Oleh: Sutoyo Abadi
Diskusi rutin pada Sabtu, 22/11 (malam Minggu), seorang mahasiswa dari Fakultas Sastra, sudah datang terlambat bergaya pejabat meminta sebagai keynote speaker. Disambut ketawa teman teman yang sedang menyantap nasi kucing dengan lahab, nasib indahnya sebagai anak kos-kosan.
Memulai paparannya dengan Frasa kalimat “Ewuh ing pambudi, boyo keduman melik, sengsoro wekasanipun” ini berasal dari Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ronggowarsito dan merupakan bagian dari bait terkenal Amenangi Jaman Edan. Menyiratkan bahwa orang harus waspada ketika situasi sedang menapaki kembali ke alam jahiliah.
Belajar sebagai keynote speaker, dengan buku “Serat Kalatidha” yang sudah kumal, ternyata akan serempet apa dan siapa presiden kita. Kena apa seorang kepala negara tampak selalu bimbang, kacau sampai tidak bisa memutuskan masalah kiris yang harus diputuskan, justru larut hanya ikut mengecam, mengeluh, memaki, menghujat, dleming melulu.
Itu terjadi karena “Ewuh Ing Pambudi” penyakit lama yang sudah kronis, karena telah menerima pemberian, jasa, bantuan atau pertolongan untuk pemenangan saat Pilpres yang penting bisa menang. Dampak sebagai presiden orderan, bukan karena tidak bisa membedakan keadilan dan kebatilan, kebaikan dan keburukan tetapi dipaksa harus pengoplos semuanya dalam satu adonan.
Bahkan denyut suara hati dan nuraninya sampai dikorbankan, bahkan nekad berbohong dan menipu rakyat dan dirinya sendiri dengan telanjang bulat.
Kondisi ini digambarkan sebagai masa penuh kekacauan, ketidak warasan, ketidak pastian, prinsip – prinsip moral hal-hal yang salah sulit dibedakan dari yang benar.
Kalau jabatan penguasa sudah bisa dibeli atau dikontrakkan oleh pemilik modal saat Pilpres hanya memburu menang, dampaknya akan sangat fatal dan mengerikan, rakyat akan di korbannya.
Terasa pahit sepuluh tahun di pimpin presiden boneka. Pilpres langsung hanya ganti orang dengan kendali bandar yang sama. Setiap hari hanya bisa mendongeng “rakyat agar tetap tenang saat lapar, dengan janji 1000 tahun lagi akan makan kenyang saat “Indonesia Emas”, telah tiba.
Presiden yang sudah dibeli atau di kontrak kekuatan naga kapital akan tampak prilakunya terikat dan terjerat _ewuh ing pambudi , dirinya sudah tidak bisa berbuat, bertindak dan membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat, apalagi soal kesejahteraan hidupnya.
Dalam kondisi seperti ini seorang presiden akan serba salah karena terjerat rente Ewuh ing Pambudi untuk bergerak dan bertindak harus mengikuti kemauan dan keinginan bandar sponsornya.
Boya kedumuk melik, ketika sang presiden sudah terkena rente bandar kapitalis hitam bandar pemilik modal. Otomatis para menterinya berebut mendapatkan angpao dengan caranya sendiri-sendiri, rela melakukan apapun yang diperintahkan pemilik angpao, harus ikut arus untuk mendapat keuntungan pribadi.
Sengsoro wekasanipun, saat ini sudah kita rasakan, negara sudah babak belur, korupsi merajalela, perampasan tanah terjadi dimana mana, ketidak adilan dipertontonkan dengan telanjang, presiden hanya sebagai simbol tindak berkutik.
Diskusi berlangsung cair saling mengisi, di tutup kidung bahwa Negara sedang sakit karena terserang penyakit dari virus “ersatz capitalism” yaitu bentuk kapitalisme dan bersifat tiruan atau palsu, karena yang terjadi justru kekuatan pemilik modal (oligark ) bukan hanya mengontol negara tetapi sudah menjajah lebih kejam dan sadis dibandingkan dengan era kolonial.
EDITOR: REYNA
Related Posts

Gerakan menghukum Jokowi dan para penjahat negeri semakin masif

Anton Permana: Membaca Ulang Geopolitik Indonesia di Tengah Pergeseran Kekuatan Dunia

Faizal Assegaf: Saya usulkan mediasi agar gugurkan status tersangka Roy cs

Lapoan PBB: Jakarta, ibu kota terpadat di dunia dengan 42 juta penduduk

Delegasi konferensi perubahan iklim PBB mencapai kesepakatan di menit-menit terakhir, tetapi hasilnya masih jauh dari harapan.

Swasembada Energi Presiden Prabowo Bagi Emak Emak Berdaulat Di Dapur

Desak Kejagung dan Polri Tangkap Importir Thrifting dan Pejabat Terlibat, Ketua Umum APKLI-P: Gurita Puluhan Tahun Laksana Kanker Stadium IV

Maklumat Yogyakarta: Menolak Munculnya Gagasan Amandemen ke 5 UUD NRI 1945

Dua Jalan ke Israel: Gus Dur di Jalur Merpati, Yahya Staquf Meniti Sayap Elang

Perlawanan Secara Terbuka



No Responses