Woosh: Satu dari Banyak Jejak Kejahatan Ekonomi dan Konsitusi Jokowi

Woosh: Satu dari Banyak Jejak Kejahatan Ekonomi dan Konsitusi Jokowi
Ilustrasi Joko Widodo

Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior

Lagi-lagi, Jokowi berkelit. Kali ini soal Kereta Cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh yang terbukti jadi beban finansial baru bagi negeri. Dengan enteng dia bilang, “transportasi massal itu layanan publik, bukan mencari laba.”

Lewat pernyataannya itu, seakan-akan dia ingin bilang, proyek ini sejak awal diniatkan untuk kepentingan rakyat banyak. Padahal, semua orang masih ingat, Whoosh diklaim sebagai proyek pure business to business. Tanpa beban APBN. Tanpa uang rakyat. Sekarang, begitu buntung dan terancam gagal bayar, narasinya dipelintir jadi “investasi sosial.”

Lucunya lagi, Jokowi beralasan Whoosh dibangun untuk mengatasi kemacetan Jakarta dan Bandung. Ini jelas ngawur total. Semua orang yang punya nalar tahu, kemacetan Jakarta disebabkan mobilitas harian jarak pendek. Para pekerja dari Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor yang mondar-mandir ke Jakarta untuk bekerja. Jarak tempuh mereka hanya sekitar 40-an km.

Kemacetan di Jakarta tidak disebabkan oleh orang Bandung yang menempuh 142 km setiap hari ke Jakarta. Di Bandung pun, macetnya bukan karena orang mau ke Jakarta. Jadi kalau Jokowi menyebut Whoosh sebagai solusi macet, itu bukan cuma salah analisis, tapi bentuk pembodohan publik yang serius.

Masalahnya memang bukan sekadar di teknis. Tapi di mentalitas kekuasaan yang menjadikan proyek sebagai panggung pencitraan. Whoosh bukan lahir dari kebutuhan rakyat. Ia datang dari ambisi pribadi. Proyek mercusuar demi kebanggaan semu. Jokowi ingin dikenang dengan monumen beton seperti halnya para diktator pembangunan di masa lalu. Bedanya, dulu dibangun dengan rencana matang dan uang negara sendiri. Sementara Jokowi justru menyeret Indonesia ke dalam perangkap utang luar negeri. Dari Cina!

Proyek Whoosh adalah contoh telanjang dari debt-driven capitalism, pembangunan yang dibiayai utang. Agar terdengar indah, ia dibungkus jargon investasi. Lalu dijual dengan narasi kemajuan. Faktanya, proyek ini sudah menelan pinjaman tambahan hampir Rp7 triliun dari China Development Bank untuk menutup cost overrun alias pembengkakan biaya.

Padahal sejak awal, Jokowi bersumpah tidak akan memakai APBN. Kalau akhirnya negara juga yang menanggung, maka itu bukan sekadar kegagalan manajerial, tapi pelanggaran moral dan hukum keuangan negara. Tapi, bukankah memang sudah tabiat Jokowi yang selalu berbohong dan ugal-ugalan?!

Jokowi juga berdalih, transportasi massal di mana pun dunia disubsidi. Lagi-lagi dia memutar logika. MRT dan LRT disubsidi karena melayani jutaan pekerja harian di kawasan padat. Whoosh? Tiketnya ratusan ribu rupiah sekali jalan. Mulai Rp150 ribu hingga Rp600 ribu, tergantung kelas dan jadwal. Jelas ini bukan untuk rakyat kecil. Tak heran kalau tingkat okupansi Whoosh hingga Oktober 2025 masih stagnan di kisaran 60 persen. Tak signifikan mengurangi kendaraan pribadi. Jadi di mana “keuntungan sosial” yang dibanggakan itu?

Negara jadi sapi perah

Lebih jauh lagi, skema keuangan Whoosh membuat negara menjadi sapi perah. Untungnya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah tegas menolak penggunaan APBN untuk menutup utang KCIC. “Kalau keuntungannya diambil Danantara, ya kerugiannya jangan dilempar ke negara,” katanya.

Pernyataan ini bukan sekadar sindiran. Tapi tamparan keras bagi model pembangunan Jokowi yang sejak awal serampangan. Keuntungan milik swasta. Giliran rugi jadi beban negara. Ini bukan pembangunan. Ini kejahatan ekonomi berkedok proyek publik.

Dalam konteks geopolitik, Whoosh juga memperlihatkan betapa mudahnya kedaulatan ekonomi kita dijual murah. Ketergantungan pada pinjaman Tiongkok, mulai dari proyek infrastruktur hingga energi, telah menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang (debt trap). Hari ini, utang dipakai untuk membangun rel. Besok bisa menjadi alat tekanan politik dan ekonomi. Jokowi mungkin tak menyadari. Tapi sejarah sedang mencatat: dia telah menggadaikan kemandirian bangsa dengan dalih kemajuan.

Klaim Jokowi bahwa “kerugian akan mengecil seiring naiknya penumpang” pun ilusi. Dengan beban bunga, depresiasi, dan biaya operasional tinggi, Whoosh tak akan pernah efisien secara finansial. Proyek ini akan menjadi sumur tanpa dasar. Menyedot dana BUMN, lalu APBN, dan akhirnya uang rakyat.

Setiap kilometer rel yang dia bangun dengan utang, adalah jerat pajak yang akan menindih anak-cucu kita. Mereka akan menanggung beban cicilan dari proyek yang tak pernah mereka nikmati. Ini bukan sekadar pengkhianatan ekonomi, tapi perampokan masa depan bangsa.

Pada akhirnya, Whoosh bukan simbol kemajuan. Whoosh adalah monumen kesombongan kekuasaan dan kehancuran nalar ekonomi. Di balik kata “investasi sosial” tersembunyi dosa besar. Ada penipuan publik, pelanggaran prinsip fiskal, dan pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Cepat atau lambat, semua ini akan ditagih oleh sejarah.

Dan ketika saat itu tiba, Jokowi harus mempertanggungjawabkan setiap sen utang yang dia buat. Bukan hanya di depan rakyat, tapi juga di depan hukum dan Tuhan.

Ngomong-ngomong, dia percaya Tuhan gak, ya?! []

Jakarta, 28 Oktober 2025

Last Day Views: 26,55 K