๐Œ๐ž๐ง๐ ๐š๐ฉ๐š ๐๐ž๐ ๐š๐ซ๐š ๐Œ๐ž๐ง๐จ๐ฅ๐š๐ค ๐Œ๐ž๐ง๐ฃ๐š๐ฐ๐š๐›? ๐’๐ค๐š๐ง๐๐š๐ฅ ๐ˆ๐ฃ๐š๐ณ๐š๐ก, ๐ƒ๐๐“ ๐’๐ข๐ฅ๐ฎ๐ฆ๐š๐ง, ๐๐š๐ง ๐’๐ค๐ž๐ง๐š๐ซ๐ข๐จ ๐๐ž๐ง๐ ๐š๐ฆ๐›๐ข๐ฅ๐š๐ฅ๐ข๐ก๐š๐ง ๐๐ž๐ ๐š๐ซ๐š

๐Œ๐ž๐ง๐ ๐š๐ฉ๐š ๐๐ž๐ ๐š๐ซ๐š ๐Œ๐ž๐ง๐จ๐ฅ๐š๐ค ๐Œ๐ž๐ง๐ฃ๐š๐ฐ๐š๐›? ๐’๐ค๐š๐ง๐๐š๐ฅ ๐ˆ๐ฃ๐š๐ณ๐š๐ก, ๐ƒ๐๐“ ๐’๐ข๐ฅ๐ฎ๐ฆ๐š๐ง, ๐๐š๐ง ๐’๐ค๐ž๐ง๐š๐ซ๐ข๐จ ๐๐ž๐ง๐ ๐š๐ฆ๐›๐ข๐ฅ๐š๐ฅ๐ข๐ก๐š๐ง ๐๐ž๐ ๐š๐ซ๐š
Agus M Maksum

๐€๐ ๐ฎ๐ฌ ๐Œ ๐Œ๐š๐ค๐ฌ๐ฎ๐ฆ
๐ˆ๐ง๐ฏ๐ž๐ฌ๐ญ๐ข๐ ๐š๐ญ๐จ๐ซ ๐ˆ๐ง๐๐ž๐ฉ๐ž๐ง๐๐ž๐ง ๐๐š๐ง ๐๐ž๐ง๐ฎ๐ฅ๐ข๐ฌ ๐‚๐š๐ญ๐š๐ญ๐š๐ง ๐๐ž๐ซ๐ข๐ฌ๐ญ๐ข๐ฐ๐š

๐ˆ๐ง๐ข๐ฅ๐š๐ก ๐ฃ๐š๐ฐ๐š๐›๐š๐ง ๐ฆ๐ž๐ง๐ ๐š๐ฉ๐š ๐ค๐š๐ฌ๐ฎ๐ฌ ๐ข๐ฃ๐š๐ณ๐š๐ก ๐ฉ๐š๐ฅ๐ฌ๐ฎ ๐‰๐จ๐ค๐จ ๐–๐ข๐๐จ๐๐จ ๐›๐ž๐ ๐ข๐ญ๐ฎ ๐ซ๐ฎ๐ฆ๐ข๐ญ ๐๐š๐ง ๐ญ๐š๐ฆ๐ฉ๐š๐ค ๐ฆ๐ฎ๐ฌ๐ญ๐š๐ก๐ข๐ฅ ๐๐ข๐ฌ๐ž๐ฅ๐ž๐ฌ๐š๐ข๐ค๐š๐ง. ๐Š๐š๐ซ๐ž๐ง๐š ๐ฌ๐ž๐ฌ๐ฎ๐ง๐ ๐ ๐ฎ๐ก๐ง๐ฒ๐š, ๐ข๐ฃ๐š๐ณ๐š๐ก ๐ข๐ญ๐ฎ ๐›๐ฎ๐ค๐š๐ง ๐ฌ๐ž๐ค๐š๐๐š๐ซ ๐ฌ๐ž๐ฅ๐ž๐ฆ๐›๐š๐ซ ๐ค๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ฌ ๐š๐ค๐š๐๐ž๐ฆ๐ข๐คโ€”๐ฆ๐ž๐ฅ๐š๐ข๐ง๐ค๐š๐ง ๐ค๐จ๐ญ๐š๐ค ๐ฉ๐š๐ง๐๐จ๐ซ๐š ๐๐š๐ซ๐ข ๐ฌ๐ž๐›๐ฎ๐š๐ก ๐ฌ๐ค๐ž๐ง๐š๐ซ๐ข๐จ ๐›๐ž๐ฌ๐š๐ซ ๐ฉ๐ž๐ง๐ ๐š๐ฆ๐›๐ข๐ฅ๐š๐ฅ๐ข๐ก๐š๐ง ๐ค๐ž๐ค๐ฎ๐š๐ฌ๐š๐š๐ง ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐ญ๐ž๐ฅ๐š๐ก ๐๐ข๐ฆ๐ฎ๐ฅ๐š๐ข ๐ฌ๐ž๐ฃ๐š๐ค ๐‰๐จ๐ค๐จ๐ฐ๐ข ๐ฆ๐ž๐ง๐ฃ๐š๐๐ข ๐–๐š๐ฅ๐ข ๐Š๐จ๐ญ๐š ๐’๐จ๐ฅ๐จ, ๐ฅ๐š๐ฅ๐ฎ ๐†๐ฎ๐›๐ž๐ซ๐ง๐ฎ๐ซ ๐ƒ๐Š๐ˆ, ๐ก๐ข๐ง๐ ๐ ๐š ๐š๐ค๐ก๐ข๐ซ๐ง๐ฒ๐š ๐ฆ๐ž๐ง๐ฃ๐š๐›๐š๐ญ ๐๐ฎ๐š ๐ฉ๐ž๐ซ๐ข๐จ๐๐ž ๐ฌ๐ž๐›๐š๐ ๐š๐ข ๐๐ซ๐ž๐ฌ๐ข๐๐ž๐ง ๐‘๐ž๐ฉ๐ฎ๐›๐ฅ๐ข๐ค ๐ˆ๐ง๐๐จ๐ง๐ž๐ฌ๐ข๐š.

Di balik lembar ijazah yang tak pernah benar-benar dibuktikan keasliannya itu, tersembunyi jejaring kekuatan besar: aktor-aktor politik, modal, dan kekuasaan yang telah memanen keuntungan luar biasa selama satu dekade terakhir. Mereka telah menginvestasikan kekuatan, membangun pengaruh, dan tentu sajaโ€ฆ mereka akan melakukan apa pun untuk memastikan kotak pandora itu tetap tertutup rapat. Karena jika terbuka, bukan hanya satu sosok yang runtuhโ€”tapi seluruh bangunan kekuasaan yang dibangun di atas kebohongan.

“Ketika semua lembaga resmi mengesahkan kebohongan, maka rakyat hanya tinggal pada satu senjata terakhir: ingatan dan keberanian untuk bertanya.”

Saya tidak sedang membicarakan teori konspirasi. Saya sedang mencatat sejarah.

Sejarah tentang bagaimana sebuah negara bisa diarahkan oleh serangkaian skenario yang canggihโ€”dimulai dari manipulasi data pemilu, disusul legalisasi dokumen yang tak pernah diperlihatkan secara sah, dan diakhiri dengan kooptasi terhadap semua lembaga pengendali demokrasi.

Selama satu dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana kebenaran perlahan digantikan oleh narasi. Narasi yang diulang oleh pejabat, diperkuat oleh media arus utama, dan dibentengi oleh pasal-pasal pidana yang diberlakukan selektif.

Dan kini, setelah semua panggung itu dimainkan, muncul pertanyaan yang terus bergema, tak kunjung dijawab:

Mana ijazah asli Joko Widodo?

๐ˆ. ๐€๐ฐ๐š๐ฅ ๐๐š๐ซ๐ข ๐’๐ž๐ ๐š๐ฅ๐š๐ง๐ฒ๐š: ๐Ÿ๐Ÿ•,๐Ÿ“ ๐‰๐ฎ๐ญ๐š ๐ƒ๐๐“ ๐’๐ข๐ฅ๐ฎ๐ฆ๐š๐ง
Mari kita tarik waktu ke tahun 2019. Saat itu, saya bersama sejumlah penggiat pemilu dan pegiat sipil memegang data valid tentang keberadaan 17,5 juta data pemilih tidak terverifikasi dalam daftar pemilih tetap (DPT).

Data ini bukan sekadar angka ganjil. Ia adalah lubang dalam sistem yang bisa dimanfaatkan untuk menyisipkan suara palsuโ€”bukan sebelum atau saat pencoblosan, tapi justru setelahnya, ketika kotak suara tersisa banyak dan dapat dimainkan.

Ketika kami membawa temuan ini ke Mahkamah Konstitusi, kami tidak bicara untuk memenangkan pasangan calon. Kami bicara karena ingin memastikan proses demokrasi ini jujur. Tapi apa tanggapan MK?

โ€œApakah 17,5 juta DPT itu hadir di TPS? Kalau tidak, kenapa diributkan?โ€

Logika hukum diganti logika pengalihan isu. Hakim seolah menertawakan kekhawatiran rakyat.

Kami sadar, sidang ini bukan untuk menggali kebenaran. Sidang ini digelar untuk menggiring opini. Dan akhirnya, putusan pun keluar dengan cepatโ€”seolah semua sudah ditulis sebelum sidang dimulai.

II. Ijazah Tanpa Bukti: Ketika Negara Menjadi Buzzer

Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo muncul dalam perbincangan publik sejak 2022. Namun, alih-alih menjawab dengan transparansi dan bukti otentik, negara justru menunjukkan perilaku defensif yang aneh.

Kementerian Pendidikan memberikan klarifikasi tanpa menunjukkan dokumen asli. UGM memilih diam dan enggan membuka data akademik secara transparan.

Bareskrim justru menjadi pembela Joko Widodo yang seharusnya jadi tersangka, dunia terbalik.

Pengadilan tak pernah menghadirkan bukti otentik, hanya salinan dan menghindar mengadili pokok perkara ijazah Palsu.

Logikanya sederhana: jika ijazah itu asli, tunjukkan. Hadirkan dokumen fisik, buka ke publik, undang ahli forensik independen. Selesai.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya: pelapor dikriminalisasi, diskusi dibungkam, dan publik hanya dituntut satu hal: percaya pada narasi busuk tanpa ada bukti ijazah asli !
Narasi menggantikan bukti. Seribu buzzer mengatakan โ€œsah,โ€ maka publik harus ikut percaya. Jika tidak, siap-siap dikatakan penyebar hoaks.

๐ˆ๐ˆ๐ˆ. ๐’๐ข๐š๐ฉ๐š ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐ƒ๐ข๐ฎ๐ง๐ญ๐ฎ๐ง๐ ๐ค๐š๐ง?
Inilah pertanyaan kunci dalam setiap analisis investigatif. Kita mungkin tidak bisa segera membuktikan niat tersembunyi, tapi kita bisa bertanya: Siapa yang mendapat keuntungan?

Dan jawabannya tampak jelas jika kita melihat satu dekade kebijakan pemerintahan Jokowi. Mulai dari proyek strategis, regulasi, hingga orientasi investasi, semua mengarah pada kelompok ekonomi tertentu yang sangat kuatโ€”oligarki dan jejaring modal dari Republik Rakyat China (RRC).

Daftar Proyek yang Menguntungkan Proksi Asing:

Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Dibiayai CDB (China Development Bank), penuh TKA, dan teknologi China. Kritik menyebutnya sebagai โ€œjebakan utang.โ€

Omnibus Law Cipta Kerja: Dirancang untuk mempermudah investasi asing. Buruh, lingkungan, dan hak masyarakat dikorbankan demi efisiensi modal asing.

Proyek Strategis Nasional (PIK 2, Rempang, dll.): Dikuasai pengusaha dengan jejaring investasi Tionghoa-Indonesia yang mendapat karpet merah dari pemerintah.

Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN): Banyak pihak meyakini bahwa proyek ini dirancang sebagai exit plan untuk elite politik dan pintu masuk investor RRC.

Kerja Sama Bioteknologi Kesehatan: Kedaulatan farmasi dan teknologi dikesampingkan demi transfer modal dan penanaman pengaruh China.

Ini bukan lagi sekadar kebijakan yang โ€œmenguntungkan Chinaโ€โ€”tapi arah kebijakan sistemik yang perlahan membuat Indonesia seperti protektorat ekonomi RRC

๐ˆ๐•. ๐’๐ค๐ž๐ง๐š๐ซ๐ข๐จ ๐๐ž๐ฌ๐š๐ซ: ๐Š๐ž๐ค๐ฎ๐š๐ฌ๐š๐š๐ง ๐“๐š๐ง๐ฉ๐š ๐‹๐ž๐ ๐ข๐ญ๐ข๐ฆ๐š๐ฌ๐ข
Jika benar bahwa pemilu 2014 dan 2019 dimenangkan dengan dukungan dana dari para taipan, maka wajar kita bertanya: Apa balasan yang dijanjikan?

Beberapa narasi menyebut bahwa Omnibus Law dan IKN adalah bentuk โ€œbalas jasaโ€ untuk mereka yang telah membiayai kemenangan politik. Sementara masyarakat luas hanya menjadi penonton dari panggung besar perebutan kedaulatan negara oleh korporasi dan proksi asing.

Jokowi adalah simbol. Di baliknya ada aktor-aktor utama: dari taipan 9 naga, elit bisnis-politik lokal, hingga komprador yang menjadi jembatan penghubung antara kekuasaan dan modal asing.

Semuanya tersusun dalam skenario yang rapi. Dimulai dari pemalsuan identitas, legalisasi ijazah tanpa bukti, pengendalian lembaga negara, dan diakhiri dengan penguasaan atas tanah, sumber daya, dan hukum.

๐•. ๐Œ๐ž๐ง๐ ๐š๐ฉ๐š ๐’๐ž๐ฆ๐ฎ๐š ๐ƒ๐ข๐š๐ฆ?

Jawabannya sederhana: karena semua lembaga sudah dikendalikan. KPK dikerdilkan. Mahkamah dikunci. Media dibungkam dengan iklan. Buzzer dibayar.

Dan siapa yang berani bertanya, akan berhadapan dengan pasal karet. Namun kita tidak boleh berhenti bertanya. Karena ketika rakyat berhenti bertanya, saat itulah kebenaran mati, dan sejarah pun hanya akan diisi oleh para penipu.

๐•๐ˆ. ๐Š๐ž๐ฌ๐ข๐ฆ๐ฉ๐ฎ๐ฅ๐š๐ง: ๐Œ๐ž๐ฆ๐›๐ฎ๐ค๐š ๐“๐š๐›๐ข๐ซ ๐Š๐ž๐ ๐ž๐ฅ๐š๐ฉ๐š๐ง

Kita tidak bicara soal Jokowi sebagai individu. Kita bicara tentang praktik sistemik yang membangun kekuasaan di atas dokumen yang tak pernah dibuktikan sahihnya.

๐ƒ๐š๐ง ๐ฃ๐ข๐ค๐š ๐›๐ž๐ง๐š๐ซ, ๐ฆ๐š๐ค๐š ๐ฌ๐ž๐ฃ๐š๐ซ๐š๐ก ๐›๐š๐ง๐ ๐ฌ๐š ๐ข๐ง๐ข ๐š๐ค๐š๐ง ๐ฆ๐ž๐ง๐œ๐š๐ญ๐š๐ญ ๐›๐š๐ก๐ฐ๐š ๐ฉ๐ž๐ซ๐ง๐š๐ก ๐š๐๐š ๐ฌ๐š๐ญ๐ฎ ๐ž๐ซ๐š ๐ค๐ž๐ญ๐ข๐ค๐š ๐ง๐ž๐ ๐š๐ซ๐š ๐๐ข๐›๐š๐ง๐ ๐ฎ๐ง ๐๐ข ๐š๐ญ๐š๐ฌ ๐ค๐ž๐›๐จ๐ก๐จ๐ง๐ ๐š๐ง ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐๐ข๐ฅ๐ž๐ฆ๐›๐š๐ ๐š๐ค๐š๐ง.

๐‰๐ข๐ค๐š ๐ค๐ข๐ญ๐š ๐ฆ๐ž๐ฆ๐›๐ข๐š๐ซ๐ค๐š๐ง๐ง๐ฒ๐š ๐›๐ž๐ซ๐ฅ๐š๐ฅ๐ฎ, ๐ฆ๐š๐ค๐š ๐š๐ง๐š๐ค-๐œ๐ฎ๐œ๐ฎ ๐ค๐ข๐ญ๐š ๐š๐ค๐š๐ง ๐›๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ง๐ฒ๐š:
โ€œ๐ƒ๐ฎ๐ฅ๐ฎ, ๐ฌ๐š๐š๐ญ ๐ง๐ž๐ ๐š๐ซ๐š ๐›๐ž๐ซ๐๐ข๐ซ๐ข ๐๐ข ๐š๐ญ๐š๐ฌ ๐ค๐ž๐›๐จ๐ก๐จ๐ง๐ ๐š๐ง, ๐š๐ฉ๐š ๐ฒ๐š๐ง๐  ๐ค๐š๐ฅ๐ข๐š๐ง ๐ฅ๐š๐ค๐ฎ๐ค๐š๐ง?โ€
๐Œ๐š๐ซ๐ข ๐ค๐ข๐ญ๐š ๐ฃ๐š๐ฐ๐š๐› ๐๐ž๐ง๐ ๐š๐ง ๐ฌ๐š๐ญ๐ฎ ๐ค๐š๐ฅ๐ข๐ฆ๐š๐ญ: โ€œ๐Š๐š๐ฆ๐ข ๐ญ๐ข๐๐š๐ค ๐๐ข๐š๐ฆ.โ€

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K