28 Maret 1830, Diponegoro Dijebak Asing (Belanda), Sekarang Kita Malah Tergantung Asing

28 Maret 1830, Diponegoro Dijebak Asing (Belanda), Sekarang Kita Malah Tergantung Asing
Pangeran Diponegoro

Oleh: Ibrahim Aji

 

Jangan berunding dengan maling yang akan menjarah rumahmu – Tan Malaka

Pernyataan Tan Malaka yang tenar itu bukanlah ahistoris. Dalam sejarah Nusantara kita mengenal penipuan terbesar penjajah Belanda kepada pribumi. Pada 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro yang datang dengan damai memenuhi undangan perundingan Jenderal Hendrik Merkus de Kock.

Pangeran Diponegoro tidak curiga dengan undangan tersebut dan menganggap pertemuan itu hanya bersifat ramah tamah. Diponegoro diringi pengikutnya dari Metesih ke tempat pertemuan di rumah residen Kedu, Magelang.

Dalam pertemuan itu, De Kock juga memperlihatkan sikap persahabatan dan penuh rasa hormat. Bahkan mereka saling bertukar cerita lelucon dan menemukan kesenangan yang sama.

Namun, bagaimana pun De Kock tetaplah bawahan yang harus menjalankan perintah atasan. Apalagi bocoran yang diterima dari mata-matanya, Diponegoro tetap kukuh dengan pendiriannya untuk melawan Belanda.

Tiga hari sebelumnya, De Kock memberikan perintah rahasia kepada dua orang perwira infanterinya agar mempersiapkan pasukannya ketika Diponegoro datang.

Memang, Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Belanda yang baru, Johannes Van den Bosch menerbitkan perintah pada 6 Januari 1830 kepada De Kock untuk segera menangkap hidup-hidup Pangeran Diponegoro, atau bila perlu membunuhnya.

“Sebaiknya Tuan tidak usah kembali ke Metesih, tinggal di sini saja bersama saya,” ucap de Kock.
“Mengapa saya tidak diizinkan untuk kembali? Apa yang harus saya lakukan di sini? Saya hanya datang untuk beramah-tamah, seperti kebanyakan orang Jawa setelah akhir bulan puasa,” jawab Diponegoro.

De Kock mulai serius. “Saya akan menahanmu supaya masalah selama ini lekas selesai”.

Suasana mulai berubah. Semua yang hadir tegang. “Ada masalah apa Jenderal? Sesungguhnya, saya tidak merasa ada masalah, saya juga tidak menaruh benci kepada siapapun,” sahut Diponegoro.

Salah satu pengiring Pangeran Diponegoro, Mertanegara menyela supaya masalah politik bisa diselesaikan lain waktu.

“Tidak! Terserah pangeran setuju atau tidak, saya akan menuntaskan masalah politik hari ini juga!” potong De Kock dengan nada tinggi.

“Heh Jenderal, kamu sangat jahat. Buru-buru memutuskan dan tidak dibicarakan selama bulan puasa. Hatimu busuk, jika tahu begini aku tidak akan membiarkan dua utusanmu ke Bagelen,” balas Diponegoro.

Namun, De Kock memerintahkan para perwiranya menyiapkan pasukan.

“Jika begini situasinya, ini karena sifat jahatmu. Saya tidak takut mati! Sekarang tidak ada lagi tersisa kecuali dibunuh. Saya tidak bermaksud menghindarinya,” ucap Diponegoro.

De Kock terhenyak mendengar ucapan Diponegoro. Wajahnya tertunduk. “Memang Tuan, saya tidak ada niatan membunuhmu. Tetapi tidak tepat memenuhi semua keinginanmu disini,” jawabnya lirih.

Diponegoro pun menghampiri beberapa pengikutnya. Semua tertunduk. Dia lalu mengambil secangkir teh, meminumnya, kemudian beranjak keluar. Kereta kuda residen yang telah dipersiapkan di depan rumah segera membawa Diponegoro menuju tanah pengasingan.

Sikap De Kock yang tiba-tiba meringkus Diponegoro saat perundingan masih berlangsung dianggap sebagai perbuatan tidak jujur dan tidak ksatria.

Di era perang kemerdekaan, ketika Panglima Besar Sudirman diminta untuk kembali ke Yogyakarta dari daerah gerilya, Jenderal Sudirman awalnya menolak, karena tidak percaya Belanda telah benar-benar pergi dari Yogyakarta. Ia tidak ingin ditipu Belanda seperti terjadi kepada Pangeran Diponegoro.

Nah, teman, konten ini bisa menjadi refleksi untuk kita. Bukannya membenci asing, namun ketika kita tahu bahwa asing memiliki niat jahat kepada bangsa ini, untuk apa berunding lagi? Apalagi jika sampai tergantung kepada investasi asing di hari-hari ini, seolah kita tidak mampu memberi di atas kaki sendiri.

EDITOR: REYNA

 

Last Day Views: 26,55 K