Oleh: Muhammad Chirzin
Presiden Prabowo Subianto baru saja membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri melalui Keputusan Presiden Nomor 122/P Tahun 2025. Komisi yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie ini bertugas mengkaji serta memberikan rekomendasi perbaikan menyeluruh terhadap institusi Polri, termasuk kemungkinan revisi undang-undang. Komisi Percepatan Reformasi Polri bekerja efektif dalam tiga bulan.
Menurut Jimly Asshiddiqie, jika hasil kajian menunjukkan perlunya perubahan fundamental, revisi UU Polri bisa menjadi opsi. Komisi ini akan bekerja secara terbuka, menghimpun aspirasi publik, dan berkoordinasi dengan internal Polri untuk merumuskan rekomendasi kebijakan yang tepat.
Pada hari Sabtu, 15 November 2025 Prof. Mahfud MD bertemu dengan beberapa akademisi, praktisi, aktivis, dan wartawan, serta mahasiswa di Yogyakarta untuk belanja masalah dan belanja solusi. Menurut Mahfud MD, semua orang sudah tahu berbagai masalah kepolisian, dan Polisi pun sudah tahu masalah itu. Lalu apa yang akan dilakukan? Membuat aturan, aturannya sudah ada. Mau ditindak satu per satu? Mana mungukin dilakukan begitu, dan butuh berapa lama sekian banyak kasus untuk diselesaikan. Maka, pertemuan ini titik tekannya bukan belanja masalah, tetapi belanja solusi. Mudah-mudahan para akademisi, praktisi, aktivis, dan masyarakat luas dapat membantu.
Beberapa masukan yang dapat dipertimbangkan untuk reformasi kepolisian, pertama, meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dengan meningkatkan pengawasan internal dan eksternal terhadap kepolisian.
Kedua, meningkatkan kualitas sumber daya manusia kepolisian melalui pendidikan dan pelatihan yang lebih baik, serta meningkatkan kesejahteraan dan gaji yang layak.
Ketiga, mereformasi struktur organisasi kepolisian agar lebih efektif dan efisien, serta meningkatkan koordinasi antara unit-unit kepolisian.
Keempat, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepolisian, dan kerja sama dengan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil, serta meningkatkan penggunaan teknologi untuk efisiensi dan efektivitas kepolisian.
Kelima, meningkatkan perlindungan hak asasi manusia dalam proses penegakan hukum, seperti prosedur penangkapan dan penahanan yang lebih transparan dan akuntabel.
Di masa Presiden Jokowi Kapolri bertanggung jawab langsung kepada Presiden, alias Polri di bawah komando Presiden. Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPP-TNI) mengusulkan agar Polri dikembalikan posisinya di bawah Mendagri. Dengan begitu kekuasaan Presiden tidak terlalu besar dan mengurangi risiko penyalahgunaan wewenang. Polri akan lebih mudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum di daerah dan terhindar dari politisasi dan intervensi politik.
Keputusan MK melarang polisi aktif menjabat di instansi lain sangatlah positif. Pertama, meningkatkan profesionalisme. Dengan begitu polisi aktif dapat fokus pada tugas utamanya sebagai penegak hukum.
Kedua, menghindarkan dari konflik kepentingan antara tugas polisi dan jabatan di instansi lain, sehingga polisi dapat menjalankan tugasnya dengan lebih objektif.
Ketiga, dengan tidak menjabat di instansi lain, polisi aktif dapat lebih mudah diawasi dan dipertanggungjawabkan tindakannya.
Kenaikan pangkat dan jabatan polisi itu hendaknya berjenjang dan berurutan (meritokrasi), sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial dan konflik internal.
Pertama, dengan sistem meritokrasi, polisi yang berprestasi dan memiliki kemampuan yang baik akan lebih cepat naik pangkat dan jabatan, serta meningkatkan profesionalisme dan kinerja.
Kedua, mengurangi kecemburuan sosial, karena kenaikan pangkat dan jabatan tidak didasarkan pada faktor-faktor non-merit, seperti koneksi atau suap.
Ketiga, dengan sistem meritokrasi, polisi yang berprestasi akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan kemampuan, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Keempat, dengan sistem meritokrasi, polisi yang tidak berprestasi dan tidak memiliki kemampuan yang baik tidak akan naik pangkat dan jabatan, serta mengurangi kesempatan untuk melakukan korupsi.
Penilaian kinerja dan kemampuan polisi harus dilakukan secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor non-merit. Pengawasan harus dilakukan secara ketat untuk memastikan bahwa sistem meritokrasi diimplementasikan dengan baik dan adil.
Pada pertemuan terbatas dengan Prof. Mahfud MD tersebut penulis menyampaikan catatan ini kepada beliau, ditambah dengan salinan Pernyataan Sikap Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPP-TNI) dalam rangka Hari Pahlawan 10 November 2025, dan Pernyataan Sikap Forum Kebangsaan Daerah Istimewa Yogyakarta (FK-DIY) yang sama-sama meminta agar dilakukan reformasi total Polri, serta Pernyataan Sikap Forum Tanah Air (FTA) terkait Pembentukan Komite Reformasi Kepolisian Republik Indonesia tertanggal 11 November 2025 yang ditandatangani oleh Ketua Umum Tata Kesantra, dan Ketua Harian Donny Handricahyono. 

Reformasi total Polri tidak dapat mengandalkan rekomendasi hasil kerja Komisi Percepatan Reformasi Polri dalam waktu tiga bulan. Komisi Reformasi Polri seyogianya diberi mandat untuk melaksanakan agenda reformasi secara penuh, dengan tambahan masa kerja yang terukur, agar ikhtiar reformasi Polri ini tidak jauh panggang dari api.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Jangan Masuk Amerika Bila Anda Gemuk

Sri Radjasa : Jangan Biarkan Indonesia Jatuh di Kaki Mafia

Duwitokrasi Merusak Seluruh Nilai Dan Fungsi Kekuasaan

Cinta, Kuasa, dan Kejatuhan: Kisah Gelap Yang Menyapu Ponorogo

Jokowi, Antara Luka Hati dan Rasio Politisi

Ketika Ruang Bicara Dibelenggu: Pembela Dr. Tifa Menuntut Penghentian Penyidikan

Nasionalisme Prabowo: Jalan Baru atau Bayang-Bayang Jokowi?

Dialog Kebudayaan: Menjemput Peradaban Surabaya

Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia

Kuliah Lapang Mahasiswa S3 Sekolah Pasca Sarjana UB: Integrasi Teori dan Praktik untuk Solusi Lingkungan Berkelanjutan





No Responses