JAKARTA – Ketika Komisi Percepatan Reformasi Polri dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto, banyak kalangan menyambutnya sebagai langkah maju. Namun di sisi lain, kritik pun langsung muncul — dan salah satu suara paling lantang datang dari Sri Radjasa Chandra, mantan anggota Badan Intelijen Negara (BIN) sekaligus analis politik yang selama ini dikenal tajam membaca dinamika keamanan nasional.
Melalui pernyataannya di podcast Forum Keadilan TV pada 19 November 2025, Sri Radjasa tidak sekadar mempertanyakan komposisi anggota Komisi Reformasi Polri. Ia sebenarnya sedang menyampaikan kritik lebih fundamental tentang paradoks reformasi: bagaimana mungkin institusi ingin berbenah, tetapi proses pembenahannya dipimpin oleh mereka yang pernah — bahkan masih — menjadi bagian dari struktur yang hendak diubah?
Diisi para petinggi Polri
Poin paling menonjol dari pernyataan Sri Radjasa adalah mengenai komposisi anggota komisi. Lima dari sepuluh anggota memiliki rekam jejak sebagai petinggi Polri:
Jenderal (Purn) Tito Karnavian (Kapolri 2016–2019)
Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (Kapolri aktif)
Jenderal (Purn) Badrodin Haiti (Kapolri 2015–2016)
Jenderal (Purn) Idham Azis (Kapolri 2019–2021)
Jenderal (HOR) (Purn) Ahmad Dofiri (Wakapolri 2024–2025)
Dari sudut pandang publik biasa, kehadiran mereka bisa dianggap sebagai hal wajar: mereka “paham Polri dari dalam.” Namun Sri Radjasa membaca persoalan ini dari perspektif berbeda.
“Dari terbentuknya tim reformasi Polri saja kita sudah melihat — seharusnya mereka itulah yang dulu menjadi bagian dari penyebab polisi harus direformasi,” ujarnya.
Di titik ini, Sri Radjasa tidak sedang menyerang personal, melainkan menyerang logika institusionalnya. Baginya, reformasi tidak boleh menjadi pekerjaan internal yang dikerjakan oleh aktor-aktor lama. Reformasi sejati membutuhkan jarak, independensi, dan pembongkaran struktur lama oleh pihak yang tidak terikat kepentingan historis maupun emosional.
Satgas Merah Putih dan “Bayang-bayang SAVAK”
Pernyataan berikutnya menunjukkan kedalaman kritik Sri Radjasa terhadap struktur kekuasaan Polri.
“Harus diakui, mereka yang membuat reformasi adalah mereka yang dulu membentuk Satgas Merah Putih — yang bisa kita analogikan seperti SAVAK, polisi rahasia,” katanya.
Ini pernyataan paling keras dalam seluruh podcast.
Analogi dengan SAVAK — polisi rahasia Iran era Shah yang terkenal represif — bukanlah kiasan sembarangan.
Sri Radjasa seperti ingin mengingatkan bahwa sebagian problem Polri di masa lalu bukan sekadar soal prosedur, tetapi menyangkut pembentukan unit-unit kekuasaan yang tidak transparan dan tidak akuntabel, yang pada akhirnya membuat Polri terjebak dalam citra “superpower” tetapi lemah dalam kepercayaan publik.
Dengan menempatkan “arsitek-arsitek lama” dalam komisi reformasi, Sri Radjasa khawatir reformasi tidak bergerak menyentuh akar.
Reformasi “Setengah Hati”
Puncak kritik Sri Radjasa adalah istilah “reformasi setengah hati.”
Menurutnya, Polri ingin berubah, tetapi perubahan itu diarahkan oleh petinggi yang juga bagian dari masa lalu Polri.
Reformasi ingin mengembalikan kepercayaan publik, tetapi justru menempatkan figur-figur yang selama ini dipertanyakan publik.
Komisi ingin mewakili semangat koreksi, tetapi komposisinya menciptakan kesan status quo. “Kondisi ini jadi kayak ada reformasi setengah hati,” tegasnya.
Kritik ini sebenarnya bukan sekadar persoalan komposisi, melainkan krisis metodologis dalam reformasi:
Reformasi yang dipimpin internal cenderung defensif.
Reformasi yang tidak menyertakan korban, masyarakat sipil, dan akademisi independen akan kehilangan kompas moral.
Reformasi yang dipimpin elite lama berpotensi hanya “merapikan struktur,” bukan mengubah kultur.
Dalam bahasa Sri Radjasa, publik luas sudah merasa bahwa struktur kekuasaan Polri begitu dominan, dan reformasi harus dimulai dengan mengurangi dominasi itu — bukan menambahnya.
Krisis Kepercayaan Publik
Artikel ini mengambil sudut pandang baru: bahwa sebenarnya kritik Sri Radjasa menunjukkan masalah meta-naratif reformasi Polri.
Polri saat ini bukan hanya menghadapi masalah prosedural (penegakan hukum, etik, budaya kekerasan, peradilan pidana, dll), melainkan masalah kepercayaan.
Dan kepercayaan adalah sesuatu yang tidak bisa dibangun oleh para jenderal yang — meskipun punya pengalaman — tetap dianggap oleh publik sebagai bagian dari struktur lama.
Dengan kata lain, yang dipersoalkan Sri Radjasa bukan siapa yang duduk, tetapi apa pesan simbolik yang dikirim negara kepada masyarakat.
Jika negara ingin memulai babak baru Polri, komposisi komisi mestinya: lebih independen, lebih sipil, lebih representatif terhadap korban, dan lebih bersih dari konflik kepentingan masa lalu.
Reformasi, bagi Sri Radjasa, bukan soal memoles institusi. Reformasi adalah sirene pembongkaran total, bukan sekadar perbaikan kosmetik.
Reformasi Butuh Keberanian
Melalui kritiknya, Sri Radjasa sedang memukul genderang peringatan:
Reformasi tidak boleh dianggap sebagai pekerjaan administrasi. Reformasi harus dimulai dari keberanian untuk mundur dari kenyamanan struktur lama.
Dan selama komisi reformasi masih dipenuhi figur-figur dari internal, rakyat akan sulit percaya bahwa Polri sedang sungguh-sungguh berubah.
Karena itu kritik Sri Radjasa layak dibaca bukan sebagai serangan pribadi, tetapi sebagai peringatan intelektual:
reformasi tanpa keberanian selalu berakhir sebagai reformasi setengah hati.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Modus Ala Jokowi

Trump: “Bukan Masalah Pertanyaanmu, Tapi Sikapmu, Kamu Adalah Wartawan Yang Parah”

Teguran Presiden di Ruang Tertutup: Mahfud MD Ungkap Instruksi Keras kepada Kapolri dan Panglima TNI

Orang Jawa Sebagai “Bani Jawi” Adalah Keturunan Nabi Ismail: Perspektif Prof. Menachem Ali

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (4): Stabilitas Politik dan Keamanan Nasional Yang Menyelamatkan Indonesia

Novel “Imperium Tiga Samudara” (15) – Operation Floodgate

Habib Umar Alhamid: Prabowo Sebaiknya Dukung Habis Gerakan Purbaya, Biarkan Beliau Bekerja!

Keberpihakan Komisi Reformasi POLRI

RRT Tolak Usul Mediasi Dengan Jokowi di Kasus Tuduhan Ijazah Palsu

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965



No Responses