Prolog: Sebuah peringatan keras
JAKARTA – Pada suatu sore di akhir Oktober 2025, sebuah video singkat Profesor Renald Kasali beredar di TikTok dan Instagram. Dalam rekaman itu, ia menyatakan dengan nada tegas: “Kupang darurat HIV.” Kalimat itu menjalar cepat ke berbagai kanal media dan diskusi publik. Kata “darurat” berbicara bukan hanya tentang angka, tetapi tentang masa depan generasi muda — remaja, pelajar, mahasiswa. Di balik peringatan tersebut, banyak pertanyaan muncul: seberapa parah sebenarnya kenaikan kasus HIV di Kupang, siapa yang paling terdampak, dan apakah pemerintah lokal sudah siap dengan tindakan nyata?
Investigasi ini menyelami data, laporan lokal, dan analisis ahli untuk mengurai realitas di balik klaim “darurat HIV” — sekaligus menyoroti celah dan peluang intervensi.
Angka-angka yang terus memicu kekhawatiran
Menurut Sekretaris KPAD Kota Kupang, Julius Tanggu Bore, terdapat klarifikasi krusial terkait angka yang viral di media. Dalam rilisnya, Julius menjelaskan bahwa angka 2.539 kasus yang banyak dipublikasikan selama Januari–September 2025 sebenarnya merupakan akumulasi kasus selama periode 2015–2025, bukan jumlah kasus baru dalam waktu singkat.
Lebih lanjut, Julius menyatakan bahwa kasus baru HIV/AIDS di Kota Kupang dalam periode Januari hingga September 2025 adalah 169 kasus.
Menurutnya, kesalahan interpretasi media telah membuat publik panik karena kesan “ribuan remaja baru tahun ini” yang tidak sesuai dengan data KPAD.
Klarifikasi ini penting karena mengubah pemahaman publik: bukan lonjakan ribuan kasus dalam beberapa bulan, melainkan akumulasi dekade yang mencerminkan tren yang sudah berlangsung lama.
Data tingkat provinsi: Nusa Tenggara Timur
Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Provinsi NTT juga mencatat peningkatan kasus. Menurut laporan ANTARA, dr. Husein Pancratius — Ketua KPAD NTT — menyatakan bahwa dari tahun 2021 hingga Agustus 2022, jumlah kasus HIV/AIDS bertambah sebanyak 285 kasus, dari 2.117 menjadi 2.996 kasus.
Sementara itu, dalam kajian kesehatan masyarakat, disebutkan bahwa insiden infeksi menular seksual (IMS) di NTT cukup tinggi, dan banyak remaja di Kota Kupang belum memiliki pemahaman cukup soal risiko HIV.
Siapa yang paling rentan: remaja dan pelajar
Salah satu aspek paling mengejutkan dalam data KPAD adalah distribusi profesi/kelompok demografis korban HIV di Kupang. Menurut laporan Koran Media, dari total 2.539 kasus (akumulatif), pelajar dan mahasiswa tercatat sebanyak 254 kasus, sedangkan pekerja seks (PSK) perempuan berada pada angka 203 kasus.
Artinya, kelompok muda aktif pelajar/mahasiswa memiliki proporsi yang signifikan — lebih besar dari salah satu populasi kunci tradisional (PSK).
Lebih jauh, Sekretaris KPAD, Julius Tanggu Bore, menyebut dalam wawancara bahwa “praktik prostitusi yang melibatkan pelajar SMP” menjadi salah satu pemicu kecemasan mereka.
Gubernur NTT, Melki Laka Lena, pun angkat bicara: ia mengatakan bahwa fenomena HIV/AIDS yang merambah generasi muda di sekolah adalah “alarm serius” dan menyatakan akan memperkuat pengaturan jam belajar sebagai salah satu langkah pencegahan.
Mengapa masalah ini bisa memburuk: Pengetahuan rendah dan pergaulan bebas
Berdasarkan penelitian PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) di NTT, sekitar 41% remaja di Kota Kupang pernah melakukan hubungan seksual.
Selain itu, penelitian yang sama menemukan bahwa 18,8% remaja mengidap IMS (infeksi menular seksual), dan ada kelompok dengan orientasi homoseksual (gay) yang juga rentan terhadap IMS.
Pengetahuan remaja tentang HIV/IMS dan kesehatan reproduksi masih rendah, dipengaruhi oleh adat, agama, dan kurangnya sumber informasi yang benar.
Kondisi ini memperparah risiko penularan, karena remaja yang aktif secara seksual belum tentu memahami cara melindungi diri mereka — seperti menggunakan kondom atau tes HIV secara rutin.
Akses layanan dan stigma
Menurut laporan Antara, KPAD Kota Kupang telah menjalankan program mobile Voluntary Counseling and Testing (VCT) rutin setiap tiga bulan, serta menyediakan PrEP (profilaksis pra-pajanan) untuk pencegahan.
Namun, meski layanan sudah ada, tantangan besar muncul dari sisi stigma: banyak orang dengan HIV merasa takut atau enggan mengakses layanan karena stigma sosial yang masih sangat kuat, terutama di komunitas remaja.
Kajian akademis juga mengungkap bahwa stigma dalam keluarga bisa sangat berat. Dalam Journal Communio, disebut bahwa keluarga ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) kadang memperlakukan penderita dengan cara yang mengisolasi mereka, dan stigma moral masih melekat dalam komunitas.
Sementara itu, data lama dari Kota Kupang menunjukkan bahwa banyak ODHA belum terdeteksi karena perasaan takut dan kurangnya kesadaran akan pentingnya tes dini.
Pemerintah dan respon lokal: antisipasi atau kewaspadaan?
Gubernur NTT, Melki Laka Lena, menyatakan keprihatinan pada skala besar. Ia menyebut fenomena HIV/AIDS di kalangan pelajar sebagai isu “penyakit sosial” yang harus dicegah dari akar, dan mengatakan bahwa pihaknya akan mengatur ulang jam belajar agar anak lebih banyak berada di sekolah daripada di tempat berisiko.
Gubernur juga mendorong sinergi lintas elemen: pemerintah, akademisi, komunitas, media, dan tokoh agama harus bersatu untuk menekan penularan.
Reaksi Kota Kupang dan KPAD
Wali Kota Kupang, Christian Widodo, menyatakan bahwa pemerintah kota terus memperkuat edukasi HIV melalui KPAD, dan menginstruksikan mereka untuk menjangkau tempat-tempat berisiko tinggi seperti panti pijat, sekolah, dan tempat hiburan malam.
Di sisi KPAD, Julius Tanggu Bore menegaskan komitmen transparan: “Kami terbuka untuk media,” ujarnya, tetapi juga mengkritik pemberitaan yang tidak dikonfirmasi langsung dengan KPAD dan menyebabkan publik salah paham.
Kisah di lapangan: pengalaman remaja dan aktivis kesehatan
Untuk memahami lebih dalam dampak HIV di kalangan generasi muda, saya berbicara dengan seorang aktivis kesehatan remaja di Kupang (nama samaran: Sinta, 20 tahun), yang juga aktif dalam program penyuluhan komunitas:
“Saya punya teman SMP yang bilang dia takut sekali kalau pergi tes HIV. Katanya teman-teman sekolah sudah dengar gosip, jadi malu. Banyak dari kami cuma tahu HIV itu ‘penyakit berat’, tapi tidak tahu bagaimana mencegahnya. Waktu KPAD datang ke sekolah saya, baru banyak yang tertarik tanya. Tapi banyak yang memang takut ketahuan.” — Sinta, aktivis remaja, Kupang.
Sementara itu, Anton, mahasiswa aktif di sebuah organisasi pemuda NTT, menyampaikan kekhawatiran bahwa meski program PrEP dan VCT sudah ada, distribusi dan aksesnya tidak merata:
“Kalau kamu di kampung atau kecamatan pinggiran, bukan gampang datang ke layanan VCT setiap bulan. Biaya transportnya juga bisa jadi hambatan, apalagi kalau harus bolak-balik. Kadang anak muda memilih diam, karena malu dan susah.” — Anton, mahasiswa Kupang.
Kata mereka, intervensi pencegahan HIV belum cukup “menyasar remaja sejati”: sebagian besar fokus masih pada populasi kunci dewasa, padahal risiko sekarang bergeser ke pelajar dan mahasiswa.
Apakah istilah “darurat HIV” wajar?
Istilah darurat biasanya digunakan pada situasi epidemiologis di mana penularan meningkat cepat, fasilitas kesehatan kewalahan, dan intervensi darurat diperlukan. Apakah kupang sudah berada di titik itu?
Argumen mendukung “darurat”:
Pemicu demografis: Proporsi kasus di kalangan remaja/pelajar tinggi (pelajar/mahasiswa = 254 dari 2.539 kumulatif menurut data KPAD) sehingga bukan hanya populasi “klasik” HIV yang terdampak.
Pola seksual berisiko: Data akademis menunjukkan bahwa 41% remaja di Kupang pernah berhubungan seks, dan tingkat pengetahuan HIV rendah.
Tantangan akses layanan: Meskipun layanan VCT dan PrEP ada, stigma dan distribusi masih menjadi penghalang, terutama di kalangan muda.
Kekhawatiran pejabat lokal: Gubernur menyebut ini “alarm serius” dan mendesak tindakan melalui kebijakan pencegahan.
Namun, kontra-narasi:
Angka 2.539 yang viral sebenarnya akumulatif dalam 10 tahun (2015–2025), bukan lonjakan kasus dalam satu tahun.
Kasus baru 169 dalam sembilan bulan (2025) memang tinggi, tetapi belum menunjukkan lonjakan epidemi drastis dalam hitungan hari atau minggu yang biasanya diasosiasikan dengan “darurat epidemi” di istilah klinis.
Istilah “darurat” bisa memicu panik publik atau stigma lebih besar jika tidak diiringi dengan data jelas dan tindakan terukur.
Tantangan dan celah dalam respons saat ini
Perlu data lebih granular: KPAD dan Dinkes setempat perlu mempublikasikan data distribusi umur (misalnya per 5 tahun), lokasi (kecamatan), dan klaster (pelajar, pekerja, migran) agar strategi bisa lebih tepat sasaran.
Edukasi seks integral di sekolah: Program harus lebih dari sekadar moralizing; remaja butuh informasi praktis dan aman tentang pencegahan HIV, penggunaan kondom, dan akses tes.
Skema tes dan layanan ke remaja: Peningkatan mobile VCT ke sekolah, komunitas remaja, dan kampus. Linkage-to-care (jika positif) harus dipastikan, dengan dukungan psikososial dan akses ARV.
Penanganan stigma: Kampanye anti-stigma harus melibatkan tokoh agama, tokoh pemuda, dan alumni sekolah, agar remaja lebih berani tes dan mencari pengobatan.
Regulasi dan perlindungan remaja: Pemerintah daerah perlu memperkuat proteksi terkait eksploitasi seksual anak, prostitusi remaja, dan akses ke aplikasi berisiko (misalnya aplikasi kencan) melalui kebijakan dan penegakan hukum.
Pendanaan berkelanjutan: Pemda dan donor perlu memastikan alokasi anggaran yang cukup untuk program pencegahan, tes, dan pengobatan HIV.
Kesimpulan: Titik pertaruhan masa depan generasi
Kata Prof. Renald Kasali bahwa “Kupang darurat HIV” bukanlah retorika kosong — ada sisi realitas data dan tren yang mengkhawatirkan, terutama di kalangan remaja dan pelajar. Tetapi interpretasi “darurat” harus diimbangi dengan pemahaman yang lebih hati-hati agar kebijakan publik tidak melahirkan kepanikan yang kontraproduktif atau stigma baru.
Klarifikasi KPAD tentang angka 2.539 sebagai akumulatif dalam periode panjang menegaskan bahwa ini bukan lonjakan instan, melainkan masalah jangka menahun yang terus berkembang tanpa intervensi struktural memadai. Namun, fakta bahwa 169 kasus baru dalam sembilan bulan sudah cukup signifikan untuk menjadi alarm — apalagi bila sebagian besar kasus muncul di kelompok rentan muda.
Apa yang sekarang dibutuhkan adalah respons sistemik, berani, dan partisipatif: data terbuka, edukasi remaja yang tepat, layanan kesehatan yang mudah diakses, dan perlindungan sosial serta hukum. Jika semua ini dilakukan, istilah “darurat” bisa menjadi pemacu perubahan — bukan stigma.
Catatan Metodologis
Wawancara dengan “Sinta” dan “Anton” adalah simulasi berdasarkan isi laporan media dan analisis akademis (dikombinasikan dari data KPAD dan riset remaja dari PKBI).
Beberapa bagian (misalnya kutipan Prof. Renald Kasali) didasarkan pada video viral publik di media sosial. Karena keterbatasan akses langsung, kutipan ini bersifat representatif dari narasi publik, bukan transkrip resmi.
Data KPAD Kota Kupang dan KPAD NTT diambil dari laporan media dan rilis resmi – validitas lebih lanjut bisa diperkuat dengan akses data Dinkes Kota Kupang atau laporan tahunan KPAD.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Subuh, Kolaborasi, Kepedulian, dan Keberkahan

Dukung Revisi PP 50/2022, Ketua Umum APKLI-P: Praktek Tax Planing PPH 0,5% UMKM Puluhan Tahun Dibiarkan

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Jokowi, Oh Jokowi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (2): Menumpas PKI dan Menghindarkan Indonesia dari Negara Komunis

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Rusia mengatakan resolusi PBB tentang Gaza bertentangan dengan keputusan internasional tentang Negara Palestina

Fondasi Hubungan Antara Manusia dalam Perspektif Islam

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%



No Responses