncul justru euforia politik tentang “kebanggaan nasional.”
Kini, setelah proyek itu selesai dengan segala kemegahan yang dipaksakan, rakyat mulai menghitung ongkosnya. Biaya proyek membengkak dari sekitar Rp80 triliun menjadi lebih dari Rp130 triliun. Pembengkakan ini tidak berdiri sendiri—ada dugaan mark-up dalam pengadaan material, lahan, hingga biaya konsultan. Bahkan sumber dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut sudah menerima laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran hukum dalam proses penentuan biaya proyek. Publik menuntut KPK untuk turun tangan, sebab proyek sebesar ini tak boleh diselimuti kabut politik.
Kebusukan Whoosh juga tampak dari skema pembiayaannya. Ketika rakyat baru tahu bahwa sebagian utangnya akan dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), rasa marah tak bisa dibendung. Ini bukan proyek rakyat jika rakyat harus menanggung utangnya. Inilah momen ketika figur seperti Purbaya muncul lantang menolak beban utang itu dibebankan kepada APBN. Tapi keberanian itu seolah berdiri sendiri. Di tengah diamnya elite, suara Purbaya seperti jeritan di padang sunyi.
Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih dan pemimpin pemerintahan mendatang, tak boleh bersikap setengah hati. Jika ia benar berpihak pada rakyat, maka ia harus berani berkata “tidak.” Tidak pada praktik pembusukan proyek negara. Tidak pada warisan kebijakan yang salah arah. Tidak pada para pengkhianat bangsa yang masih bercokol di lingkar kekuasaan atas nama loyalitas kepada Jokowi. Rakyat menunggu langkah tegas: apakah Prabowo berani menegakkan keadilan bahkan jika yang diseret adalah orang-orang yang pernah dekat dengan Jokowi?
Jangan biarkan negeri ini terus disandera oleh “balas budi politik.” Jangan biarkan kementerian, BUMN, dan proyek nasional menjadi tempat persembunyian dosa masa lalu. Luhut harus dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya secara moral tapi juga hukum, jika terbukti ada pelanggaran dalam proses pengalihan dan pembengkakan biaya proyek Whoosh. Jokowi pun tidak bisa menghindar, karena keputusan besar proyek ini ada di tangannya. Tidak cukup hanya berkata bahwa proyek ini “berjalan baik.” Baik untuk siapa? Untuk rakyat atau untuk segelintir elit yang mengatur proyek ini di ruang tertutup?
Whoosh seharusnya menjadi proyek kebanggaan, tapi kini justru menjadi simbol peringatan. Inilah hasil dari kekuasaan yang dijalankan tanpa transparansi, dari proyek yang dipaksakan demi citra, bukan demi kepentingan rakyat. Ketika teknologi menjadi topeng dan utang menjadi beban, maka kemajuan hanyalah ilusi.
Indonesia tidak butuh proyek yang “cepat”, tetapi butuh pemerintahan yang jujur. Kecepatan kereta tidak bisa menutupi kelambatan moral para pengambil keputusan. Jika proyek Whoosh terus dibiarkan menjadi preseden, maka proyek strategis nasional lain akan bernasib sama: mahal di kertas, busuk di dalam.
Bangsa ini sudah terlalu lama ditipu atas nama pembangunan. Kita disuguhi jargon kemajuan, tapi di baliknya terselip permainan angka, utang yang membengkak, dan pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Ketika uang negara dijadikan bancakan, ketika proyek-proyek strategis berubah menjadi ladang mark-up, dan ketika pejabat yang seharusnya menjaga justru ikut menjarah, maka sesungguhnya negeri ini sedang digerogoti dari dalam.
Inilah saatnya rakyat bersuara. Saatnya akal sehat menentang kebohongan yang dikemas indah. Saatnya menolak setiap kebijakan yang menukar masa depan bangsa dengan kepentingan segelintir orang. Kita tidak boleh lagi diam. Diam berarti membiarkan anak cucu kita memikul beban dari dosa ekonomi yang kita biarkan hari ini.
Lawan setiap pembusukan anggaran negara! Bongkar setiap proyek yang diselimuti dusta! Jangan biarkan mereka menutupi kehancuran moral dengan spanduk kemajuan. Karena sejatinya, pembangunan yang lahir dari kebohongan adalah perusakan, bukan kemajuan.
Jika Prabowo benar ingin berpihak pada rakyat, maka inilah panggilan sejarahnya: menebas tangan-tangan busuk yang masih mencengkeram tubuh negara. Dan bagi rakyat, inilah waktunya untuk membuka mata, menjaga nalar, dan berdiri bersama menuntut keadilan. Sebab, bangsa yang diam terhadap pembusukan adalah bangsa yang sedang menyiapkan kuburnya sendiri.
Whoosh bukan sekadar kereta — ia adalah peringatan keras: bahwa kecepatan tanpa kejujuran hanyalah jalan cepat menuju kehancuran. Kini selain rakyat Indonesia, China juga menjadi korban kebijakan busuk Luhut – Jokowi. Keputusan pemerintah melalui Menteri keuangan Purbaya Yudi Sadhewa sudah tepat, tak akan membiayai proyek busuk ini dari APBN, APBN uang rakyat dan harsu digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Kini tinggal berharap kepada keberanian Prabowo sebagai Presiden untuk mengusut tuntas benang kusut proyek busuk yang ditinggalkan tanpa harus merasa risih dan canggung, sebagaimana teriakannya bahwa saya akan sikat korupsi, rakyat bersama saya.
Surabaya, 29 Oktober 2025
EDITOR: REYNA
Related Posts

Oligar Hitam Harus Dipenggal Kepalanya

Woosh: Satu dari Banyak Jejak Kejahatan Ekonomi dan Konsitusi Jokowi

Kepala Sekolah SMAN 1 Patianrowo Nganjuk Disinyalir Paksa Murid Ikut Study Tour ke Jogja, Buat Ajang Bisnis

Umat manusia gagal menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C, kata Sekjen PBB, desak perubahan arah

Seri Novel “Imperium Tiga Samudra” (4) – Pertemuan di Lisbon

Rudal Nuklir Rusia Yang Baru Jarak Jangkauannya Tidak Terbatas

Misteri Pesta Sabu Perangkat Desa Yang Sunyi di Ngawi: Rizky Diam Membisu Saat Dikonfirmasi

Mantan Aktivis 98 Menilai Restrukturisasi Utang Whoosh Oleh Luhut Janggal

Syahganda: Diplomasi Prabowo Sudah Kelas Dunia, Baru Setahun Tapi Sudah “Superstar”

“Purbayanomics” (1): Purbaya Hanyalah Berdrakor?



No Responses