Oleh: Budi Puryanto
Washington D.C., Gedung Putih, Pukul 08.45 Waktu Setempat.
Kabinet ekonomi darurat dipanggil tanpa agenda resmi. Di ruang Oval yang ditutup tirainya, suara kipas pendingin ruangan terdengar lebih keras dari biasanya.
Presiden hanya menatap diam ke layar besar yang menampilkan grafik merah: TOI Index naik 26% dalam dua minggu. Di bawahnya, angka inflasi global mulai merangkak.
Deputy Secretary of Treasury Mitchell Graves berdiri di sisi meja, suaranya tajam.
“Ini bukan hanya sistem pembayaran baru, Pak Presiden. Ini pemberontakan diam-diam, tak bisa dimaafkan. Dan senjata mereka bukan rudal, melainkan kepercayaan.”
Presiden menatap tajam.
“Jadi, buka bendungannya.”
Keheningan menyelimuti ruangan. Kalimat itu menjadi perintah pembuka dari operasi yang sudah disiapkan selama berbulan-bulan: Operation Floodgate.
Tiga jam kemudian, memo rahasia keluar dari Departemen Keuangan: Inject $1.5 trillion global liquidity under IMF supervision – code: RESYNC.
Tapi di balik kata “stabilitas global” tersembunyi rencana kotor — membanjiri sistem keuangan dunia dengan dolar murah agar sistem TOI tenggelam dalam arus likuiditas yang tidak bisa dikendalikan. CIA memberi nama lain: “Economic Saturation Warfare.”
Rachel Hart, analis CIA yang dulu memperingatkan soal “New Asian Table,” kini duduk di ruangan gelap di Langley, menatap deretan data.
“Kalau mereka ingin kebebasan finansial,” ujarnya pelan, “kita beri mereka banjir yang tak berujung.”
Di layar, titik-titik hijau—Tokyo, Jakarta, Bangkok—mulai berkedip. Sistem TOI sedang diserang dari balik angka.
Di Brussels, Presiden Bank Sentral Eropa Helene Kruger menerima panggilan terenkripsi dari Graves.
“Kita perlu aliansi keuangan transatlantik baru. Tidak resmi, tidak diplomatik. Cukup jaga arus dolar tetap mengalir.”
Kruger menatap jendela hujan yang menetes di kaca.
“Kalau Anda membanjiri dunia dengan uang, Anda juga akan menenggelamkan Eropa.”
Graves menjawab dingin,
“Lebih baik tenggelam bersama kami, daripada terapung bersama Asia.”
Di Tokyo, Kenji Watanabe menatap layar server TOI yang berkedip merah.Transaksi global melonjak 400%, membuat algoritma TOI kehilangan kemampuan menyeimbangkan nilai tukar. Li Cheng masuk terburu-buru.
“Amerika membuka bendungan. Mereka kirim uang tanpa batas.” Kenji menarik napas panjang.
“Ini bukan uang. Ini racun dengan label IMF.”
Mereka tahu, jika TOI tidak segera menutup arus masuk, seluruh jaringan Asia bisa kolaps oleh kelebihan likuiditas. Tapi menutupnya berarti mengisolasi diri — bunuh diri ekonomi.
Ruang rapat kecil di lantai tujuh gedung BIN terasa panas malam itu. Kepala BIN Arman Satya meletakkan laporan di meja.
“IMF membekukan pinjaman beberapa negara ASEAN. Amerika menekan lewat jalur diplomatik. Mereka ingin Indonesia menarik diri dari TOI Governance Core.”
Rafiq menatap layar penuh data.
“Kalau kita mundur, sistem TOI akan kehilangan poros. Tapi kalau kita bertahan, kita jadi sasaran utama.”
Arman tersenyum miring.
“Selamat datang di dunia di mana netralitas dianggap ancaman.”
CNN, Bloomberg, dan Reuters mulai menayangkan narasi yang sama:
“Sistem keuangan Asia mulai retak.”
“Investor kehilangan kepercayaan terhadap TOI.”
“Indonesia diperingatkan menghadapi risiko krisis likuiditas.”
Tapi semuanya adalah bagian dari Floodgate Propaganda Protocol — operasi media yang dirancang untuk menanamkan kepanikan di pasar.
Rafiq membaca tajuk berita dan berbisik pelan,
“Mereka tidak perlu menjatuhkan pasar. Cukup membuat semua orang percaya pasar sudah jatuh.”
Di Zurich, kelompok Project HOLLOW kembali aktif. Lukas Meier mengetik cepat, memanipulasi data kurs digital.
“Kita masukkan 0.5% noise setiap detik. Sistem akan menganggap ada volatilitas nyata.”
FENRIR, agen MI6 yang memimpin operasi, menatap monitor.
“Kalau ini berhasil, pasar Asia akan menggigit dirinya sendiri.”
Namun tanpa mereka sadari, sebagian data palsu justru masuk ke sistem perbankan Eropa, menimbulkan distorsi internal.
Floodgate mulai memantul ke arah Barat sendiri.
Muncul gelombang balik yang terduga.Tiga minggu kemudian, efek Operation Floodgate tak terkendali. Harga minyak jatuh 18%. Emas melonjak 30%. Pasar Eropa mulai panik karena lonjakan inflasi tiba-tiba. Presiden AS menerima laporan singkat:
“Global markets destabilized. TOI holding position.”
Graves menatap kosong ke layar.
“Mereka tidak tenggelam. Mereka belajar berenang.”
Malam itu di balkon rumahnya, Rafiq menatap langit Jakarta yang suram. Ia menulis di jurnal pribadinya:
“Mereka membuka bendungan uang, tapi lupa bahwa banjir tidak mengenal batas negara.”
Ia tahu, ini baru permulaan. Karena di balik banjir global itu, Asia Tenggara mulai membangun sistem paralel — senyap, tapi hidup di bawah permukaan. Judulnya belum diumumkan, tapi di dunia intelijen, satu kata sudah beredar seperti desas-desus:
“Shadow Exchange.”
BERSAMBUNG
EDITOR: REYNA
BACA JUGA:
Novel “Imperium Tiga Samudra” (14) – Perang Melawan Asia
Novel “Imperium Tiga Samudra”(13) – Perang Senyap Mata Uang
Novel “Imperium Tiga Samudra” (12) – Meja Baru Asia
Related Posts

Orang Jawa Sebagai “Bani Jawi” Adalah Keturunan Nabi Ismail: Perspektif Prof. Menachem Ali

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (4): Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional Yang Menyelamatkan Indonesia

Habib Umar Alhamid: Prabowo Sebaiknya Dukung Habis Gerakan Purbaya, Biarkan Beliau Bekerja!

Keberpihakan Komisi Reformasi POLRI

RRT Tolak Usul Mediasi Dengan Jokowi di Kasus Tuduhan Ijazah Palsu

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Pertemuan “Rahasia” di PTIK (Bagian 2): Guncangan di Ruang Reformasi dan Bayang-Bayang Operasi Garis Dalam

Pertemuan “Rahasia” di PTIK (Bagian 1) : Walkout, Ketegangan, dan Polemik Komisi Reformasi Polri

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan


No Responses