Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia

Oleh: Budi Puryanto

Washington D.C., pukul 21.14 waktu setempat

Gedung Treasury tampak tenang dari luar. Lampu-lampu kota memantul di jendela marmernya, menyembunyikan fakta bahwa di bawah tanah, dunia sedang bergetar.

Di ruang bawah tanah yang tidak memiliki simbol negara, sekelompok orang duduk di meja oval. Di tengah meja itu, layar besar menampilkan peta digital Asia — garis biru saling terhubung dari Tokyo ke Shanghai, dan berakhir di Jakarta.

Suara seseorang memecah kesunyian. Wakil Menteri Keuangan AS, Mitchell Graves:

“Mereka menyebutnya Meja Asia Baru. Sebuah jaringan finansial yang bisa beroperasi tanpa dolar. Tuan-tuan, ini bukan inovasi. Ini pemberontakan.”

Keheningan menggantung. Di layar belakangnya, logo kecil muncul: TOI – Three Oceans Imperium. Dulu hanya rumor di kalangan intelijen. Kini menjadi kenyataan — dan ancaman terhadap tatanan global yang dibangun tujuh dekade lamanya.

Graves menunjuk grafik di layar.

“Dalam 48 jam setelah uji coba Meja Asia Baru, lebih dari 300 miliar dolar transaksi hilang dari radar SWIFT. Tapi bukan hilang… mereka berpindah. Ke dalam protokol tersembunyi yang berbasis di Singapura dan Tokyo.”

Analis CIA, Rachel Hart berkata, “Likuiditas digitalnya tersedot keluar dari pengawasan Barat. Kalau mereka bisa menstabilkannya, IMF dan Bank Dunia akan kehilangan relevansi dalam sepuluh tahun.”

Kepala Divisi Siber NSA menyahut, “Bukan sepuluh. Lima tahun, mungkin kurang. Apalagi jika Jakarta resmi bergabung ke inti sistemnya. Netralitas Indonesia adalah tembok pelindung mereka.”

Graves bergumam lirih tapi denagn nada marah, “Kalau begitu… kita bakar tembok itu.”

Sementara itu di Brussels, ruang rapat Bank Sentral Eropa terasa dingin dan sunyi. Helene Kruger, Presiden ECB, membaca laporan setebal 300 halaman bertuliskan “TOI – Risk Assessment: Financial Decoupling Scenario.”

Kruger berkomentar, “Setiap kekaisaran runtuh saat kehilangan kendali atas mata uangnya. Amerika seharusnya belajar itu dari Romawi.”

Seorang penasihatnya berkata pelan, “Jadi kita berpihak lagi pada mereka, Nyonya?”

Kruger menatap peta Asia di layar.

“Tidak. Kita berpihak pada kelangsungan hidup. Itu berarti… bermain di dua sisi.”

Ia menulis catatan kecil di margin laporan, “Aktifkan Proyek Paritas — infiltrasi digital euro ke node TOI.”
Perang senyap pun dimulai, bukan dengan tank dan misil, melainkan dengan kode algoritma dan volatilitas buatan.

Kembali ke Jakarta.

Di Jakarta, Rafiq duduk di ruang sempit di lantai tujuh gedung yang dindingnya dipenuhi peta dunia dan grafik ekonomi.Sebuah flash drive kecil dari Tokyo kini ada di tangan Kepala BIN, Arman Satya.

“Amerika dan Eropa sudah bergerak. IMF menunda pertemuan di Bali. Bank Dunia mulai menekan soal cadangan devisa. Dan sekarang…,” kata Arman memecah keheningan. Ia mengangkat salinan pesan rahasia.

“NSA baru saja menandai komunikasi antara kamu dan Tokyo. Kau sudah ada di radar mereka, Rafiq.”

Rafiq, dengan tenang menyahut, “Saya selalu di radar mereka, Pak. Hanya saja mereka baru sadar.”

Arman tersenyum tipis.

“Imperium mulai menampakkan taringnya. Tapi ingat, Rafiq — yang paling berbahaya bukan yang menyerang dari luar, tapi yang mengatur dari dalam.”

Beberapa hari kemudian, di Zurich, sekelompok mantan bankir UBS dan analis dari London School of Economics berkumpul di ruang bawah tanah tua.  Mereka menamakan diri Project HOLLOW.

Misi mereka, menyusup ke sistem TOI dan menciptakan anomali kurs, membuat ilusi instabilitas agar investor Asia kehilangan kepercayaan.

Lukas Meier, mantan UBS berkata, “Kita suntikkan data volatilitas palsu. Tidak perlu besar — cukup untuk memicu kepanikan. Sistem mereka cepat, tapi masih percaya pada angka.”

Agen MI6 (kode FENRIR) menjawab, “Dan angka bisa berbohong.”

Mereka tak tahu, Rafiq sudah mengendus gerakan ini lewat jalur intelijen ekonomi ASEAN. Dalam laporan rahasianya, ia menulis: “Perang berikutnya bukan tentang siapa yang punya uang lebih banyak, tapi siapa yang lebih dulu membuat uang kehilangan maknanya.”

Sementara itu di Tokyo, malam yang sama. Kenji Watanabe berdiri di depan server utama TOI — ruangan biru dingin dengan suara mesin yang bergemuruh seperti napas raksasa. Di layar, data anomali muncul: ratusan transaksi fiktif dari Eropa menyusup perlahan.

Li Cheng berkomentar, “Intelijen Barat sudah memulai perang bayangan mata uang. Apakah kamu siap membalas?”

Kenji menjawab tanpa menoleh, “Kita tidak akan membalas. Kita biarkan mereka tenggelam dalam algoritma mereka sendiri.”

Dini ini hari di Jakarta.Rafiq duduk di balkon kecil, menatap kota yang tertidur. Di tangannya laporan dari Tokyo dan Zurich.

Ia tahu TOI sedang diserang. Tapi ia juga sadar — sistem itu bisa menjadi terlalu kuat bahkan bagi penciptanya sendiri.

Ia menulis pesan terenkripsi untuk Arman Satya, Kepala BIN.

“Kita berada di antara dua badai: satu dari Barat, satu dari Timur. Tapi badai ketiga akan datang dari algoritma yang kita buat sendiri.”

Pesan itu dikirim ke server dalam negeri, lalu menghilang.

Melihat situasi gawat, Washington bergerak cepat. Graves menandatangani memo berjudul Operation Resync — rencana menyuntikkan 1,5 triliun dolar ke pasar global melalui IMF.

Tujuannya bukan menyelamatkan dunia, tapi menenggelamkan TOI dengan banjir likuiditas buatan, agar sistem Asia itu kolaps oleh beratnya uang.

Graves berkata,” “Mereka ingin kemerdekaan? Baiklah. Kita beri mereka banjir. Tidak ada sistem yang bertahan dari uang berlebih.”

CIA mencatat operasi itu sebagai Economic Containment Strategy — tahap pertama dari perang senyap melawan Asia.

Tiga minggu kemudian, indeks TOI melonjak liar. Harga pangan Asia turun, ekspor meningkat, tapi sistemnya mulai panas.

Algoritma TOI memicu self-correction mode — mematikan 40% transaksi agar uang beredar terkendali. Namun langkah itu justru menciptakan kekosongan likuiditas.

Dalam sehari, nilai mata uang digital TOI turun 15%. Jutaan pengguna kehilangan akses sementara. Pasar global panik. Kegagalan sistem? Tidak. Manipulasi eksternal — halus, tapi mematikan.

Di ruang operasional Jakarta, Rafiq menatap layar dan berbisik, “Perang mata uang ini seperti perang agama baru — semua orang percaya pada kebenaran yang tak mereka pahami.”

Sore itu, panggilan terenkripsi masuk dari Tokyo. Suara Kenji terdengar lelah, “Sistemnya bertahan… tapi nyaris mati. Seseorang di Singapura membocorkan kunci akses. TOI sedang berdarah, Rafiq.”

“Kalau begitu, tutup lukanya. Sebelum orang lain memutuskan untuk memotong seluruh tubuhnya,” jawab Rafiq.

“Dan Indonesia? Apa langkah kalian?” tanya Kenji menyelidik.

“Amati. Catat. Ingat,” jawab singkat Rafiq.

Beberapa minggu kemudian, laporan gabungan CIA–MI6–FSB mencatat istilah baru dalam dokumen rahasia:
TOSW — The Three Oceans Silent War.

Sebuah perang yang tak pernah diumumkan, tak pernah dideklarasikan, tapi dirasakan semua orang — dalam harga beras, kurs rupiah, dan tagihan listrik yang naik tanpa alasan.

Di tengah semuanya, Indonesia tetap berdiri — bukan di sisi Barat, bukan di sisi Timur, tapi di garis tipis di antara dua algoritma yang berebut memprogram dunia.

Malam itu, Rafiq menulis catatan terakhir di jurnal pribadinya. “Kekuasaan tidak lagi ditentukan oleh siapa yang menulis sejarah, tapi oleh siapa yang mengendalikan sistem akuntansi.”

Lampu Jakarta berkelip seperti sandi Morse dari masa depan. Pertanda bahwa babak berikutnya dari Three Oceans Imperium (TOI) baru saja dimulai — dan kemarahan Amerika belum sepenuhnya terlihat.

BERSAMBUNG

EDITOR: REYNA

Baca juga: 

Novel “Imperium Tiga Samudra”(13) – Perang Senyap Mata Uang

Novel “Imperium Tiga Samudra”(12) – Meja Baru Asia

Novel “Imperium Tiga Samudra”(11) – Dialog Dibawah Menara Asap

 

 

Last Day Views: 26,55 K