Oleh: Ahmad Cholis Hamzah
Seringkali kita mendengar keluhan generasi tua, atau para manajer perusahaan terhadap sikap para generasi muda masa kini yang disebut Gen Z itu antara lain tidak memiliki jiwa petarung atau fighting spirit, menginginkan hal-hal yang instan saja. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Gen Z ini memiliki kelemahan antara lain mencakup ketergantungan teknologi dan media sosial, yang menyebabkan FOMO (Fear of Missing Out), kurang fokus, dan perbandingan diri; masalah kesehatan mental seperti kecemasan; ketidakpuasan dan ketidaksabaran dalam karier karena ekspektasi tinggi dan keinginan akan kemajuan cepat; kesulitan dalam membangun keterampilan sosial dunia nyata; serta kecenderungan konsumtif dan kurangnya pengalaman kerja yang memengaruhi pengambilan keputusan dan ketahanan mental.
Namun perlu diingat Gen Z sangat melek teknologi karena lahir dan tumbuh di era digital, terbiasa dengan perangkat seperti smartphone dan internet sejak dini, sehingga memiliki kemampuan adaptasi cepat terhadap teknologi baru dan mahir dalam mengoperasikan aplikasi serta gadget. Mereka dikenal sebagai digital natives dan memanfaatkan teknologi untuk berbagai hal, mulai dari hiburan hingga ekspresi diri, serta dalam membangun karier dan bisnis di dunia digital.
Karena melek teknologi informasi inilah ternyata Gen Z dibeberapa negara menjawab keluhan generasi tua diatas – karena memiliki kesadaran lebih untuk perbaikan kondisi negaranya yang carut marut, penuh praktek korupsi, membongkar para pejabat negara dan keluarganya yang menghambur-hamburkan uang negara dengan kehidupan hedonis mereka dsb.
Kesadaran akan perbaikan negara itu terjadi di awal bulan Oktober 2025 ini di Maroko, para anak muda yang tergolong Gen Z ini turun kejalan memprotes keputusan negaranya yang sedang membangun apa yang akan menjadi stadion sepak bola terbesar di dunia sebagai persiapan untuk menjadi tuan rumah bersama Piala Dunia 2030. Tetapi bagi para demonstran yang telah turun ke jalan setiap malam di seluruh negeri sejak Sabtu lalu, pameran berkapasitas 115.000 ini dan semua infrastruktur sepak bola lainnya yang sedang dikembangkan, yang dilaporkan menelan biaya $ 5 miliar (£ 3,7 miliar), adalah penghinaan – contoh pemerintah yang salah memprioritaskannya.
Sebuah kelompok bernama Gen Z 212 – nomor tersebut mengacu pada kode panggilan internasional negara itu – telah mengoordinasikan demonstrasi melalui platform game dan streaming Discord, serta TikTok dan Instagram. Tampaknya mengambil inspirasi dari protes Gen Z Nepal baru-baru ini, kaum muda Maroko ingin pihak berwenang bertindak dengan urgensi dan semangat yang sama dalam mengatasi masalah ini seperti dengan menjadi tuan rumah salah satu acara olahraga utama dunia. Dimulai pada 27 September dengan protes di 10 kota, kerumunan telah berkumpul sepanjang minggu, meneriakkan slogan-slogan seperti: “Tidak ada Piala Dunia, kesehatan diutamakan” dan “Kami ingin rumah sakit bukan stadion sepak bola”.
Para demonstran Gen Z itu membuat daftar tuntutan yang telah dibagikan di media sosial. Mereka termasuk antara lain: Pendidikan gratis dan berkualitas untuk semua, Layanan kesehatan publik yang dapat diakses untuk semua orang, Perumahan yang layak dan terjangkau, Transportasi umum yang lebih baik, Harga lebih rendah dan mensubsidi barang pokok, Meningkatkan upah dan pensiun, Menyediakan kesempatan kerja bagi kaum muda dan mengurangi pengangguran, Mengadopsi bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, bukan bahasa Prancis (setelah bahasa Arab).
Sebelumnya Gen Z di Bangladesh dan Nepal juga turun kejalan yang memprotes perilaku korup pemerintah dan para pejabat negara dan anggota keluarganya. Protes di kedua negara ini telah menelan korban jiwa dan berhasil menumbangkan para pemimpin negara mereka.
Pada bulan Oktober 2025 ini juga kita menyaksikan adanyanya kemarahan publik, dengan tujuan yang diambil oleh kelompok masyarakat sipil dan pembentukan gerakan online yang dipimpin oleh pemuda yang dikenal sebagai Gen Z Mada. Protes sejak itu menyebar ke luar Antananarivo, mencengkeram delapan kota lain di seluruh pulau, tanpa tanda-tanda mereda.
Mengibarkan spanduk, pengunjuk rasa mengecam pemadaman listrik dan menuduh pemerintah gagal menjamin hak-hak dasar. Para aktivis juga menyalahkan korupsi yang meluas di dalam perusahaan listrik atas krisis listrik.
Ribuan orang di Madagaskar telah turun ke jalan di berbagai bagian negara itu selama seminggu terakhir dalam gelombang protes terbesar yang telah disaksikan negara kepulauan Samudra Hindia itu dalam lebih dari 15 tahun. Apa yang dimulai sebagai kemarahan atas kekurangan kebutuhan pokok dengan cepat meningkat menjadi salah satu tantangan paling serius yang dihadapi Presiden Andry Rajoelina, yang telah berkuasa, untuk kedua kalinya, sejak 2018. Pada hari Senin, sebagai tanggapan, dia memecat pemerintahannya tetapi itu tidak menenangkan para pengunjuk rasa, yang sekarang ingin dia pergi juga.
Dunia sekarang menyaksikan kelompok anak muda Gen Z juga turun dijalan dimana-mana, di negara-negara Eropa, Amerika Latin, Asia dan Afrika. Mereka umumya menuntut pemerintahan yang korup.
Perlu diingat para demonstran di ibukota Jakarta dan beberapa kota di nusantara ini sebagian besar adalah kelompok Gen Z yang memprotes kondisi ekonomi dan sosial termasuk isu-isu korupsi, gaji dan tunjangan anggota parlemen yang terlalu tinggi yang menghiraukan sensitivitas rakyat banyak mengalami kesusahan ekonomi.
EDITOR: REYNA
Related Posts
Api di Ujung Agustus (Seri 24) – Kartu As Gema
Terduga Pelaku Kasus Persetubuhan Anak di Bawah Umur di Kediri Diamankan Polisi, Korban Telah Melahirkan
Trump: Hamas ‘siap untuk perdamaian abadi,’ Israel ‘harus segera hentikan pengeboman Gaza’
Habib Umar Alhamid: HUT ke-80 TNI Momentum Perkuat Profesionalisme dan Kedekatan dengan Rakyat
Api di Ujung Agustus (Seri 23) – Dua Api, Satu Malam
Reformasi Parpol dan Polri
Handuk Putih untuk Jokowi
Yahya Zaini: Ahli Gizi Harus Jadi Garda Depan Cegah Keracunan MBG
Pak Purbaya, Pertamina Harus Dibenahi: Dari Kilang Mangkrak Hingga Skandal Kapal Tanker
Syahganda Nainggolan: SBY Layak Diusulkan Jadi Sekjen PBB
No Responses