Oleh: Budi Puryanto
Rumah itu tampak tenang dari luar. Jalan kecil di depannya lengang, hanya sesekali suara motor tua melintas. Lampu teras menyala redup, menyembunyikan kegelisahan yang tengah bersembunyi di balik dindingnya.
Namun bagi Bram, ketenangan itu hanyalah topeng. Ia berdiri di balik pohon mangga, menatap rumah keluarga Maya dengan tatapan tajam. Napasnya berembus perlahan, penuh perhitungan. Ia tahu, setelah malam ini, semua rahasia harus terbongkar. Ia tidak hanya memburu Maya, melainkan seluruh keluarganya. “Tak ada lagi ruang untuk sembunyi,” gumamnya lirih.
Di dalam rumah, Maya baru saja menidurkan adiknya. Ibunya masih berada di dapur, sementara ayahnya duduk di ruang tamu sambil menyalakan radio. Tak seorang pun menyadari bahwa bayangan gelap sedang menunggu di luar, menghitung langkah demi langkah untuk menerobos masuk.
Seno, yang sejak kejadian di halaman beberapa hari lalu tak bisa tidur tenang, duduk di mobilnya yang terparkir dua rumah dari kediaman Maya. Ia sudah memperkirakan Bram akan kembali, tapi tidak secepat ini. Tatkala jam dinding di ponselnya menunjukkan hampir tengah malam, sebuah pesan kilat masuk: “Target mulai bergerak. Lindungi mereka.”
Tanpa menunggu, Seno meraih pistol kecil dari laci dashboard. Hatinya berdegup kencang. Ini bukan lagi sekadar misi formal, melainkan penyelamatan personal—karena Maya kini bukan hanya bagian dari rencana, tetapi juga bagian dari dirinya yang tak sanggup ia lepaskan.
Bram mulai berjalan mendekat. Sepatu boot hitamnya menyentuh aspal dengan bunyi berat. Dari balik kaca jendela, Maya merasakan sesuatu yang aneh. Ia bangkit, mengintip ke luar, lalu tubuhnya menegang ketika melihat siluet itu. Bram.
“Bu, matikan lampu dapur,” bisiknya panik. Ibunya menoleh bingung, namun segera mengikuti. Kegelapan menelan sebagian rumah, menyisakan bayangan samar di tiap sudut.
Seno bergerak cepat. Ia keluar dari mobil, bersembunyi di balik pagar tetangga. Dari jarak itu, ia melihat Bram mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya—sebuah linggis kecil. Ia bersiap membongkar jendela samping.
Ketegangan memuncak. Seno harus memutuskan: menunggu Bram masuk dan membuat kekacauan, atau menyerang lebih dulu.
Tiba-tiba, kaca jendela berderak. Bram mulai mengungkit. Suara retakan kaca membuat Maya menjerit tertahan. Ayahnya berdiri, wajahnya memucat, lalu berusaha menahan pintu dari dalam. Tapi Bram tidak sendirian—dua bayangan lain muncul dari arah gang, mendekat dengan langkah mantap.
“Celaka,” Seno mendesis. Jumlah mereka lebih banyak dari perkiraan.
Ia menarik napas dalam, melompat keluar dari tempat persembunyian, lalu melepaskan tembakan peringatan ke udara. “Berhenti!” suaranya menggelegar di antara malam yang sunyi.
Bram mendongak, wajahnya menyeringai ketika mengenali suara itu. “Akhirnya kau muncul juga, Seno…” katanya, nada dingin menusuk.
Para bayangan berhenti sejenak, namun segera merayap maju, seolah tidak gentar sedikit pun. Bram sendiri justru menekan linggis lebih keras, membuat kaca jendela hampir pecah seluruhnya.
Seno melangkah cepat, menempatkan dirinya di antara rumah Maya dan para pengepung. “Kalau kau ingin mereka, lewati aku dulu,” ujarnya.
Hening sejenak. Angin malam meniup dedaunan, menciptakan gesekan yang mengerikan. Dari balik jendela, Maya menatap dengan mata basah. Ia tahu Seno sedang mempertaruhkan nyawanya.
Bram tertawa pendek. “Kau pikir kau bisa menahan kami sendirian?”
Seno tidak menjawab. Tangannya yang memegang senjata bergetar halus, tapi sorot matanya tetap membara. Ia tahu, malam ini bukan soal menang atau kalah, melainkan soal waktu. Semakin lama ia bertahan, semakin besar peluang Maya dan keluarganya untuk diselamatkan.
Ketika bayangan pertama menerjang, Seno menembakkan peluru tepat ke tanah di depannya. Suara ledakan memekakkan telinga, membuat lawan mundur sejenak. Di sela kekacauan itu, Seno berteriak lantang, “Maya! Ajak keluargamu keluar lewat pintu belakang sekarang!”
Maya terperanjat, tapi segera menarik tangan ibunya, menggiringnya menuju dapur. Ayahnya sempat ingin melawan, namun Maya mendesak, “Ayah, ini bukan waktunya!”
Bram melihat pergerakan itu. “Jangan biarkan mereka lolos!” raungnya. Dua orang anak buahnya berbelok menuju sisi belakang rumah.
Seno panik. Ia melompat maju, menahan Bram dengan hantaman keras. Senjata hampir terlepas dari genggamannya, tapi ia berusaha mati-matian untuk tidak tumbang.
Pertarungan pun pecah di halaman rumah itu—antara tekad seorang lelaki yang rela mempertaruhkan segalanya demi menyelamatkan seseorang, dan bayangan-bayangan gelap yang tak kenal ampun.
Malam pun semakin pekat, seolah menelan setiap jeritan, dentuman, dan detak jantung yang berpacu di ujung Agustus.
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
Baca juga:
Api Diujung Agustus (Seri 19) – Pembersihan Internal Garuda Hitam
Api Diujung Agustus (Seri 18) – Bayangan di Balik Bayangan (Maya Main Ganda)
Api Diujung Agustus (Seri 17) – Retakan di Dalam Bayangan
Related Posts
Di Balik Tangis Bayi Perempuan dan Luka Ibu Muda di Kota Kediri Korban Perkosaan
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Terduga Pelaku Kasus Persetubuhan Anak di Bawah Umur di Kediri Diamankan Polisi, Korban Telah Melahirkan
Gen Z Pelopor Pergerakan Massa.
Trump: Hamas ‘siap untuk perdamaian abadi,’ Israel ‘harus segera hentikan pengeboman Gaza’
Habib Umar Alhamid: HUT ke-80 TNI Momentum Perkuat Profesionalisme dan Kedekatan dengan Rakyat
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
Reformasi Parpol dan Polri
Handuk Putih untuk Jokowi
Yahya Zaini: Ahli Gizi Harus Jadi Garda Depan Cegah Keracunan MBG
No Responses