Tanggung Jawab KPU Terhadap Dokumen Pendikan Kandidat

Tanggung Jawab KPU Terhadap Dokumen Pendikan Kandidat
Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, MA—Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sekaligus Presiden Institut Otonomi Daerah

Oleh: Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) sekaligus mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (2010–2014)

Kontroversi terkait dugaan ijazah palsu maupun ketidakakuratan keterangan kesederajatan jenjang pendidikan kandidat yang kembali mencuat dalam dinamika politik nasional menunjukkan satu hal mendasar, yaitu lemahnya tata kelola Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menangani dokumen pendidikan kandidat. Padahal dokumen itu merupakan persyaratan calon pejabat publik. KPU tentu harus bertanggung jawab dalam membenahinya.

Mengapa demikian? Karena ijazah adalah dokumen publik. Ia berbeda dengan dokumen kesehatan seorang calon. Dokumen kesehatan memang bersifat pribadi dan tidak dapat diumumkan, sementara ijazah justru harus terbuka untuk diakses publik. Transparansi ini penting, sebab ijazah merupakan salah satu syarat utama untuk menilai kelayakan seorang calon pejabat publik. Dengan demikian, publik berhak mengetahui dan melaporkan bila terjadi dugaan ketidakbenaran terkait ijazah ataupun surat keterangan tentang kesederajatan jenjang pendidikan para kandidat.

KPU tidak boleh menutup-nutupi arsip ijazah dan surat keterangan kesederajatan jenjang pendidikan para calon. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik jelas menyatakan bahwa dokumen seperti itu adalah informasi terbuka. Bahkan, untuk calon kepala pemerintahan terpilih, presiden/gubernur/bupati/walikota dokumen tersebut diteruskan KPU ke Kementerian Sekretariat Negara dan ke kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, lalu dijadikan arsip negara sebagai dasar penerbitan SK guna pelantikan kandidat terpilih.

Jadi, bila publik mempertanyakan kebenaran dokumen itu, KPU wajib memberikan penjelasan secara terbuka dan transparan. Menyembunyikan dokumen justru menimbulkan spekulasi liar yang menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penyelenggara pemilu.

Fenomena pemalsuan ijazah maupun keterangan kesederajatan jenjang pendidikan yang ditempuh calon pejabat publik bukanlah hal baru. Banyak kasus telah terbukti di pengadilan, dan tidak sedikit pejabat yang akhirnya diberhentikan atau dipidana akibat menggunakan ijazah palsu, dan memanipulasi tingkat kesederajatan jenjang pendidikannya yang paling kurang sederajat SLTA. Kasus ini menunjukkan rusaknya integritas kandidat yang menghalalkan segala cara agar bisa berkuasa.

Karena itu, sudah saatnya KPU sebagai wasit menyusun aturan main baru yang lebih ketat, detail, dan tidak multitafsir. Regulasi PKPU yang jelas akan menutup ruang manipulasi sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Dalam kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo maupun dugaan kekeliruan surat keterangan kesederajatan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, KPU ikut memiliki andil atas munculnya kekisruhan. Aturan yang lemah dan tidak rinci membuka ruang spekulasi publik. Kontroversi ini harus dijadikan pelajaran penting. KPU tidak boleh lagi membiarkan celah regulasi yang dapat menimbulkan kasus serupa di masa depan.

Saya ingin mengingatkan, KPU bukan sekadar pelaksana teknis pemilu, tetapi penjamin legitimasi demokrasi. Kepercayaan rakyat pada demokrasi bergantung pada integritas KPU dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas dokumen calon.

Sayangnya, persoalan ini bukannya semakin jernih, malah bertambah rumit dengan terbitnya PKPU No. 731 Tahun 2025 yang sempat menetapkan dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden, termasuk ijazah, sebagai informasi yang dikecualikan dari akses publik. Kebijakan itu jelas bertentangan dengan semangat keterbukaan informasi dan hak publik untuk mengawasi proses demokrasi.

Walakin, akhirnya peraturan tersebut dianulir, fakta ini menunjukkan adanya kecenderungan KPU untuk menutup ruang transparansi. Jika dibiarkan, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi kita.

Maka, keterbukaan dokumen, terutama ijazah dan surat keterangan tentang tingkat kesederajatan pendidikan kandidat, adalah kunci menjaga pemilu berintegritas. Pembuat UU Pemilu dalam revisi UU Pemilu No 7 Tahun 2017 nanti seyogianya mengaturnya dengan rinci. KPU sendiri harus memperbaiki regulasi.PKPU dengan menutup celah hukum, dan menjalankan fungsi transparansi tanpa kompromi. Hanya dengan cara itu kepercayaan publik terhadap demokrasi dan independensi KPU bisa tetap terjaga.

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K