Nasionalisme Prabowo: Jalan Baru atau Bayang-Bayang Jokowi?

Nasionalisme Prabowo: Jalan Baru atau Bayang-Bayang Jokowi?
Foto: Presiden Prabowo Subianto dalam retreat Kabinet Merah Putih di Magelang (dok. screenshot video/finance.detik.com)

Oleh: M. Isa Ansori

Indonesia saat ini berada dalam sebuah persimpangan sejarah: antara harapan akan kebangkitan nasionalisme baru, atau kembalinya kita pada pola kekuasaan lama yang selama sepuluh tahun telah menggerogoti logika negara. Dan di tengah persimpangan itu, satu pertanyaan yang tidak bisa lagi dihindari muncul dengan ketajaman yang kian menyengat:

Apakah nasionalisme Prabowo adalah arah baru untuk bangsa, atau hanya replikasi dari nasionalisme semu ala Jokowi—dengan nama, wajah, dan gaya bicara yang berbeda?

Pertanyaan ini bukan sekadar politis. Ia menyentuh inti teori nasionalisme yang selama ini menjadi fondasi memahami bagaimana negara membayangkan dirinya. Dan dari sudut pandang itu, Prabowo tampaknya sedang diuji lebih berat dari yang dibayangkan.

Gellner: Modernisasi Yang Tak Kunjung Terlihat

Dalam teori Ernest Gellner, nasionalisme adalah produk modernitas. Ia menuntut negara untuk bergerak maju—menata birokrasi, menguatkan institusi, dan menghadirkan kebijakan yang rasional, bukan personal. Tetapi apa yang kita lihat pada awal pemerintahan Prabowo?

Kita melihat kelanjutan proyek-proyek Jokowi tanpa evaluasi mendalam.
Kita melihat pola pelibatan figur lama yang masih memengaruhi keputusan strategis. Kita melihat kesinambungan politik yang lebih menyerupai ketergantungan, bukan kesinambungan kebijakan.

Bila nasionalisme adalah mesin modernisasi, maka apa jadinya jika pemimpin baru memulai langkahnya dengan menoleh terus ke belakang?

Modernisasi menuntut keberanian untuk memutus pola lama. Namun yang tampak hari ini adalah negara yang masih berjalan dengan bayangan Jokowi menggantung di atas bahu Prabowo. Jika itu terus berlangsung, nasionalisme Prabowo tidak akan pernah melampaui status sebagai pengulangan dari nasionalisme kosmetik yang selama ini hanya memoles permukaan tanpa memperkuat struktur negara.

Anderson: Bangsa Yang Dibayangkan Oleh Elite, Bukan Oleh Rakyat

Benedict Anderson menyebut bangsa sebagai imagined community—komunitas yang dibayangkan bersama oleh rakyatnya. Namun, persoalannya di Indonesia hari ini, arah bangsa tampaknya tidak dibayangkan oleh rakyat. Arah itu masih dibayangkan oleh lingkar kekuasaan yang ditinggalkan Jokowi.

Publik melihat bagaimana figur lama masih memengaruhi arah pengambilan keputusan.
Publik mempertanyakan mengapa banyak agenda lama tetap dilestarikan tanpa kritik. Publik merasa bahwa presiden baru seolah masih harus berkonsultasi dengan bayangan presiden lama.

Ini bertentangan langsung dengan gagasan Anderson. Jika imajinasi bangsa dimonopoli oleh elite, maka nasionalisme kehilangan sifat kolektifnya. Ia turun derajat menjadi proyek kekuasaan, bukan proyek kebangsaan.

Nasionalisme yang dibayangkan oleh segelintir elite bukanlah nasionalisme. Ia hanyalah propaganda yang dikemas rapi. Dan publik semakin berani bertanya: Apakah Prabowo benar-benar membayangkan Indonesia yang baru — atau hanya menjalankan imajinasi Jokowi yang masih tertinggal dalam struktur kekuasaan?

Hobsbawm: Tradisi Kekuasaan Yang Diciptakan Ulang

Eric Hobsbawm mengingatkan bahwa banyak tradisi nasional sesungguhnya “diciptakan”. Ia digunakan untuk menjaga legitimasi politik. Di era Jokowi, kita melihat itu terjadi secara masif: slogan nasionalisme, pertunjukan simbol-simbol negara, parade kekuasaan, dan glorifikasi pembangunan.

Masalahnya, Prabowo terlihat cenderung mewarisi tradisi itu secara apa adanya—tanpa kritik dan tanpa keberanian untuk mendefinisikan ulang substansi nasionalisme itu sendiri.

Apakah Prabowo sekadar melanjutkan tradisi kekuasaan Jokowi? Atau ia berusaha menciptakan tradisi baru yang lebih sehat, rasional, dan berpihak pada rakyat?

Karena bila ia hanya melanjutkan tradisi yang dibangun pendahulunya, maka nasionalisme Prabowo tak lebih dari manuver politik yang sudah pernah kita lihat sebelumnya—tradisi yang diciptakan bukan untuk kepentingan bangsa, tetapi untuk menjaga kenyamanan elite.

Rakyat Sudah Jenuh Dengan Nasionalisme Semu

Satu dekade di bawah Jokowi memperlihatkan bagaimana nasionalisme bisa digunakan sebagai tameng untuk menutupi kegagalan. BUMN merugi.
Harga kebutuhan pokok melambung. Korupsi merajalela. Stabilitas hanya menjadi kata yang diulang tanpa makna.

Rakyat sudah kenyang dengan slogan. Mereka tidak membutuhkan presiden yang pandai berpidato; mereka membutuhkan presiden yang berani mengambil jarak dari masa lalu.

Karena nasionalisme sejati tidak mungkin tumbuh jika presiden baru masih terikat pada pola kepemimpinan lama.

Kesimpulan: Prabowo Harus Memutus Bayang-Bayang Itu

Dalam bingkai teori Gellner, Anderson, dan Hobsbawm, satu kesimpulan menjadi jelas:
nasionalisme Prabowo hanya akan bernilai jika ia berhenti berjalan dengan bayang-bayang Jokowi mengiringinya.

Jika tidak, maka nasionalisme itu hanya akan menjadi episode baru dari drama yang sama—halus di permukaan, rapuh di dalam.

Prabowo harus menegaskan diri: apakah ia presiden penuh dengan visi sendiri, atau sekadar aktor baru dalam panggung kekuasaan lama?

Bangsa ini menunggu jawabannya. Dan waktu tidak sedang memihak.

Surabaya, 16 November 2025

Tentang Penulis :
M. Isa Ansori adalah Kolumnis, dosen fokus pada psikologi komunikasi dan transaksional analisis, Dewan Pakar LHKP PD Muhammadiyah Surabaya dan Wakil Ketua ICMI Jatim, Aktif menulis essay politik, sosial, pendidikan dan budaya serta kebijakan publik di media cetak maupun online

EDITOR: REYNA

Last Day Views: 26,55 K