Catatan Agus M Maksum
Saya terus terang bingung.Bukan karena kasusnya rumit, tapi karena logika yang dipakai lebih rumit daripada perkara itu sendiri.
Di ruang sidang itu, saya seperti sedang menonton film realisme magis—genre yang biasanya hanya muncul di novel Amerika Latin. Bedanya, ini terjadi di Republik Indonesia. Dan arsipnya bukan fiksi.
UGM datang pertama kali. Kampus keramat, pencetak ribuan pejabat, penghasil gagasan hebat.
Tapi tiba-tiba berubah jadi magician dadakan.
Surat resmi tanpa kop. Tanpa tanda tangan. Tanpa identitas. Seperti pesan cinta yang dikirim anak SMP pakai kertas binder.
Hakim sampai harus bertanya: “Serius ini surat resmi, Bu?”
UGM mengaku tidak punya KHS, tidak punya KRS, bahkan tidak punya salinan ijazah.
Itu seperti restoran mengaku tidak punya dapur.
Lalu adegan pindah ke Solo. KPU Solo tampil seperti karakter komedi: dokumen penting sudah dimusnahkan, tapi tidak tahu kapan, bahkan berita acara pemusnahannya juga tidak ada.
Musnah semua. Seperti disapu angin malam.
Kalau ini film, judulnya pasti: “Hilangkan Semuanya Sebelum Ditanya.”
Hakim sampai geleng-geleng. Saya pun ikut. Kalau arsip negara bisa hilang, bagaimana nasib akal sehat?
Polda Metro tidak mau kalah. Mereka bilang ijazah Jokowi ada di kepolisian, disegel untuk penyidikan. Rapi. Terjaga. Terkontrol.
Tapi seminggu sebelumnya, ijazah itu muncul di acara relawan Projo, ditunjukkan langsung oleh Jokowi.
Kalau ini bukan realisme magis, saya tidak tahu apa lagi namanya. Mungkin genre baru: dokumen kuantum. Ada–tidak ada. Muncul–menghilang. Tergantung siapa yang melihat.
Yang paling menyedihkan bukan dokumennya hilang. Tapi rasa malu birokrasi kita ikut menghilang.
Institusi besar kehilangan arsip kecil. Pejabat besar tidak membuka email kecil. Dan negara besar bingung mencari ijazah satu orang.
Indonesia ini luar biasa. Kadang terlalu luar biasa.
Saya keluar dari ruang sidang sambil menatap langit. Mencari jawaban. Atau sekadar mencari arsip yang entah melayang ke mana.
Di negeri ini, yang ada bisa dianggap tidak ada, yang tidak ada bisa tiba-tiba muncul, dan yang blackout justru jadi paling terang.
Realisme magis? Ah… bahkan Butet Kartaredjasa pun mungkin sudah kehabisan metafora untuk melucu soal ini. Dan Cak Lontong pasti memilih satu kalimat pamungkas:
“Logikanya dibuat tidak logis agar tampak logis.”
Begitulah cara kita mengurus arsip negara: lebih mirip sketsa komedi daripada administrasi modern.
EDITOR: REYNA
Related Posts

LPG, LNG, CNG dan Kompor Induksi, Solusi Emak Emak Swasembada Energi Di Dapur

Kolonel (PURN) Sri Radjasa: Jokowo Titip Nama Jaksa Agung, Prabowo Tak Respons

Jokowi, Oh Jokowi

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (2): Menumpas PKI dan Menghindarkan Indonesia dari Negara Komunis

Menjaga Dinasti Juara: Menakar Figur Suksesi KONI Surabaya

Rusia mengatakan resolusi PBB tentang Gaza bertentangan dengan keputusan internasional tentang Negara Palestina

Fondasi Hubungan Antara Manusia dalam Perspektif Islam

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (1): Mewarisi Ekonomi Bangkrut, Inflasi 600%

Habib Umar Alhamid: Pernak Pernik Permasalahan Setahun Pemerintahan Prabowo

SKK Migas-HCML Kembali Gelar Festival Pesisir, Bupati Sumenep: Momentum Tepat Gairahkan Ekonomi dan Pariwisata


No Responses