Di Pelabuhan Calang memang sudah tersedia 2 tempat untuk berlabuh darurat bagi kapal jenis LST (landing safe tank). Hanya saja, ketika kapal LST KRI Teluk Saleh yang kami tumpangi tiba ternyata masih ada 2 kapal LST yang sedang bongkar muat. Akibatnya, kapal milik TNI AL yang konon telah berusia lebih dari 60 tahun itu tentunya tidak bisa segera melakukan bongkar muat.
Untuk bisa menurunkan material hanya 2 pilihan, yaitu menunggu antrian salah satu dari kapal LST yang sedang menurunkan muatannya atau melakukan pendaratan sendiri dengan konsekwensi harus membuat jembatan darurat.
Kedua pilihan tersebut sama-sama sulit dan membutuhkan waktu lama yakni sekitar 5 hari, baru mulai bisa menurunkan muatan. Namun, khusus untuk para relawan atau tenaga kerja bisa didaratkan dengan kapal skoci dan kapal perahu nelayan.
Ketiga, parahnya kondisi lokasi, tempat dimana 1000 rumah akan dibangun. Lokasi tersebut dipenuhi puing-puing reruntuhan bangunan; pohon-pohon besar dan pohon kelapa yang tumbang berserakan, rongsokan mobil dan lain-lain. Melihat kondisi lahan yang harus dimatangkan seperti itu, para operator alat-alat berat dari PU Bina Marga hanya bisa geleng-geleng kepala, sementara alat-alat berat yang dibawa dari Jatim masih tertahan di atas kapal LST Teluk Saleh.
Sambil menunggu alat-alat berat bisa didaratkan para operator alat berat dari PU Bina Marga melakukan pemotongan batang-batang pohon yang tumbang agar ketika alat berat sudah bisa dioperasikan pohon-pohon tersebut dapat digeser atau dipindahkan.
Sementara para Relawan Jatim lainnya yang terdiri dari: Mahasiswa ITS, Banser-Anshor; dan PPM, serta TNI dari Bataliyon Zipur V Brawijaya belum bisa langsung membangun rumah, lantaran musti menanti proses pembersihan dan pematangan lahan.
Lambatnya proses pematangan lahan juga dipengaruhi oleh kinerja alat-alat berat. Sebab, ketika alat berat sudah mulai bisa beroperasi ternyata kinerjanya tidak bisa maksimal. Hal ini terjadi karena ban-ban dari alat berat jenis loader, grader, dan lainnya sering bocor akibat tertembus paku. Ini sangat sulit dihindari karena lahan tersebut memang dipenuhi oleh puing-puing reruntuhan bangunan.
Selain itu, sekitar 75 persen dari lokasi itu merupakan daerah persawahan atau rawa, sehingga diperlukan pengurugan yang tidak sedikit. Sementara jumlah dan jenis armada alat-alat beratnya sangat terbatas. Akbatnya, proses pembersihan dan pematangan lahan tentu saja membutuhkan waktu yang cukup lama. Sekedar informasi, sampai tulisan ini dibuat proses pembersihan dan pematangan lahan masih jalan terus.
Keempat, cuaca kota Calang yang kurang bersahabat. Sengatan terik matahari yang luar biasa cukup mengganggu kinerja para relawan atau tenaga kerja dalam melakukan kegiatan pembangunan rumah. Meski semangat kerjanya tetap tidak luntur, namun tidak bisa dipungkiri energi para relawan cepat terkuras sehingga cepat merasa lelah, apalagi bila cadangan air minumnya sudah mulai habis.
Konon katanya panas di Kota Calang rata-rata 43 derajat calcius. Buktinya, kulit teman-teman relawan pada gosong semua. Akhirnya muncul statemen, “pulang dari Calang kulit jadi Celleng” (istilah hitam dalam bahasa madura).
Disamping itu, jarak antara base camp relawan dan penempatan material bangunan yang jauh dari lokasi pembangunan rumah tentunya juga menghambat kinerja pelaksanaan pembangunan. Belum lagi, ditambah dengan keterbatasan kendaraan pengangkut material. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya, alasan keamananlah yang membuat basecamp relawan dan penempatan material tidak mungkin bisa diletakkan berdekatan dengan lokasi pembangunan Rumah RIA.
Setelah menyimak uraian beberapa kendala tersebut diatas, kiranya bisa dimaklumi kalau pada akhirnya nanti waktu penyelesaiannya program tersebut molor. Selain itu, juga memperlihatkan bahwa program pembangunan 1000 unit Rumah di daerah bencana tzunami ternyata memang tidak mudah. Namun, hal tersebut tentu saja tidak bisa dijadikan alasan untuk memperlambat proses penuntasan program tersebut.
Disisi lain, rasa-rasanya tidak berlebihan bila masyarakat Jatim patut berbangga atas terealisasinya program tersebut, meski belum sepenuhnya rampung. Sebab, program 1000 rumah dari Jatim untuk Aceh merupakan pelopor atau pioner program pembangunan rumah yang benar-benar telah terealiasi di daerah bencana tsunami yang terparah.
Saat tulisan ini dibuat wacana program sejenis yang ditawarkan berbagai lembaga lain memang sedang ramai dibicarakan, namun masih terhenti sekedar wacana kecuali Program 1000 Rumah RIA dari Jatim.
Related Posts

Gelar Pahlawan Nasional Untuk Pak Harto (3): Membangun Stabilitas Politik dan Menghindarkan Indonesia dari Kekacauan Pasca 1965

Pertemuan “Rahasia” di PTIK (Bagian 2): Guncangan di Ruang Reformasi dan Bayang-Bayang Operasi Garis Dalam

Pertemuan “Rahasia” di PTIK (Bagian 1) : Walkout, Ketegangan, dan Polemik Komisi Reformasi Polri

Sikap Arogan Ketua Tim Reformasi Polri Justru Tak Hendak Mendengarkan Suara Rakyar

Sutoyo Abadi: Memusingkan

Tantangan Transformasi Prabowo

Kementerian PKP Tertinggi Prestasi Penyerapan Anggaran dari Seluruh Mitra Komisi V

Kejati Sumut Sita Rp150 Miliar dari Kasus Korupsi Penjualan Aset PTPN I: Babak Baru Pengungkapan Skandal Pertanahan 8.077 Hektare

Dipimpin Pramono Anung Jakarta Makin Aman dan Nyaman, Ketua Umum APKLI-P: Grand Opening WARKOBI Januari 2026 Diresmikan Gubernur DKI

Refly Harun Dan RRT Walkout saat Audiensi Dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri




playtechOctober 25, 2024 at 9:23 am
… [Trackback]
[…] Read More Info here on that Topic: zonasatunews.com/nasional/16-tahun-pengabdian-di-aceh-saat-tsunami-menghancurkan-kehidupan-di-aceh/ […]
สล็อตเกาหลีDecember 21, 2024 at 9:01 pm
… [Trackback]
[…] Read More on that Topic: zonasatunews.com/nasional/16-tahun-pengabdian-di-aceh-saat-tsunami-menghancurkan-kehidupan-di-aceh/ […]